Lebih baik mana, menikah dengan orang yang tidak kita cintai tapi mencintai kita, atau menikah dengan orang yang kita cintai tapi tidak mencintai kita?
Rasanya, ingin saja saya jawab menikah dengan orang yang saya cintai lagi mencintai saya. Tapi apakah cukup sampai di situ saja? Tidak.
Mengutip pendapat John A. Lee, dalam sebuah teori yang disebut sebagai the color wheel theory of love, cinta terbagi menjadi 6 jenis, yaitu eros (cinta romantik yang penuh hasrat kepada sesuatu yang dianggap ideal), ludus (cinta yang sebagai sebuah permainan), storge (persahabatan), mania (cinta obsesif), pragma (praktis dan realistis) dan agape (cinta ilaihah, penuh kedamaian).
Sementara Sprecher & Regan (2000) mengatakan, mayoritas lelaki memiliki tipe cinta jenis eros, ludus atau mania, di mana kedekatan fisik dan seksual menjadi orientasi. Sedangkan pada perempuan, tipe cintanya cenderung pada pragma dan storge.
Dua pendapat ini membuat Afifah Afra memutuskan bagi lelaki dalam dua kondisi tadi, lebih baik menikah dengan orang yang dia cintai tapi tidak mencintainya. Karena menurutnya cinta bagi seorang lelaki adalah mengejar sesuatu yang ideal, petualangan dan obsesi yang tiada tara. Maka apabila lelaki dipaksa menikah dengan perempuan yang tak dia cintai, dia akan sangat menderita lahir batin. Sebab, perpaduan eros-ludus-mania tak mungkin dialamatkan kepada sosok yang tidak dia cintai.
Berbeda dengan kaum wanita. Pragma dan storge relatif lebih mudah berdamai dengan kenyataan. Tipe cinta ini bisa tumbuh seiring bersama waktu, kasih sayang, pemahaman, penghargaan dan perhatian yang diberikan lelaki yang mencintainya. Dan sebab itulah wanita lebih baik menikah dengan lelaki yang mencintainya, meski (pada awalnya) dia tidak memiliki cinta yang sama.
Sampai di sini, rasanya saya masih belum memiliki pendapat yang sama. Dalam banyak bincang, seorang teman berkata bahwa lelaki itu realistis, mudah mencintai orang di sekitarnya. Sementara perempuan cenderung mencintai sesuatu yang jauh. Inilah yang melatarbelakangi hadirnya pertanyaan, "Jika cinta bisa membuat seorang perempuan setia pada satu lelaki, kenapa cinta tidak cukup membuat lelaki bertahan dengan satu perempuan?"
Saya mencoba melihat ke belakang. Berapa banyak shahabiyah yang menawarkan dirinya untuk Rasul? Atau jika Rasul terlalu tinggi, mengapa Khairah binti Hadrad lebih memilih Abu Darda' daripada Salman Al Farisi yang sudah menyiapkan setangkup penuh cinta untuknya? Bukankah para shahabiyah itu lebih memilih sesiapa yang mereka cintai? Terlepas dari tentu saja iman kita terlampau jauh jaraknya dari para sahabat mulia itu, bukankah proses tidak pernah mengkhianati hasil? Bukankah cinta juga butuh diperjuangkan? Ditumbuh dan dikembangkan? Ini berlaku baik untuk perempuan maupun laki-laki. Dan saya rasa, ini hanya soal kelapangan hati dan keikhlasan dalam menyikapi rasa. Dalam memahami bahwa ikhlas tidak selalu tumbuh dari keringanan hati saat menerima segala yang sudah tertera.
Lalu apakah saya lebih memilih menikah dengan orang yang saya cintai tapi tidak mencintai saya, atau dengan yang mencintai saya tapi tidak saya cintai? Ummi saya lebih menyarankan saya menikahi orang yang bertakwa. Sebab jika dia mencintai saya, dia akan memuliakan saya. Dan jika ia tidak mencintai saya, ia tidak akan pernah berlaku dzholim pada saya sebab takwanya.
Tetapi pada akhirnya, saya tentu saja terus membisik doa agar dipersatukan dengan orang yang saya cintai, dan mencintai saya karena-Nya. Bagaimana dengan Anda?
0 komentar