Aku dan Rupa-rupa Sangka

By Zulfa Rahmatina - 9:58 AM

Hidup adalah prasangka. Terlalu banyak hal yang belum manusia ketahui. Terlalu luas pengetahuan, yang seringkali bahkan tidak pernah sedikit pun kita hirup aromanya. Tapi, manusia sering merasa percaya diri mengetahui semuanya. Padahal kita tertabir oleh suatu kepekatan takdir masa depan. Padahal kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi pada diri kita, bahkan satu detik ke depan. Untuk itulah kita sering menduga, mereka-reka, berprasangka.

Banyak kata yang bisa dirangkai untuk memberi berantai alasan mengapa episode hidup mengantarku pada suatu rangkaian acara diklatsar Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Pabelan. Mungkin karena aku mengikuti prosedur yang dimainkan. Mungkin ini lebih dikarenakan ketertarikanku yang mendalam pada gemerlapnya dunia literasi. Dan, masih banyak mungkin lain yang bisa terjabar untuk memberi penjelasan. Tapi, semua kata itu menjadi beku, ketika aku melontarkan sendiri sebuah tanya, “Mengapa aku benar-benar berada di sini? Untuk apa?”

Bertemu dengan orang-orang asing yang tidak pernah dijumpa. Bukankah selama ini, itu adalah sesuatu yang sangat melelahkan dan menyakitkan bagiku? Bukankah, akan lebih baik jika aku menjadi diriku yang sebenarnya? Maksudku adalah aku yang dengan duniaku sendiri. Tapi ternyata aku lebih memilih berlelah-lelah dan meninggalkan rutinitas weekend yang menyenangkan. Berela-rela absen di beberapa mata kuliah dan lebih memilih menyimak segudang pengetahuan tentang kepenulisan yang sudah sangat sering hinggap di otakku, lalu lebur tanpa sisa. Juga, memilih berlama-lama duduk menyimak ilmu-ilmu layout dan fotografi yang tidak begitu kuminati. Apa tujuannya?

Padahal, betapa banyak komunitas-komunitas kepenulisan yang kuikuti dan aku mengambil peran di dalamnya. Padahal, betapa sering juga aku menghadiri seminar dan bermacam-macam pelatihan menulis. Betapa aku mengerti, jika teori dari para pakar itu selalu disampaikan berulang, tak peduli di tempat mana aku berada. Betapa aku juga telah menarik satu kesimpulan bahwa untuk bisa menulis, bukan dengan hanya memungut semua teori-teori itu. Tapi untuk bisa menulis, kau hanya harus duduk dan menulislah. Itu saja. Untuk apa? Jadi untuk apa aku melakukan itu semua? Aku kembali bertanya-tanya …

Untuk menulis, aku hanya harus menarikan pena. Menggoreskan berenda-renda kata. Aku hanya harus berbuat itu. Tapi melalui sudut pandang yang berbeda, aku melihat sesuatu yang lain. Manusia tidak bisa melakukan segala sesuatu sendirian. Meski aku bisa menulis sendiri, menjadi penulis adalah pekerjaan yang tidak bisa kita lakukan sendirian, tidak peduli betapapun kau mampu menghasilkan berlembar-lembar paragraf dari tarian penamu, sendirian.

Di langkah kecil perjalanan panjang ini, aku kembali berusaha membuat banyak tapak dan meniti hati-hati. Di keping mozaik kali ini, aku kembali meraba dan mencari-cari sinar-sinar benderang yang bisa membantuku melangkah dan sebagai penerang jalan panjang literasiku. Pada satu lagi episode hidupku ini, aku berharap bisa berlatih lebih tinggi lagi mengepakkan sayap literasi.

Terima kasih untuk kenangan indah tempo hari, LPM Pabelan! Mari lebih banyak lagi membuat kenangan indah bersama-sama.
            

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar