“Hai, Kak!” Aku menyapanya, membalikkan tubuhku, menggeser sedikit
kursi. Tidak kusangka, menatapnya kembali setelah jeda UTS yang panjang ternyata begitu
menyenangkan.
“Apa?” Sahutnya khas, dengan alis terangkat. Ia tersenyum simpul
saat aku masih terus menatapnya. Menghela napas, ia kembali berkata, “Apa
kabar?”
Binar mataku pudar. Terdiam. Mencipta hening panjang. “A-aku,”
“Jangan bilang kau akan berhenti. Jangan! Kau tidak mengingatnya?
Hah?”
“Aku ingin istirahat, sebentar saja, Kak. Menenangkan hatiku,
memikirkan langkah ke depan. Aku akan kembali, janji.”
Dahinya mengernyit. Ia menggeleng tegas, membuatku melenguh panjang.
“Tidak, kau harus tetap di jalan ini. Di barisan ini.”
“Aku mohon, Kak. Aku tidak benar-benar pergi, aku bahkan masih
berada di barisan dakwah yang lain. Tujuan kita sama bukan?”
Ia menatapku penuh tanda tanya besar. “Kalau yang kecil saja sulit
kau genggam, bagaimana yang besar?” tukasnya, tidak habis pikir. “Aku akan menangis
untukmu kalau kau pergi,” tambahnya yang membuatku tertawa hambar.
“Aku ... bisa saja ... dari yang besar, memulai ...”
“Kita mulai bersama-sama, pelan-pelan. Perbaiki yang timpang, dari
yang terdekat, jangan tinggalkan.”
Aku masih mencoba memberikan alasan-alasan yang sudah sejak lama
kususun rapi. “Di barisan ini,” lirihku, “kontribusiku masih sangat kecil, bahkan
nihil ...”
“Islam, akan tetap maju walau pun kau tidak berkontribusi. Dan ular
akan kembali ke lubangnya.”
Ular? Pikiranku bermain liar. Untuk apa membahas ular saat ini? Ada
apa dengan ular? Apakah saat ini aku sedang sangat berorientasi dengan seorang
laki-laki? Aku tidak pernah bermimpi ular. Tidak pernah.
Ular yang menurut Sigmund Freud, sama halnya dengan alat reproduksi laki-laki
itu mendadak membuatku mual. Tapi di balik itu semua, orientasi seksual Freud
jujur membuatku sedikit cemas. Apakah aku memang benar seburuk itu? Apakah aku
memutuskan semua ini hanya karena seorang laki-laki yang membuatku sangat
terobsesi? Siapa? Celaka dan memalukan sekali jika hipotesis ini benar!
“Kau akan menyanggah apa lagi? Jangan keluar, aku mohon. Kita
pikirkan baik-baik dengan kepala dingin dan jangan terburu-buru,”
“Aku lelah, Kak. Sungguh ...” aku masih terngiang perihal ular yang
dibicarakannya. Berpikir jernih, Zulfa! Coba merujuk pada Ibnu Khaldun. Ular,
menurut teorinya. Tafsirnya. Ular? Siapa? Di sekitarmu? Siapa yang kiranya
menawarkan pelita, lalu menikam. Yang membukakan jalan benderang, lalu menyekap
dalam kelam.
“Semua lelah. Kau, aku, mereka. Memang seperti itulah berada di
barisan ini. Kau seperti tidak tahu saja,”
“Aku harus menulis. Aku membaktikan diriku pada deadline,” alasanku
sudah mulai mengambang.
“Kau pikir hanya kau saja yang ada di jajaran redaksi? Koordinator
kita, kau lihat. Lingkup nasional. Pimpinan redaksi. Bukan sekadar lingkup
kecil sepertimu,”
Checkmate. Apalagi yang
harus kukatakan? Air mataku sepertinya akan mengalir jika aku berkedip satu
kali saja.
“Jangan menangis!”
“Tidak,” aku membelakanginya. Berpura-pura mengambil buku dari
ranselku. Membuka lembarannya.
Apakah dia serius dengan perkataannya? Apakah ia ingin aku melawan
musuh-musuh Islam? Ular, menurut Ibnu Khaldun. Musuh-musuh Islam? Bahkan
melawan hawa nafsuku sendiri pun, aku masih sering terkapar. Hapalanku buyar.
Pikiranku seperti orang linglung dan bingung berkepanjangan. Agenda menumpuk,
tapi tak satu pun yang bisa membuat ruhiyahku basah. Kerontang. Bagaimana
kabarmu dengan al-Qur'an? Dengan lingkaran-lingkaran? Tak tersentuh. Jauh. Rabbi
...
Dosen mata kuliah perkembangan yang dinanti tiba. Membuatku siaga,
menyeka bagian ujung mata. Menyisakan bergumpal tanya. Apakah aku benar-benar
akan berhenti? Di jalan ini, dalam barisan ini ...
0 komentar