Assalamu’alaikum…
Hey, I’m back.
Did you miss me?
Ww-what? No?
Are you sure? No??
Okay, I’ll just leave now. *kidding*
Hoaamm… selamat pagi, Minna-san.
Pagi Mareeettt!
Terima kasih ya, yang sudah
nyempatin ngelongok blog ane dan baca-baca. Jangan jadi silent reader dong. Sesekali
kasih feedback, gitu. Kutunggu. Suatu saat kita bisa meet up dan… ngopi bareng, mungkin? *ini enggak kepedean. Aku dapet
banyak info dari teman-temanku, kalo teman-temannya, juga baca blogku. Jadi,
gimana kalau temannya teman temanku baca blogku juga? Ah, teman siapapun kamu,
terima kasih, telah mendaratkan matamu dan koneksi internetmu di blog ini. Sekali
lagi, sankyuu!
Sepertinya
saya akan lebih sering menuangkan kerandoman hidup saya di blog ini mulai
sekarang dan seterusnya. Mohon jangan bosan dan buru-buru angkat kaki, ya…
Kalaupun
blog ini hanya berisi celoteh yang tidak penting, saya akan terus berusaha
untuk menjadikan setiap ocehan saya bermanfaat.
Hmm.
Ada banyak sekali hal random yang sudah terjadi seminggu terakhir ini. Karena,
tentu saja saya menghadapinya dengan random (?)
“Begini seharusnya kamar cewek!”
Ummi menarik selimut yang sebagian masih menggulung badanku. “Begini!” Ia lalu
melipatnya, menarik bantal yang masih kutindih, melempar-lemparnya di tempat
seharusnya, dan mengusirku dengan tidak halus.
Oke, aku menyerah. Kutinggalkan
laptop yang masih menyala dan kubiarkan Ummi mematikannya. Tentu saja, setelah
kututup lembar kerjaku. Aku nggak suka orang lain lihat tulisanku sebelum aku mengijinkan
mereka melihatnya. Hal yang sama berlaku juga untuk Ummiku yang kepo, tentu
saja.
Menulis di bawah deadline, entah
kenapa, kali ini membuatku stress dan kacau sekali. Jumlah halaman yang
dibatasi juga membuatku ingin terjun ke jurang (?) pokoknya, meski aku menulis
dengan hati senang tralala trilili, dan aku tidak mau mengakui—kalau tertekan,
banyak teman yang mengingatkan jika aku ini memang harus banyak istirahat dan
cari suasana baru *pukpuk. Mariska-Senpai, mojang Palembang—mojang Palembang?
Haha!—ini bahkan menyarankanku agar banyak ngopi dan nonton Doraemon. Oke,
noted!
Yahh, jadi setelah aku banyak
bertapa di kamar, mungkin memang aku harus ke luar dari kamar. Jadilah aku
keluar kamar, dan menuju lemari pendingin. Air dingin mungkin bisa mendinginkan
otakku juga. Tapi di ruang makan, otakku kembali harus dipaksa untuk bekerja
lebih keras saat mataku menangkap bayangan satu-satunya adik cowokku yang baru
saja menutup magic jar.
“Hey!” sambil memegang gelas berisi
air dingin, aku mengamatinya yang kini sedang menyendok lauk. “Kamu kan, baru
makan…” aku mengingat-ingat. “Belum ada dua jam yang lalu!” aku geleng-geleng
kepala.
Tapi adikku yang biasanya berdalih
dengan perkataan-perkataannya yang dibuat intelek, seperti, ‘Aku baru saja
berpikir, jadi butuh energi yang banyak!’ atau kalimat-kalimat menyebalkan
lainnya itu, kini hanya diam sambil melirikku acuh.
“Di luar sana orang-orang sulit
dapat beras dan kamu enak-enakan makan dua jam sekali.” Kataku sengak, sambil
masih terus tidak habis pikir perutnya terbuat dari apa. Karet? Sebenarnya aku
tidak peduli adikku makan sebanyak apa. Memang aku yang suka cari masalah
aja—begitu juga dia.
“Mbak, jangan bilang gitu dong, nanti
nafsu makanku hilang.”
Aku mengangguk, paham. Memang,
kemarin saja waktu aku menanak nasi rasanya ingin menangis sekali. Apa pasal?
Beras kami enak, putih, bersih, dan selalu membuat perutku kenyang—tidak
seperti raskin yang sampai diperebutkan. Rasanya miris sekali menyadari di
belahan bumi yang lain, ada orang-orang yang kesulitan mendapatkan beras, dan
aku masih saja mengeluh.
Aku
menatap adikku dan sepiring nasinya yang menggunung dengan kasihan. Kasihan
jika nasi itu mubadzir karena adikku yang nafsu makannya hilang gara-gara
perkataanku tadi. Ingin meminta maaf, tapi gengsi. Aku baru akan mencoba melakukan
itu dan membuang egoku sebelum rasa tadi lenyap seketikan saat adikku mencomot
paha ayam jatahku dan langsung melarikan diri!
Ingin
sekali kugetok kepalanya melihat cengiran bodoh itu. Tapi aku hanya mendengus,
dan membiarkannya. Meski moodku tidak sedang baik-baik amat, dan biasa-biasa
saja, kali itu aku membiarkannya bertindak kriminal dan tidak menceramahinya
atau mengajaknya berdebat seperti biasanya, karena kemarin adikku sudah berbaik
hati memberiku cokelat almond yang sangat enak—yang tidak kutahu dia dapat dari
mana—meski aku tidak boleh meminta tambah. Huh.
Ohh
iya. Rumahku sedang ricuh sekali. Gara-gara salah satu gigi depan adik terkecilku,
Firda, yang baru kelas 1 SD. Dia sering memamerkan giginya yang goyang dan meminta
aku menggerak-gerakkannya. Karena aku khawatir dia menangis karena aku tidak
melakukan yang dia pinta, dan jika nanti giginya yang kugoyangkan membuatnya
nyeri, aku melakukannya dengan meringis dan sangat berhati-hati. Ckck.
Dia
selalu berceloteh tentang gigi dewasa yang diidam-idamkannya, juga gigi susunya
yang hampir terlepas. Kulihat adikku sangat menikmati sekali fase pertama
giginya yang goyang. Tapi beberapa hari ini dia banyak menangis dan bertingkah
menyebalkan sekali! Karena giginya sakit, ia melampiaskannya dengan semua orang
di rumah. Suaranya yang cempereng dan dia yang berteriak-teriak membuatku tidak
betah dan lebih baik aku menyumpalkan headset di telinga lebih lama. Aku harap
giginya segera tanggal dan rumah kami kembali menjadi aman hingga kami tidak
perlu lagi bersiaga satu.
Masih
banyak sekali hal random lainnya yang terjadi—seperti hatiku yang sakit ketika
Bilal mengacuhkanku, sepupuku yang menyebalkan sekali, dan orang-orang yang
entah kenapa jadi menggemaskan dan pengen kubunuh. Juga teman-teman di Jakarta
yang masih menganggap seolah-olah aku ini masih ada di sana—Ana yang memintaku
membantunya pindah kos, Aisyah yang meminta dikirimi dorama-dorama detektif
yang lain setelah dia tergila-gila dengan Mr. Otak, juga teman-teman lain yang
menjadikan hidupku seperti mengambang.
Banyak
hal yang ingin kuceritakan. Tapi sekarang aku akan berjuang menyelesaikan
self-editing—fase paling berdarah-darah—dulu, yaaa! Nantikan kerandomanku
selanjutnya. Haha!
0 komentar