Hey, hari apa ini?
Penghujung November…
Sore ini hujan turun ketika kelopak mataku berkedip.
Saat aku masih terngiang suara mistis yang kusadari tidak akan lagi kudapati
dalam waktu yang dekat ini; merdu adzan subuh dan lengking lokomotif kereta.
Hujan kali ini… deras sekali, kau tahu? Tempiasnya
yang biasanya hanya sampai pada balkon kamarku, sekarang masuk hingga ke tempat
tidurku. Ah, apa yang ingin disampaikan hujan kali ini? Aku terkejut ketika ia
benar-benar datang di hari ini. Meski sebelumnya, aku sendiri yang memintanya
untuk berjanji.
Aku melihat hujan turun dari lantai teratas sebuah
gedung tempatku tinggal. Langit menjadi berkabut dan pandanganku mengembun.
Terus mencari-cari sesuatu yang dibawanya kali ini membuatku memikirkan aku
yang dalam sekejap akhirnya berubah menjadi sesuatu yang lain. Melintasi peralihan
waktu dengan begitu cepat.
Bagaimana mengatakannya? Kita tak pernah benar-benar
saling bertemu, kan? Kita tidak pernah benar-benar saling berbincang, kurasa.
Tapi, setiap aku akan membuka atau menutup hariku, rasanya aku ingin kaulah
yang pertama kali mendengarkan ceritaku. Cerita tentang hari yang baru saja
lalu.
Bagaimana menjelaskannya? Perasaan ganjil ini
membuatku gugup. Aku mengkhawatirkan sesuatu. Dan kecemasan itu selalu
kusembahkan pada hujan. Ah, seharusnya aku tidak menyusahkan hujan dengan
perasaan seperti ini. Aku tahu kau lebih berharap aku menyambut hujan dengan
perasaan dan hati yang basah. Sejuk… seperti yang selalu ditawarkannya. Tapi
sering aku curiga, jangan-jangan kau sama. Kau juga mengadukan pedihmu pada
hujan, bukan? Ayo mengakulah…
Aku tidak tahu di mana kau berada saat ini. Mungkin
hari ini kau tidak melewati perpustakaan kampus seperti siang itu. Mungkin kau
sedang menyeduh secangkir cokelat panas dan membaca sebuah buku. Mungkin kau
masih larut dalam bincang dengan bundamu. Atau, jangan-jangan kau sedang
menyaksikan hujan yang sama dalam teduhmu?
Apa pun itu, aku akan menyampaikan sesuatu yang penting.
Aku harap kau mau mendengarkannya. Sebentar saja, luangkan waktumu untuk
membaca baris-baris kalimat ini, ya? Semoga hal ini tidak membuatmu jenuh dan
bosan.
Baiklah, kumulai.
Hari ini banyak sekali doa yang mengalir. Terucap berupa-rupa
untai kalimat yang membuatku haru. Dalam hati aku ikut menghiba, semoga semua
bisik mereka didengar oleh langit. Termasuk kalimat yang berisi penuh harap
agar Allah segera menyatukan kita dalam temu.
Sebenarnya, hal inilah yang ingin kukatakan. Sesuatu
yang sangat mengganggu pikiranku akhir-akhir ini. Aku… Ya Tuhan… aku bahkan
kesulitan untuk menggerakkan jemariku.
Aku hanya ingin… ingin meminta maaf. Maaf karena aku
terus membiarkan perasaan ini tumbuh dan mengakar. Maaf karena aku tidak juga
mampu membuatnya hilang. Maaf jika aku selalu menyampaikan pesan itu untukmu. Kau
sudah menerimanya, bukan? Ya, petrichor yang membawa pesan rindu untukmu.
Sekali lagi maaf… aku memang seharusnya tidak melakukannya, bukan?
Sekali lagi maaf… aku memang seharusnya tidak melakukannya, bukan?
Aku tahu ini salah.
Aku mohon maafkan aku.
Tapi apa yang sebenarnya harus kulakukan?
Aku sama sekali tidak tahu.
Sedang aku begitu merindu.
Surakarta, (28/11).
Perempuan dengan Hati Berlubang.
0 komentar