Mata Kuliah : Teori Kepribadian
Observer : Zulfa Rahma
Identitas Pasien
Nama : X
Usia : 12 tahun
Hasil Observasi
Saat
observer datang di bangsal VIP sebuah RSJ Daerah, X yang baru saja menimbang
berat badannya di ruang depan dengan tatapan kosong, terus menangis dan
mengeluhkan sakit gatal (scabies) yang dideritanya. Kulitnya melepuh dan
berdarah di beberapa bagian. Ia selalu menanggapi jawaban-jawaban ibunya atas
pertanyaan yang diajukan observer, masih sambil menangis. Sesekali, ia
mengadukan temannya yang diakuinya melakukan kekerasan fisik terhadapnya, menyontek,
bullying, dan selalu meminta ibunya untuk percaya bahwa dia dipaksa
teman-temannya masuk ke warnet pada ‘Jum’at keluaran’ di pesantren.
Sesekali
sarung X tersingkap dan dia segera menutupnya karena memahami batas-batas
aurat. Kalimatnya berulang saat ia mencoba memberi pemahaman pada dirinya
sendiri, “Aurat aurat aurat, tidak boleh dibuka, buka, buka …” juga
ketika ibunya memintanya untuk bersabar dengan penyakit yang X derita. “Ss
.. es … ess, sho, babar. Sho-bar.
Meski begitu, ia memahami
pertanyaan observer dan tanggap terhadap kalimat ibunya. Saat ditanya tentang
keluarga yang lain (adik-adiknya), ia dapat menyebutkan nama dan jenjang
pendidikan adik-adiknya dengan baik. X mengaku mahir dalam Bahasa Arab dan
menunjukkan kemampuannya dengan menyebutkan kata ganti dan kata tunjuk dalam
Bahasa Arab melalui suatu nyanyian. Observer juga mencoba berbincang dengan
Bahasa Arab ringan yang dijawab X dengan susunan kata yang baik, meski masih sambil
terus menangis. Sesekali X bersholawat, membaca istighfar, takbir, dan meminta
observer untuk mendoakan kesembuhannya agar bisa kembali pada keluarga yang
sudah dirinduinya. X juga sangat baik dalam berbahasa Jawa krama inggil.
X
terus meyakinkan observer jika teman-temannya di pesantren menjahilinya.
Sesekali tiba-tiba, berulang ia mengucapkan kalimat yang membuatnya menangis
histeris saat mengatakannya, “Medal terus … medal terus.” Dalam
kunjungan observer saat itu, kalimat ini muncul berulang secara random tanpa
ada stimulus.
X meminum obat dari RSJD dan mengaku
mengalami kesulitan tidur karena pusing dan panas. Ada saat X memainkan jam
tangan salah satu observer, dan dia membaca jam dengan baik. Tetapi, X terkejut
ketika tahu bahwa saat itu sudah masuk waktu pagi. Ibu X menjelaskan bahwa X
melakukan sholat ashar 2 rakaat, dan maghrib 3 rakaat.
Landasan Teori
Halusinasi
Halusinasi adalah persepsi atau
tanggapan dari panca indra tanpa adanya rangsangan eskternal (Stuart &
Larala, 2001). Halusinasi merupakan gangguan persepsi di mana pasien
mempersepsikan sesuatu yang tidak terjadi.
Secara
umum, klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya hubungan
yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak
berdaya. Penilaian individu terhadap stressor dan masalah koping dapat
mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006).
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya
gangguan halusinasi adalah:
1.
Biologis
Gangguan
dalam komunikasi dari putaran balik otak, yang mengatur proses informasi serta
abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan
ketidakmampuan secara selektif untuk menanggapi stimulus yang diterima oleh
otak untuk diinterpretasikan.
2. Stress
Lingkungan
Ambang
toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk
menentukan terjadinya gangguan perilaku.
3. Sumber
Koping
Sumber
koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.
Pembahasan
X
adalah remaja lugu yang sedang masuk dalam fase pubertas. Ia termasuk anak yang
pintar dan sopan, juga terlalu polos. Melihatnya seperti ditampakkan kertas
putih yang hanya berisi beberapa goresan yang lurus dan teratur.
Pengaruh
lingkungan teman-teman yang buruk menandai awal mula penderitaannya. Ia
menangis keras saat halusinasi tentang film porno (Blue Film) yang ditontonnya akibat
paksaan teman-teman pesantrennya, termanifestasi dalam kalimat yang
diucapkannya beriring rintih, “Medal terus …” (keluar terus-red). Maksud
kalimatnya adalah, sperma yang terus keluar.
Mentalnya
yang belum terlalu kuat, semakin terguncang ketika tekanan demi tekanan
didapatkannya seperti bullying, dsb. Meski di awal tidak mempengaruhi
pelajarannya dan dia masih berkeinginan tinggal di pesantren ketika sang ibu
mengajaknya izin pulang guna memeriksakan scabies-nya, X menolak, belakangan ia
enggan kembali lagi ke pesantren dan terus menangis dan terpenjara dalam
halusinasinya yang belum dapat dikontrolnya dengan baik.
Kesimpulan
- Halusinasi dengan
orientasi seksual yang dialami X membuat ia merasa sangat tertekan.
- Sang ibu mencoba melatih menghardik halusinasinya dengan terus mengingatkan untuk membuang ‘yang terus keluar-keluar’, karena itu bukan sesuatu yang baik.
- Karena halusinasi
ini muncul tanpa adanya rangsangan (stimulus), terapi dengan mengajaknya
berbincang agar melupakan halusinasinya cenderung kurang memberi dampak
atau pengaruh.
0 komentar