Hidup adalah prasangka. Terlalu banyak
hal yang belum manusia ketahui. Terlalu luas pengetahuan, yang seringkali
bahkan tidak pernah sedikit pun kita hirup aromanya. Tapi, manusia sering
merasa percaya diri mengetahui semuanya. Padahal kita tertabir oleh suatu
kepekatan takdir masa depan. Padahal kita tidak pernah tahu apa yang akan
terjadi pada diri kita, bahkan satu detik ke depan. Untuk itulah kita sering
menduga, mereka-reka, berprasangka.
Banyak kata yang bisa dirangkai
untuk memberi berantai alasan mengapa episode hidup mengantarku pada suatu
rangkaian acara diklatsar Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Pabelan. Mungkin karena
aku mengikuti prosedur yang dimainkan. Mungkin ini lebih dikarenakan
ketertarikanku yang mendalam pada gemerlapnya dunia literasi. Dan, masih banyak
mungkin lain yang bisa terjabar untuk memberi penjelasan. Tapi, semua kata itu
menjadi beku, ketika aku melontarkan sendiri sebuah tanya, “Mengapa aku
benar-benar berada di sini? Untuk apa?”
Bertemu dengan orang-orang asing
yang tidak pernah dijumpa. Bukankah selama ini, itu adalah sesuatu yang sangat
melelahkan dan menyakitkan bagiku? Bukankah, akan lebih baik jika aku menjadi
diriku yang sebenarnya? Maksudku adalah aku yang dengan duniaku sendiri. Tapi ternyata
aku lebih memilih berlelah-lelah dan meninggalkan rutinitas weekend yang
menyenangkan. Berela-rela absen di beberapa mata kuliah dan lebih memilih
menyimak segudang pengetahuan tentang kepenulisan yang sudah sangat sering
hinggap di otakku, lalu lebur tanpa sisa. Juga, memilih berlama-lama duduk
menyimak ilmu-ilmu layout dan fotografi yang tidak begitu kuminati. Apa tujuannya?
Padahal, betapa banyak
komunitas-komunitas kepenulisan yang kuikuti dan aku mengambil peran di
dalamnya. Padahal, betapa sering juga aku menghadiri seminar dan bermacam-macam
pelatihan menulis. Betapa aku mengerti, jika teori dari para pakar itu selalu disampaikan
berulang, tak peduli di tempat mana aku berada. Betapa aku juga telah menarik
satu kesimpulan bahwa untuk bisa
menulis, bukan dengan hanya memungut semua teori-teori itu. Tapi untuk bisa
menulis, kau hanya harus duduk dan menulislah. Itu saja. Untuk apa? Jadi untuk
apa aku melakukan itu semua? Aku kembali bertanya-tanya …
Untuk menulis, aku hanya harus
menarikan pena. Menggoreskan berenda-renda kata. Aku hanya harus berbuat itu.
Tapi melalui sudut pandang yang berbeda, aku melihat sesuatu yang lain. Manusia
tidak bisa melakukan segala sesuatu sendirian. Meski aku bisa menulis sendiri,
menjadi penulis adalah pekerjaan yang tidak bisa kita lakukan sendirian, tidak
peduli betapapun kau mampu menghasilkan berlembar-lembar paragraf dari tarian
penamu, sendirian.
Di langkah kecil perjalanan panjang
ini, aku kembali berusaha membuat banyak tapak dan meniti hati-hati. Di keping
mozaik kali ini, aku kembali meraba dan mencari-cari sinar-sinar benderang yang bisa
membantuku melangkah dan sebagai penerang jalan panjang literasiku. Pada satu
lagi episode hidupku ini, aku berharap bisa berlatih lebih tinggi lagi
mengepakkan sayap literasi.
Terima kasih untuk kenangan indah
tempo hari, LPM Pabelan! Mari lebih banyak lagi membuat kenangan indah
bersama-sama.
0 komentar