Ketika gerimis jatuh saat subuh masih enggan memerah, aku tersadarkan betapa semua ini hanya soal pengulangan. Seperti kau yang terus mengelilingi matahari, tanpa luput dari pemahaman akan makna yang sejati. Seperti aku yang berulang jatuh cinta lagi, pada sosokmu di pagi hari yang berbeda.Ketika gerimis jatuh saat lembaran buku usang yang kubaca melukis larik-larik sajak tentangmu, aku bertanya-tanya apakah mungkin kau masih berada dalam keraguan itu? Yang membuat langkahmu tersendat, lalu napasmu berderak berat.Ketika gerimis jatuh berpayung langit senja dengan kecipak yang membias jingga, aku menyadari betapa banyak tinta yang sudah kuhabiskan untuk mengabadikan senyummu, juga seluruh kekatamu yang terputar dalam melodi pada memori ingatanku. Mengulum senyum ketika kata itu terlalu manis dan membuat candu, berharap, sejenak saja ingin agar kita berdua terbekukan oleh waktu.Ketika gerimis jatuh di malam ini saat bebintang bersembunyi di sebalik pekat awan, aku merasakan ada yang diam-diam berdetak. Begitu pelan. Hampir-hampir tak terdengar. Rintih-rintihnya menjelma doa yang ditampung bejana. Goresannya begitu lugu, terlapisi rupa-rupa malu.Lalu kau dan aku sepakat. Tugasmu hanya menyebut namaku pada doa ke sepuluh. Dan aku cukup mengaminkan dalam iring gelisah yang getarnya teramat indah. Tugasmu hanya mendoakanku, dan aku cukup mengaminkannya dengan aamiin yang syahdu. Ketika gerimis jatuh ...
0 komentar