Ketika akhirnya anak-anak pusat
studi Islam dan Indigenous Psikologi menyadari lewat postingan di LINE bahwa
saya sedikit-sedikit menulis—menulis sedikit-sedikit—tentang apa-apa saja yang
baru saya alami, maka di suatu sore yang asing mereka mulai membincangkan saya
(re: mem-bully). Mengatakan, hati-hati jika melakukan sesuatu bersama
atau kepada saya, nanti ditulis. Hingga sapaan pertama ketika kebetulan saya
berpapasan dengan mereka di koridor fakultas adalah, “Sudah menuliskah hari
ini?” atau “Siapa yang kau tulis hari ini?”, bukan lagi “Apa kabar? Bagaimana
penelitianmu?” dan semacamnya.
Ini tentu saja sangat mengejutkan. Untuk
mereka yang getol mengkampanyekan #EndBullying, perilaku anak-anak yang
pembicaraan mereka biasanya—sok—berputar soal penelitian dan kata-kata intelek
itu tiba-tiba berubah membahas hal receh hore-horean dan membuat saya pening
hingga sore itu saya memutuskan untuk keluar kantor saja—meski rasanya berat sekali berpisah dengan AC dingin kantor—karena
gendang telinga saya berdenging keras ketika topik pembicaraan mereka hanya
berputar soal kebiasaan saya tersebut.
Lain di kantor, di kontrakan pun
sama. Penghuni rumah ini gemar saling mengingatkan untuk menjaga sikap mereka
dengan saya, dengan kalimat seperti, “Hati-hati, kau harus ingat kalau dia
jurnalis,” begitu bunyinya yang membuat saya mengernyitkan dahi. Lalu kenapa
kalau saya jurnalis? Penting kah menulis ikan di kontrakan kami yang diberi
nama Kimchi, gara-gara setelah libur hari tenang kemarin saya membawa dua
toples kimchi yang lama mendekam di kulkas? Atau kenapa jemuran kami banyak
sekali yang raib dan apakah kami perlu menyewa Sherlock Holmes untuk
menuntaskan perkara ini ... oh, ayolah.
Tetapi daripada lelah dengan sikap
orang-orang itu, sepertinya saya lebih lelah dengan orang yang meminta saya menulis—tentangnya.
Mewanti agar saya menulis karakternya dengan baik dan dengan sosok yang tampan
(di titik ini saya sadar, manusia diciptakan memang untuk terus diuji). Sebagai
seorang mahasiswa Psikologi, perilakunya mengingatkan saya dengan perbincangan
bersama dosen pembimbing saat pikiran saya rusuh mencari nama rubrik yang tepat
untuk majalah. Saat itu, saya menanyakan konsep persona yang dipopulerkan
Gustav Jung. Persona dalam pandangan Jung adalah topeng. Dengan pemahaman yaitu
apa-apa yang ingin ditampilkan kepada orang lain, juga apa-apa yang perlu
disembunyikan rapat-rapat dan orang lain rasanya tidak perlu tahu saja. Saya rasa
hal ini wajar, bukankah masing-masing kita memang ingin terlihat baik di depan
yang lainnya? Jika tidak, produsen bedak akan gulung tikar, mode hijab tidak
menjadi lebih rumit dari perasaan, dan Ariel tidak perlu berulang meminta penuh
hiba kepada kita untuk membuka dulu topeng yang kita kenakan hanya untuk
melihat wajah kita yang sebenarnya.
Karena keseragaman pengertian, saya
lalu men-judge bahwa persona Jung ini sama saja dengan istilah dalam
konseling yang biasa disebut faking good dan faking bad, atau
istilah masyhurnya adalah munafik. Tetapi dosen pembimbing saya menolak
pemikiran saya. Menurut beliau, persona lebih pada metode penyesuaian dengan
lingkungan. Kapan riil apa adanya dan kapan harus bertopeng. Persona yang
bermasalah akan menyebabkan relasi sosial bermasalah. Misal menggunakan topeng
jaim pada kondisi among tamu, maka tidak akan cocok. Berbeda jika jaim dengan
seorang lelaki yang menyebabkan dia gemas dan akhirnya bersilaturrahim ke abimu—abaikan.
Dosen saya yang juga seorang psikolog
menyenangkan, dosbing pengayom yang mirip ayah asuh, tipikal lelaki baik hati
dan suka mentraktir es kobar itu menegaskan jika konotasi persona Jung tidak
selalu negatif. Seperti jika kita menggunakan topeng kita dengan tujuan
positif, misalnya membuat ekspresi ceria meski mood sedang buruk agar orang
lain tidak sedih. Apakah menangis di bawah rintih-rintih shower juga termasuk,
Pak? :”)
Sampai di situ, saya tidak
menyangkal pendapatnya—karena di awal saya memang mau bertanya, bukan berdebat. Lalu saya
putuskan untuk memakai persona sebagai nama salah satu rubrik saya.
Kembali kepada seseorang yang
meminta saya menulis. Ah, sampai bosan rasanya mendengar dia bersungut
mengingatkan saya untuk membuat sebuah tulisan. Kami belum sedekat itu, hanya
teman yang kebetulan berada di jalan yang salah bersama-sama. Maka saya tidak
tahu harus bercerita dari mana. Apakah saat sebelum kita memulai perjalanan dan
hanya saling menatap dengan tatapan yang asing. Apakah saat gerimis mulai jatuh
dan lampu motor tidak menyala (re: tidak dinyalakan). Atau apakah ketika dia mengeluh
dan kehilangan kepercayaan karena sudah terlalu banyak dikhianati oleh google
maps—berbicara google maps yang pada akhirnya lokasi yang kita bagikan pada
rombongan lain membuat kita lelah dan memutuskan untuk berjalan sendiri-sendiri
saja, hingga takdir dengan sendirinya memperjalankan kami dan mempersatukan kembali
(?).
Apakah mulai ketika kami mendaki
bersama dan menyepakati jika setapak gelap dan terjal yang kami lewati mirip
dengan setting di film Keramat dan saya mewantinya untuk meninggalkan pesan dan
kesan terakhir karena di film tersebut, perempuan lah yang selamat. Atau apakah
saat sampai di lereng yang kami sepakati untuk mendirikan tenda, dia bergumam, “Inikah
harum bau surga?”—padahal bau belerang. Mungkin bahkan saya harus memulainya
ketika dia rusuh berteriak, hati-hati banyak tikungan dan pesannya kepada saya,
“Kalau jalan jangan ditahan, lepaskan saja. Perasaan juga gitu, kalau ditahan
nanti sakit.”
Ah, embuh sekali anak itu. Karena
dia tidak memberi jawaban atas tawaran kesepakatan yang saya buat, pada tulisan
ini tidak perlulah saya menyebut namanya. Hanya saja, yang menjadi pertanyaan
terbesar bagi saya adalah mengapa takdir hari itu menyebalkan sekali. Kita
tersesat bersama dan di perjalanan pulang, kita bahkan memilih tempat teduh
yang sama tanpa sengaja. Apa yang direncanakan takdir kali ini? Satu-satunya
jawaban yang terbesit adalah … mungkin agar tulisan ini lahir. Begitulah. Sekian.
“Let me tell you how to make friends ... left foot ... right foot ... left
foot ... right foot ... slowly step by step.”
Ps: Saya tahu tulisan ini sangat absurd, maka terima kasih dan selamat sudah
menyempatkan membaca hingga titik terakhir. Perasaan saya teriris-iris rasanya—bukan
karena menulis ini. Lebih pada karena iba dengan nasib kalian menemukan tulisan
ini dan saya memutar instrument My Memory, From The Beginning Until Now, Only
You, Inside the Memories – Winter Sonata saat menulis—sepertinya ini penyebabnya.
Oh iya, ada quote tokoh utama yang terekam di hati saya dan akan saya
peruntukkan untuk kamu yang membaca tulisan ini sampai akhir, “Wherever you
are, eat well, sleep well and be strong.”
0 komentar