Manusia dan Reremah Topeng di Wajahnya

By Zulfa Rahmatina - 12:25 AM

Ketika akhirnya anak-anak pusat studi Islam dan Indigenous Psikologi menyadari lewat postingan di LINE bahwa saya sedikit-sedikit menulis—menulis sedikit-sedikit—tentang apa-apa saja yang baru saya alami, maka di suatu sore yang asing mereka mulai membincangkan saya (re: mem-bully). Mengatakan, hati-hati jika melakukan sesuatu bersama atau kepada saya, nanti ditulis. Hingga sapaan pertama ketika kebetulan saya berpapasan dengan mereka di koridor fakultas adalah, “Sudah menuliskah hari ini?” atau “Siapa yang kau tulis hari ini?”, bukan lagi “Apa kabar? Bagaimana penelitianmu?” dan semacamnya.

Ini tentu saja sangat mengejutkan. Untuk mereka yang getol mengkampanyekan #EndBullying, perilaku anak-anak yang pembicaraan mereka biasanya—sok—berputar soal penelitian dan kata-kata intelek itu tiba-tiba berubah membahas hal receh hore-horean dan membuat saya pening hingga sore itu saya memutuskan untuk keluar kantor saja—meski rasanya berat sekali berpisah dengan AC dingin kantor—karena gendang telinga saya berdenging keras ketika topik pembicaraan mereka hanya berputar soal kebiasaan saya tersebut.

Lain di kantor, di kontrakan pun sama. Penghuni rumah ini gemar saling mengingatkan untuk menjaga sikap mereka dengan saya, dengan kalimat seperti, “Hati-hati, kau harus ingat kalau dia jurnalis,” begitu bunyinya yang membuat saya mengernyitkan dahi. Lalu kenapa kalau saya jurnalis? Penting kah menulis ikan di kontrakan kami yang diberi nama Kimchi, gara-gara setelah libur hari tenang kemarin saya membawa dua toples kimchi yang lama mendekam di kulkas? Atau kenapa jemuran kami banyak sekali yang raib dan apakah kami perlu menyewa Sherlock Holmes untuk menuntaskan perkara ini ... oh, ayolah.

Tetapi daripada lelah dengan sikap orang-orang itu, sepertinya saya lebih lelah dengan orang yang meminta saya menulis—tentangnya. Mewanti agar saya menulis karakternya dengan baik dan dengan sosok yang tampan (di titik ini saya sadar, manusia diciptakan memang untuk terus diuji). Sebagai seorang mahasiswa Psikologi, perilakunya mengingatkan saya dengan perbincangan bersama dosen pembimbing saat pikiran saya rusuh mencari nama rubrik yang tepat untuk majalah. Saat itu, saya menanyakan konsep persona yang dipopulerkan Gustav Jung. Persona dalam pandangan Jung adalah topeng. Dengan pemahaman yaitu apa-apa yang ingin ditampilkan kepada orang lain, juga apa-apa yang perlu disembunyikan rapat-rapat dan orang lain rasanya tidak perlu tahu saja. Saya rasa hal ini wajar, bukankah masing-masing kita memang ingin terlihat baik di depan yang lainnya? Jika tidak, produsen bedak akan gulung tikar, mode hijab tidak menjadi lebih rumit dari perasaan, dan Ariel tidak perlu berulang meminta penuh hiba kepada kita untuk membuka dulu topeng yang kita kenakan hanya untuk melihat wajah kita yang sebenarnya.

Karena keseragaman pengertian, saya lalu men-judge bahwa persona Jung ini sama saja dengan istilah dalam konseling yang biasa disebut faking good dan faking bad, atau istilah masyhurnya adalah munafik. Tetapi dosen pembimbing saya menolak pemikiran saya. Menurut beliau, persona lebih pada metode penyesuaian dengan lingkungan. Kapan riil apa adanya dan kapan harus bertopeng. Persona yang bermasalah akan menyebabkan relasi sosial bermasalah. Misal menggunakan topeng jaim pada kondisi among tamu, maka tidak akan cocok. Berbeda jika jaim dengan seorang lelaki yang menyebabkan dia gemas dan akhirnya bersilaturrahim ke abimu—abaikan.

Dosen saya yang juga seorang psikolog menyenangkan, dosbing pengayom yang mirip ayah asuh, tipikal lelaki baik hati dan suka mentraktir es kobar itu menegaskan jika konotasi persona Jung tidak selalu negatif. Seperti jika kita menggunakan topeng kita dengan tujuan positif, misalnya membuat ekspresi ceria meski mood sedang buruk agar orang lain tidak sedih. Apakah menangis di bawah rintih-rintih shower juga termasuk, Pak? :”)
Sampai di situ, saya tidak menyangkal pendapatnya—karena di awal saya memang mau bertanya, bukan berdebat. Lalu saya putuskan untuk memakai persona sebagai nama salah satu rubrik saya.

Kembali kepada seseorang yang meminta saya menulis. Ah, sampai bosan rasanya mendengar dia bersungut mengingatkan saya untuk membuat sebuah tulisan. Kami belum sedekat itu, hanya teman yang kebetulan berada di jalan yang salah bersama-sama. Maka saya tidak tahu harus bercerita dari mana. Apakah saat sebelum kita memulai perjalanan dan hanya saling menatap dengan tatapan yang asing. Apakah saat gerimis mulai jatuh dan lampu motor tidak menyala (re: tidak dinyalakan). Atau apakah ketika dia mengeluh dan kehilangan kepercayaan karena sudah terlalu banyak dikhianati oleh google maps—berbicara google maps yang pada akhirnya lokasi yang kita bagikan pada rombongan lain membuat kita lelah dan memutuskan untuk berjalan sendiri-sendiri saja, hingga takdir dengan sendirinya memperjalankan kami dan mempersatukan kembali (?).

Apakah mulai ketika kami mendaki bersama dan menyepakati jika setapak gelap dan terjal yang kami lewati mirip dengan setting di film Keramat dan saya mewantinya untuk meninggalkan pesan dan kesan terakhir karena di film tersebut, perempuan lah yang selamat. Atau apakah saat sampai di lereng yang kami sepakati untuk mendirikan tenda, dia bergumam, “Inikah harum bau surga?”—padahal bau belerang. Mungkin bahkan saya harus memulainya ketika dia rusuh berteriak, hati-hati banyak tikungan dan pesannya kepada saya, “Kalau jalan jangan ditahan, lepaskan saja. Perasaan juga gitu, kalau ditahan nanti sakit.”

Ah, embuh sekali anak itu. Karena dia tidak memberi jawaban atas tawaran kesepakatan yang saya buat, pada tulisan ini tidak perlulah saya menyebut namanya. Hanya saja, yang menjadi pertanyaan terbesar bagi saya adalah mengapa takdir hari itu menyebalkan sekali. Kita tersesat bersama dan di perjalanan pulang, kita bahkan memilih tempat teduh yang sama tanpa sengaja. Apa yang direncanakan takdir kali ini? Satu-satunya jawaban yang terbesit adalah … mungkin agar tulisan ini lahir. Begitulah. Sekian. “Let me tell you how to make friends ... left foot ... right foot ... left foot ... right foot ... slowly step by step.”


Ps: Saya tahu tulisan ini sangat absurd, maka terima kasih dan selamat sudah menyempatkan membaca hingga titik terakhir. Perasaan saya teriris-iris rasanya—bukan karena menulis ini. Lebih pada karena iba dengan nasib kalian menemukan tulisan ini dan saya memutar instrument My Memory, From The Beginning Until Now, Only You, Inside the Memories – Winter Sonata saat menulis—sepertinya ini penyebabnya. 

Oh iya, ada quote tokoh utama yang terekam di hati saya dan akan saya peruntukkan untuk kamu yang membaca tulisan ini sampai akhir, “Wherever you are, eat well, sleep well and be strong.



  • Share:

You Might Also Like

0 komentar