“Tapi benarkah ada orang yang tidak terpesona dengan senja? Dengan sinar merahnya yang begitu cepat habis?” tanya Seno Gumira. “Kenapa secepat itu berlalu, seperti kebahagiaan. Saya tidak percaya kau memaknai senja hanya sebatas pada ritual menutup pintu, lalu menyalakan lampu.”
Tapi untuk apa aku terpesona dengan
senja? Selain dengan sinar keperakannya yang berkilat-kilat menggenangi jalanan
kota. Apalagi yang bisa kulakukan untuknya? Haruskah aku selalu menyertakannya
di tiap larik-larik tulisanku? Mengatakan aku benar-benar menyukainya, seperti
yang lain?
Padahal sebab senjalah, segala
kerusuhan itu bermula. Awal pertama kali aku mengenal namamu. Melihat senyummu.
Memahami gerak bola mata bundarmu. Menikmati suara rendahmu. Dan senja
menjanjikan pertemuan-pertemuan selanjutnya yang membuat perasaan ini sungguh
menyesakkan.
Sebab senja pula, aku pernah ingin menemukanmu
dalam bayang yang belum terselesaikan dalam lelapku. Aku pernah ingin menemukanmu
dalam kotak masuk pesanku ketika pagi menyapa dan uap susu hangat masih
mengepul. Aku pernah ingin menemukanmu di antara lonceng stasiun dan bising
kereta yang selalu membuat candu. Aku pernah ingin menemukan namaku dalam pesan
yang kau kirimkan pada gemerisik alunan saluran radio. Aku pernah ingin menemukanmu
… di setiap detik demi detik yang berdetak.
Senja memang menyerakkan
kenangan-kenangan yang begitu indah, tetapi menyakitkan. Ia menumbuhkan benih
yang tidak seharusnya tumbuh dan dengan bengisnya, masih tetap terus menjaga
skenario pertemuan. Kadang ia mengekang waktu dengan meminta bantuan
rintih-rintih hujan, membuatku menjadi mengenali kebiasaan-kebiasaanmu. Membuatku
mengetahui hampir seluruh kisah-kisahmu. Membuatku … seperti ingin, setiap waktu
adalah senja yang bersamamu. Senja dengan kisah kita yang teramat sederhana.
Dan aku menemukanmu dalam senja yang
luruh. Aku menemukanmu dalam larik-larik yang kurangkai, hingga menulis menjadi
sesuatu yang tidak menyenangkan ketika sosokmu selalu terbayang beriring dengan
jariku yang bergerak. Aku menemukanmu dalam pedih ketika mengingat jika mungkin
saja aku tidak akan bisa benar-benar menemukanmu. Dan kini aku mengerti, menemukanmu
memang tidak akan pernah sesederhana itu.
Masih ada banyak hal yang harus
kulakukan sebelum menemukanmu. Menguntai asa-asa yang disemogakan, membina diri
agar terpantaskan, melazimkan dzikir yang masih terlalu lemah … Dan semua itu,
aku tahu, tidak akan pernah mudah.
Setiap orang memiliki kisahnya masing-masing dengan senja. Seperti jika senja membuatku mengulum senyum di balik tatap teduhmu, kita tak pernah tahu jika di belahan senja yang lain, ada yang diam-diam merapalkan namamu dalam balut rindu. Dan senja mengawali semua kisahku tanpa pernah berjanji kapan
akan mengakhirinya. Setelah ini, haruskah aku meminta bantuan pada senja dan
berterima kasih padanya?
2 komentar
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete