Senja yang Bersamanya, (Bukan) Senja Seno

By Zulfa Rahmatina - 9:11 AM


“Tapi benarkah ada orang yang tidak terpesona dengan senja? Dengan sinar merahnya yang begitu cepat habis?” tanya Seno Gumira. “Kenapa secepat itu berlalu, seperti kebahagiaan. Saya tidak percaya kau memaknai senja hanya sebatas pada ritual menutup pintu, lalu menyalakan lampu.”

Tapi untuk apa aku terpesona dengan senja? Selain dengan sinar keperakannya yang berkilat-kilat menggenangi jalanan kota. Apalagi yang bisa kulakukan untuknya? Haruskah aku selalu menyertakannya di tiap larik-larik tulisanku? Mengatakan aku benar-benar menyukainya, seperti yang lain?

Padahal sebab senjalah, segala kerusuhan itu bermula. Awal pertama kali aku mengenal namamu. Melihat senyummu. Memahami gerak bola mata bundarmu. Menikmati suara rendahmu. Dan senja menjanjikan pertemuan-pertemuan selanjutnya yang membuat perasaan ini sungguh menyesakkan.

Sebab senja pula, aku pernah ingin menemukanmu dalam bayang yang belum terselesaikan dalam lelapku. Aku pernah ingin menemukanmu dalam kotak masuk pesanku ketika pagi menyapa dan uap susu hangat masih mengepul. Aku pernah ingin menemukanmu di antara lonceng stasiun dan bising kereta yang selalu membuat candu. Aku pernah ingin menemukan namaku dalam pesan yang kau kirimkan pada gemerisik alunan saluran radio. Aku pernah ingin menemukanmu … di setiap detik demi detik yang berdetak.

Senja memang menyerakkan kenangan-kenangan yang begitu indah, tetapi menyakitkan. Ia menumbuhkan benih yang tidak seharusnya tumbuh dan dengan bengisnya, masih tetap terus menjaga skenario pertemuan. Kadang ia mengekang waktu dengan meminta bantuan rintih-rintih hujan, membuatku menjadi mengenali kebiasaan-kebiasaanmu. Membuatku mengetahui hampir seluruh kisah-kisahmu. Membuatku … seperti ingin, setiap waktu adalah senja yang bersamamu. Senja dengan kisah kita yang teramat sederhana.

Dan aku menemukanmu dalam senja yang luruh. Aku menemukanmu dalam larik-larik yang kurangkai, hingga menulis menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan ketika sosokmu selalu terbayang beriring dengan jariku yang bergerak. Aku menemukanmu dalam pedih ketika mengingat jika mungkin saja aku tidak akan bisa benar-benar menemukanmu. Dan kini aku mengerti, menemukanmu memang tidak akan pernah sesederhana itu.

Masih ada banyak hal yang harus kulakukan sebelum menemukanmu. Menguntai asa-asa yang disemogakan, membina diri agar terpantaskan, melazimkan dzikir yang masih terlalu lemah … Dan semua itu, aku tahu, tidak akan pernah mudah.

Setiap orang memiliki kisahnya masing-masing dengan senja. Seperti jika senja membuatku mengulum senyum di balik tatap teduhmu, kita tak pernah tahu jika di belahan senja yang lain, ada yang diam-diam merapalkan namamu dalam balut rindu. Dan senja mengawali semua kisahku tanpa pernah berjanji kapan akan mengakhirinya. Setelah ini, haruskah aku meminta bantuan pada senja dan berterima kasih padanya?

  • Share:

You Might Also Like

2 komentar

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete