Lelakiku dan Cinta yang Sederhana

By Zulfa Rahmatina - 9:46 AM

Telapak kecilku masih ia genggam. Erat. Lekat. Demikianlah, yang ia lakukan pada senja di penghujung tahun, saat sudah terlalu lama jarak menyekat kita untuk saling temu, hingga hampir-hampir aku tidak bisa memastikan, apakah bola matanya juga berkaca, seperti milikku.
Ada alasan kenapa haru itu tiba-tiba muncul. Saat waktu seperti berhenti berdetak begitu saja. Lelakiku … lelaki itu …

Aku mencoba meraba apa yang akan ia sampaikan lewat genggaman kali ini. Tanpa hambur peluk dan sebuah kecup di kening seperti biasanya. Waktu menjadi beku, tubuh berubah kaku. Tapi aku tahu, hatinya begitu buncah. Penuh oleh jutaan kata hingga membuatnya terasa kelu. 

Demikianlah senja di penghujung tahun yang membuatku memutar ulang seluruh episode yang kukenali lewat lembar-lembar potret dalam album yang lusuh. Wajahnya yang tersenyum bahagia, ketika dia menahan sesak dan amarah, ketika dia merasa haru, ketika terbesit bangga, ketika ia mengajarkanku banyak hal baru dan perasaan polos ini, atau wajah ketika dia mencemaskanku. Aku ingin melihat semuanya. Wajah yang ia tunjukkan hanya kepadaku. Aku ingin merekam semuanya pada seluruh memori ingatanku.

Ia, lelakiku. Lelaki yang sederhana. Yang cintanya lebih sering wujud dalam diam pada bola mata yang selalu lekat dalam pandangku. Cinta yang terbalut pada sapa ringan saat wajahku masih kantuk dan kuyu. Cinta pada aroma dari secangkir kopi putih yang menguar dan lalu kuhidu. Cinta yang ia titipkan pada kilau embun subuh yang gigil. Cinta yang hadir dalam rengkuh saat aku berjalan memutar dan tiba di persimpangan yang salah.

Aku tahu, cinta menurutnya, tidak sesederhana itu. Tidak sesederhana seperti semua jalan cerita dalam hidupnya hingga detik ini. Dan aku tidak tahu, mengapa begitu sulit bagi kami untuk saling mengungkapkannya. Mengantarkan cinta kami masing-masing dengan lebih terbuka. Mengatakan, “Aku mencintaimu. Sungguh-sungguh mencintaimu,” atau sesuatu seperti itu. Mengabadikan lebih banyak lagi gambar kita, seperti saat ombak mencacah lubang-lubang karang yang menjadi latar senyum kita yang kembang. Menunjukkan pada dunia bahwa, beginilah sejatinya cinta.

Aku berpikir, apakah aku butuh itu semua? Berpikir dan terus memikirkan ulang bagaimana caranya mencinta membuatku terpaku. Aku saja yang selalu menuntut. Sedang aku mengerti, cintanya begitu tulus. Begitu hangat. Cinta tanpa tuntut balas. Cinta tanpa cacat dan cela.

Dua puluh tahun ini, aku terus menuntut. Tanpa menyadari, aku tidak melakukan apa pun untuk semua cinta itu. Hanya menjadi bahagia, karena lelakiku, tak pernah lupa menyiram hatiku dengan cintanya. Cinta yang membuatnya canggung dan membuat kata-kata panjang itu terlipat dan masuk dalam selip saku baju.

Dua puluh tahun ini, seperti sebuah belati yang menyayat kesadaranku, genggaman yang tidak ia lepas itu membuatku melihat sesuatu. Sebentar lagi, aku yakin. Dia menyadari aku akan kembali meninggalkannya. Mungkin untuk waktu yang lebih lama. Begitu lama mungkin hingga aku tidak bisa lagi berada di dekatnya untuk sekadar mendengarkan jarum jam yang berdetak. Begitu lama, hingga sesosok lelaki yang lain menawan diriku dengan seluruh perhatian dan cintanya. Sementara ia tetap menyajikan cinta yang sama. Cinta yang tak pernah terbalas … cinta yang begitu sulit kuungkap meski aku begitu menginginkan ia mengetahui bahwa aku pun mencintainya. Mencintai lelaki itu. 

Lelakiku. Lelaki yang selalu ingin kubersamai setiap detiknya dalam dunia dan akhiratku.
Lelaki yang teramat besar cintaku padanya.
Lelaki yang ingin kuhantarkan padanya parcel berisi hati dan rasa terima kasih.
Lelaki yang ingin kumintai beribu maaf, karena tak pernah bisa membalas cintanya yang begitu suci.
Lelakiku, Abi …

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar