Di agenda persiapan menyambut raya, saya juga lebih memilih menatap mixer berputar, memisahkan bagian putih dan kuning telur, menakar tepung dan menciduk ovalet daripada harus mengurusi selimut, karpet, tirai dan macam-macam yang harus dicuci. Maka bisalah saya disebut lebih terampil memasak--jika dibandingkan adik saya--daripada mencuci. Sementara masakan saya lebih digemari orang rumah daripada masakan adik, adik saya mencuci dengan sangat bersih dan menyetrika begitu licin hingga saya sering berdecak karenanya. Tapi bukannya saya tidak pernah mencuci. Jika saya (akhirnya) membantu mencuci, saya memilih membilas dan mengeringkannya dengan mesin cuci lalu menjemur--meski terkadang dengan berjinjit.
Tapi hari ini sesuatu yang menyedihkan terjadi. Di jalanan Pabelan yang seharusnya saya lalui dengan bincang menyenangkan, bagian bawah gamis peach kesayangan saya yang sangat lebar terlilit rantai motor dan membuatnya penuh oli. Seorang ibu yang melihat kejadian memilukan itu menyarankan agar saya merendamnya dengan air panas, bensin atau minyak tanah. Membayangkannya saja membuat kepala pening mengingat saya tidak bisa mencuci dan pertanyaan di mana saya bisa mendapatkan minyak tanah itu.
Maka sampai di kontrakan, setelah terkikik-kikik di perjalanan yang sungguh wagu awkward itu, saya merengek dengan teman saya yang sedang belajar dan dia menyarankan untuk cepat direndam saja. Jadilah setelah merendamnya saya tinggal tidur--di kontrakan, saya yang paling sering menumpuk cucian dan setrikaan daripada yang lain. Ini lebih karena saya memilih menyelesaikan kerjaan lain sih, seperti menuntaskan perasaan ini (?). Mungkin ini juga alasan kenapa baju saya banyak yang berwarna gelap--mencuci tidak pernah menyenangkan.
Lalu bangun tidur saya mencoba menguceknya dengan detergen hingga jemari saya lecet melepuh dan itu sia-sia. Saya juga memanaskan air dan merendamnya dengan air panas lalu diteriaki teman saya jika itu bisa membuat gamis saya mengkerut, oh tidak. Akhirnya, setelah berusaha dengan sangat keras dibantu kawan Sunda yang berulang menyanyikan lagu Ibu Tiri ketika melihat momen saat saya mencuci, saya menelepon Ummi dan mengatakan saya mendapat musibah. Ummi yang sedang tidur siang dan terkejut dengan dering telpon akhirnya hanya berkomentar "Halah lebay," ketika setelah panjang lebar saya selesai mengadukan kronologi 'musibah' tadi dan apa yang terjadi seusainya. Tapi meski tidur siangnya terganggu, Ummi yang cantik itu menyarankan agar saya mencuci dengan sabun colek dan membawanya pulang saja jika tidak berhasil (yeah! artinya dicucikan yekan yekan? (hee)).
Begitulah. Intinya saya mendapat pelajaran agar kelak saya mengingatkan anak saya untuk tidak bermain oli--karena bundanya bisa menangis dan jarinya lecet, ini serius. Saya juga berharap (calon) suami saya bisa bersabar jika saya kurang dalam keahlian cuci mencuci. Saya (pasti) bisa berbakti dengan cara lain. Dan saya akan menekankan di taaruf kita nanti jika saya bukan tukang laundry. Perlu diketahui juga, Rasulullah mencuci bajunya sendiri lho! ❤
Saya akan banyak belajar dan bersabar di pahitnya panjang perjalanan untuk membangun ikatan visioner dan mendidik anak-anak kelak. Saya akan memastikan mereka lahir dari rahim seorang ibu yang sehat dan cerdas--saya sudah mulai banyak minum air putih dan membiasakan banyak membaca (?)
Tapi untuk mencuci, bisa kan kita serahkan pada mesin cuci saja? Menika kan tida untuk mencuci. :" (Jika menikah adalah untuk mencuci, menikah saja dengan tukang laundry). Lebih dari soal receh seperti mencuci, menikah itu tugas peradaban, Bung! Jadi jangan fokus urus cuci baju saja oke oke oke?
Jika kamu yang membaca curcol tidak jelas ini kebetulan adalah jodoh saya, sepakat bukan dengan ide saya di atas? Atau, kita akan menghabiskan akhir pekan dengan buih busa detergen dan bermain air bersama-sama?
--Zulfa yang jarinya (serius) melepuh, telapaknya panas karena detergen dan gamisnya masih penuh oli :"
1 komentar
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete