Janji Sebotol Puisi

By Zulfa Rahmatina - 8:56 AM

Malam hujan. Tempias tawa itu ditampung sebuah bejana lebar di bawah atap berongga. Aku di balik sunyi bantal beludru. Memikirkan bingkisan yang pantas untukmu.
Malam hujan. Sesepuh menyulut asap, memutar kemerosok lagu-lagu tua yang lebur dalam bising deras. Isi bejana berceceran, kecipak jeritan melengking. Bayi-bayi terkikik.


Malam hujan. Aku tersorok pilu. Terperosok dalam kebun penuh berjulur tanya. Sepi menelikung, menawarkan sebuah bayang hitam. Bayang punggungmu. 
Malam hujan. Mataku belalak. Lampu pijar, tapi lalu padam. Aku ingin mengirimimu puisi. Ya, puisi. Berlarik-larik di atas kertas harum. Berisi diksi-diksi karamel manis. Dihiasi tetesan sirop warna-warni. Kugulung hati-hati, kumasukkan dalam botol berisi aroma rimbun tangkai-tangkai puisi. 


Lalu di malam berbintang aku akan pergi, membawa sebotol puisi. Kutitipkan samudra agar turut membawanya hanyut dalam iringan purnama. Kulambaikan tangan dengan bisik doa yang deru. Kiranya ia tambat, mengetuk pelan dindingmu. Dan kau sudi memungut. Memutar tutup botol. Menghidu semerbak kertas puisi, mengingatku. Atau paling tidak, sedikit saja mencari tahu tentangku.


Malam hujan. Kilat menyambar. Guntur gemuruh. Botol kaca pecah, berkeping. Bejana berdenting. Kertas tersulut percik lilin. Bayang punggung itu mengabur. Kata-kata tertelan. Larik-larik puisi terpenggal. Aku bingung. Apa yang salah? Atau inikah balasan dosa masa lalu?


Tawa yang ditampung bejana tadi menjulur pekak, menatap rendah. Aku menghiba. Lalu dengan sebuah perjanjian aku mengerti. Aku tak boleh lagi membuat puisi dan aku benar berjanji. Tak akan lagi, tak akan lagi karena kaulah puisi itu sendiri. Kau puisi dengan balutan gemerlap kilau surgawi. Kaulah puisi.

  • Share:

You Might Also Like

1 komentar

  1. Saya selalu kagum dengan orang-orang yang jago berpuisi. Saya sendiri suka tapi tidak pandai merangkai kata. Mungkin memang saya ditakdirkan sebagai penikmat saja.

    ReplyDelete