Pesan-pesan November

By Zulfa Rahmatina - 11:07 PM


Akhir dua puluh tahunku tidak berhenti di sudut ruangan tertinggi di suatu gedung berdinding kaca dengan secangkir cappuccino panas dan tempias hujan seperti senja yang matang kala itu. Akhir dua puluh tahunku tidak berhenti di situ. Tidak di tempat dimana mataku leluasa mengapung menatap siluetnya, di depan gedung seberang jalan berdinding kaca biru. Akhir dua puluh tahunku, yang juga berarti adalah akhir perjalanan bulanku, November, tidak lagi berakhir di situ.

Aku tidak benar-benar ingin menghabiskan akhir dua puluh tahunku di suatu tempat. Pun pada gedung berdinding kaca yang sama, dengan tumpukan buku-buku. Atau stasiun kota dengan lenguhan panjang sirine kereta. Aku tidak benar-benar menginginkannya, sekarang. Tapi mungkin suatu saat aku akan kembali ke sana jika rindu.

Tidak masalah di mana dua puluh tahunku akan berakhir. Di buku agendaku, tercatat akhir itu akan berada pada sebuah tempat yang asing. Bersama dengan para mahasiswi baru yang berada satu kloter denganku. Kabarnya di sana, keimanan kami akan ditempa dan dibina. Dan lagi-lagi, aku tidak mempermasalahkannya. Yang sedikit kurisaukan sejujurnya, aku menginginkan akhir dua puluh tahunku berakhir dengan ketenangan. Maksudnya, yah, kau tahu, aku suka menghabiskan waktu sendirian. Mungkin saat itu, aku bisa menyibak beberapa lembar episode yang telah berjalan.

Sebenarnya hal itu pun bukan masalah yang besar. Yang benar-benar menjadi masalah adalah, ada yang benar-benar mulai kikis, lalu habis. Sementara aku tak juga membisikkan rahasia kecil ini. Kukatakan di awal, aku tidak berniat menyembunyikan apa pun padamu. Tidak akan ...
Dan rasanya, kau perlu sekali mengetahui hal ini.

Di bulan ini, dua puluh tahun yang lalu, sebatang dandelion tumbuh. Tangkainya rapuh, benihnya seringkali tak utuh. Kehidupannya hampir tak terlihat kecuali seperti gumpalan kapas putih. Ia terlindung oleh perdu, terselip di antara ilalang. Tidak ada yang benar-benar menyadari keberadaannya.

Jika angin sedang bersiul cukup kencang, benih-benih dandelion yang ringan ikut terbawa beterbangan, mengambang di awang. Jika hari hujan cukup deras, bisa saja ia menjadi rusak. Tapi dandelion itu banyak belajar. Belajar mencintai hujan yang jika bertubi, kadangkala membuatnya mati. Belajar mencintai angin, yang saat menerpanya kencang, yang membuat benih-benih itu tercerabut, hakikatnya mengantarkan akan sejatinya arti kehidupan. Ia terus terbang ke arah angin membawanya. Menuju tempat-tempat asing yang berbeda satu sama lainnya. Menetap, menjalankan skenario kehidupan, belajar tentang lebih banyak lagi hal. Betapa pun menyakitkan dan melelahkan suatu perjalanan, ia terus berusaha menjalankan sebaik mungkin perannya di kehidupan ini.

Dan aku berkaca pada dandelion itu. Belajar banyak dari semua kejadian-kejadian kehidupan yang telah lalu. Belajar mencoba mengerti segala yang telah ditulis dan digariskan. Belajar memahami hakikat penantian dan perjalanan panjang. Belajar tentang kesabaran dan keikhlasan…

Kau tahu? Aku tidak sabar sekali ingin menceritakan lebih banyak kepadamu tentang bulan ini—lebih tepat jika kukatakan, aku tidak sabar menanti perjumpaan denganmu. Bercerita tentang lebih banyak hal yang sudah kulalui. Aku, tidak sabar, untuk menceritakan hal ini kepadamu. Bulanku, November. Bulan di mana bumi mulai menguning dan merah karena guguran dedaunan. Bulan di saat banyak hal yang teramat penting terjadi. Bulan ketika semesta suka sekali berpuisi ...

Aku tidak pernah membayangkan kita akan dipertemukan di bulan ini, atau bulan-bulan yang lainnya. Tapi jika ternyata Tuhan mempertemukanku denganmu pada bulan ini, daftar kejadian yang penting dalam hidupku itu akan bertambah menjadi semakin panjang dan manis.

Di sini, pada detik ini, sudah tidak dapat lagi kuhitung aku menjumpai hujan di kali ke berapa. Apakah kau juga sama? Jangan-jangan kau masih mencatat dan mengingat semua perjumpaanmu dengan hujan. Tapi terlepas sudah berapa kali hujan menemuimu, tentu kau ingat, bukan? Bahkan sejak rintik pertama yang jatuh ke bumi, hingga sisa terakhir hujan malam ini yang menggenang pada setapak jalan di sekitar asrama, ia masih membawa pesan yang sama. Ia melakukan tugasnya dengan baik di bulanku. November, bulan dimana petrichor berbaik hati menyampaikan semua pesan rindu. Ah, apakah kau merasakannya? Pesan itu … kumohon kau tidak menganggapku sedang bercanda.   

Malam ini tidak berbintang dan napasku menjadi beku. Tetapi perasaan ini membuatku menjadi hangat. Ah, kapan kau akan mengatakannya? Aku ingin sekali segera merasakan perasaan itu. Perasaan canggung, tersipu, sesekali bertengkar, atau bahkan mungkin kecewa, dan patah hati? Aku mengerti, kau hanya akan datang ketika masing-masing kita sudah saling siap, kan? Aku berterima kasih sekali. Karena hanya dengan memikirkan hal itu saja sudah membuatku begitu bahagia.

Kepada hujan yang turun aku meminta. Mungkin saja permohonanku akan terkabul saat hujan turun. Dan aku ingin sedikit lebih lama lagi menikmati rintik ini ...

Menguntai lebih banyak rinai doa dalam hati ...

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar