Sering aku bertanya, kepada siapakah perasaan ini
akan benar-benar berlabuh. Atau, benarkah ia akan berlabuh? Bukan karam, atau
terhempas jatuh. Sering aku sekuat hati menjaga, agar perasaan ini tidak mudah
untuk tumbuh. Khawatir jika belum benar tiba waktunya, dan menumbuhkan benih
lain yang malah membuahkan luka.
Sering aku menerka, apakah sesuatu yang disebut
cinta itu, adalah sesuatu yang benar-benar penting dan mampukah aku bertahan
tanpanya? Apakah purnama di malam belasan, hujan yang mengalir deras dan
menumbuhkan puisi-puisi di bulan November, keinginan untuk berlama-lama
menikmati sepasang bola mata yang begitu puitis, harapan untuk terbekukan oleh
waktu lebih lama dan hanyut dalam diam yang sama, menikmati sebuah suara rendah
dan senyum yang semu itu adalah … sebuah cinta? Atau malam-malam yang
dihabiskan untuk menyebut satu nama di antara tumpuk doa dan asa yang lain, harapan
untuk disegerakan dalam himpunan suatu kebaikan, juga dzikir yang masih begitu lemah yang diulang beriring arak awan
senja adalah … cinta? Seperti itukah yang disebut cinta? Begitukah?
Jika benar itu cinta, lalu apa yang harus kulakukan
dengannya? Perasaan-perasaan itu tak ubahnya seperti benang, begitu tipis ...
Seringkali dengan adegan-adegan yang kureka, kesempatan-kesempatan yang kususun demi memuaskan seluruh pengharapan yang
terlampau jauh, membuat pilinan benang itu menjadi terlalu kokoh, hingga patah.
Lalu jika seperti itu, bagaimana bisa aku memahami, seperti apakah
sebenar-benar cinta itu?
Matahari pagi selalu menawarkan cinta yang hangat,
rembulan dengan benderang yang teduh, bintang dan kerlipnya yang tulus. Jatuh
cinta dengan pagi hari, kembali jatuh cinta ke dua kalinya pada senja. Bagaimana
bisa aku mengerti semua ini? Sebagian terlalu menyudutkan fitrah itu dengan
jelasnya. Terlalu berlebihan. Belum masanya. Bersabarlah. Maka bagaimana aku
mengerti kapan fitrah itu menjadi tidak berlebihan, menjadi saat masanya, dan
bilakah aku berhenti bersabar?
Tetapi, lupakan. Lupakanlah semua
pertanyaan-pertanyaan yang seringkali tidak membutuhkan jawaban, dan lebih
memilih mengambang bersama anai di awang. Lupakanlah. Sebab menjadi perempuan
membuatku mengenal bagaimana tulusnya suatu perputaran. Kadang, mengetahui
rahasia tidak selalunya menyelesaikan masalah, bukan? Maka tetaplah
merahasiakan rahasia itu. Lalu bersiaplah untuk dikejutkan oleh rahasia-rahasia
yang kita rahasiakan.
0 komentar