Akhir dua puluh tahunku tidak
berhenti di sudut ruangan tertinggi di suatu gedung berdinding kaca dengan
secangkir cappuccino panas dan tempias hujan seperti senja yang matang kala
itu. Akhir dua puluh tahunku tidak berhenti di situ. Tidak di tempat dimana
mataku leluasa mengapung menatap siluetnya, di depan gedung seberang jalan
berdinding kaca biru. Akhir dua puluh tahunku, yang juga berarti adalah akhir
perjalanan bulanku, November, tidak lagi berakhir di situ.
Aku tidak benar-benar ingin menghabiskan
akhir dua puluh tahunku di suatu tempat. Pun pada gedung berdinding kaca yang
sama, dengan tumpukan buku-buku. Atau stasiun kota dengan lenguhan panjang
sirine kereta. Aku tidak benar-benar menginginkannya, sekarang. Tapi mungkin
suatu saat aku akan kembali ke sana jika rindu.
Tidak masalah di mana dua puluh
tahunku akan berakhir. Di buku agendaku, tercatat akhir itu akan berada pada
sebuah tempat yang asing. Bersama dengan para mahasiswi baru yang berada satu
kloter denganku. Kabarnya di sana, keimanan kami akan ditempa dan dibina. Dan
lagi-lagi, aku tidak mempermasalahkannya. Yang sedikit kurisaukan sejujurnya,
aku menginginkan akhir dua puluh tahunku berakhir dengan ketenangan. Maksudnya,
yah, kau tahu, aku suka menghabiskan waktu sendirian. Mungkin saat itu,
aku bisa menyibak beberapa lembar episode yang telah berjalan.
Sebenarnya hal itu pun bukan masalah
yang besar. Yang benar-benar menjadi masalah adalah, ada yang benar-benar mulai
kikis, lalu habis. Sementara aku tak juga membisikkan rahasia kecil ini.
Kukatakan di awal, aku tidak berniat menyembunyikan apa pun padamu. Tidak akan
...
Dan rasanya, kau perlu sekali
mengetahui hal ini.
Di bulan ini, dua puluh tahun yang
lalu, sebatang dandelion tumbuh. Tangkainya rapuh, benihnya seringkali tak utuh.
Kehidupannya hampir tak terlihat kecuali seperti gumpalan kapas putih. Ia
terlindung oleh perdu, terselip di antara ilalang. Tidak ada yang benar-benar
menyadari keberadaannya.
Jika angin sedang bersiul cukup
kencang, benih-benih dandelion yang ringan ikut terbawa beterbangan, mengambang
di awang. Jika hari hujan cukup deras, bisa saja ia menjadi rusak. Tapi
dandelion itu banyak belajar. Belajar mencintai hujan yang jika bertubi,
kadangkala membuatnya mati. Belajar mencintai angin, yang saat menerpanya kencang,
yang membuat benih-benih itu tercerabut, hakikatnya mengantarkan akan sejatinya
arti kehidupan. Ia terus terbang ke arah angin membawanya. Menuju tempat-tempat
asing yang berbeda satu sama lainnya. Menetap, menjalankan skenario kehidupan,
belajar tentang lebih banyak lagi hal. Betapa pun menyakitkan dan melelahkan
suatu perjalanan, ia terus berusaha menjalankan sebaik mungkin perannya di
kehidupan ini.
Dan aku berkaca pada dandelion itu.
Belajar banyak dari semua kejadian-kejadian kehidupan yang telah lalu. Belajar
mencoba mengerti segala yang telah ditulis dan digariskan. Belajar memahami
hakikat penantian dan perjalanan panjang. Belajar tentang kesabaran dan
keikhlasan…
Kau tahu? Aku tidak sabar sekali
ingin menceritakan lebih banyak kepadamu tentang bulan ini—lebih tepat jika
kukatakan, aku tidak sabar menanti perjumpaan denganmu. Bercerita tentang
lebih banyak hal yang sudah kulalui. Aku, tidak sabar, untuk menceritakan
hal ini kepadamu. Bulanku, November. Bulan di mana bumi mulai menguning dan
merah karena guguran dedaunan. Bulan di saat banyak hal yang teramat penting
terjadi. Bulan ketika semesta suka sekali berpuisi ...
Aku tidak pernah membayangkan kita
akan dipertemukan di bulan ini, atau bulan-bulan yang lainnya. Tapi jika
ternyata Tuhan mempertemukanku denganmu pada bulan ini, daftar kejadian yang
penting dalam hidupku itu akan bertambah menjadi semakin panjang dan manis.
Di sini, pada detik ini, sudah tidak
dapat lagi kuhitung aku menjumpai hujan di kali ke berapa. Apakah kau juga
sama? Jangan-jangan kau masih mencatat dan mengingat semua perjumpaanmu dengan
hujan. Tapi terlepas sudah berapa kali hujan menemuimu, tentu kau ingat, bukan?
Bahkan sejak rintik pertama yang jatuh ke bumi, hingga sisa terakhir hujan malam
ini yang menggenang pada setapak jalan di sekitar asrama, ia masih membawa pesan
yang sama. Ia melakukan tugasnya dengan baik di bulanku. November, bulan dimana
petrichor berbaik hati menyampaikan semua pesan rindu. Ah, apakah kau
merasakannya? Pesan itu … kumohon kau tidak menganggapku sedang bercanda.
Malam ini tidak berbintang dan
napasku menjadi beku. Tetapi perasaan ini membuatku menjadi hangat. Ah, kapan
kau akan mengatakannya? Aku ingin sekali segera merasakan perasaan itu. Perasaan
canggung, tersipu, sesekali bertengkar, atau bahkan mungkin kecewa, dan patah
hati? Aku mengerti, kau hanya akan datang ketika masing-masing kita sudah
saling siap, kan? Aku berterima kasih sekali. Karena hanya dengan memikirkan hal
itu saja sudah membuatku begitu bahagia.
Kepada hujan yang turun aku meminta.
Mungkin saja permohonanku akan terkabul saat hujan turun. Dan aku ingin sedikit
lebih lama lagi menikmati rintik ini ...
Menguntai lebih banyak rinai doa
dalam hati ...
0 komentar