My Random Life

By Zulfa Rahmatina - 6:57 AM

Assalamu’alaikum…

Hey, I’m back.
Did you miss me?
Ww-what? No?
Are you sure? No??
Okay, I’ll just leave now. *kidding*

            Hoaamm… selamat pagi, Minna-san. Pagi Mareeettt!
            Terima kasih ya, yang sudah nyempatin ngelongok blog ane dan baca-baca. Jangan jadi silent reader dong. Sesekali kasih feedback, gitu. Kutunggu. Suatu saat kita bisa meet up dan… ngopi bareng, mungkin? *ini enggak kepedean. Aku dapet banyak info dari teman-temanku, kalo teman-temannya, juga baca blogku. Jadi, gimana kalau temannya teman temanku baca blogku juga? Ah, teman siapapun kamu, terima kasih, telah mendaratkan matamu dan koneksi internetmu di blog ini. Sekali lagi, sankyuu!
Sepertinya saya akan lebih sering menuangkan kerandoman hidup saya di blog ini mulai sekarang dan seterusnya. Mohon jangan bosan dan buru-buru angkat kaki, ya…
Kalaupun blog ini hanya berisi celoteh yang tidak penting, saya akan terus berusaha untuk menjadikan setiap ocehan saya bermanfaat.
Hmm. Ada banyak sekali hal random yang sudah terjadi seminggu terakhir ini. Karena, tentu saja saya menghadapinya dengan random (?)
           “Begini seharusnya kamar cewek!” Ummi menarik selimut yang sebagian masih menggulung badanku. “Begini!” Ia lalu melipatnya, menarik bantal yang masih kutindih, melempar-lemparnya di tempat seharusnya, dan mengusirku dengan tidak halus.
     Oke, aku menyerah. Kutinggalkan laptop yang masih menyala dan kubiarkan Ummi mematikannya. Tentu saja, setelah kututup lembar kerjaku. Aku nggak suka orang lain lihat tulisanku sebelum aku mengijinkan mereka melihatnya. Hal yang sama berlaku juga untuk Ummiku yang kepo, tentu saja.
             Menulis di bawah deadline, entah kenapa, kali ini membuatku stress dan kacau sekali. Jumlah halaman yang dibatasi juga membuatku ingin terjun ke jurang (?) pokoknya, meski aku menulis dengan hati senang tralala trilili, dan aku tidak mau mengakui—kalau tertekan, banyak teman yang mengingatkan jika aku ini memang harus banyak istirahat dan cari suasana baru *pukpuk. Mariska-Senpai, mojang Palembang—mojang Palembang? Haha!—ini bahkan menyarankanku agar banyak ngopi dan nonton Doraemon. Oke, noted!
            Yahh, jadi setelah aku banyak bertapa di kamar, mungkin memang aku harus ke luar dari kamar. Jadilah aku keluar kamar, dan menuju lemari pendingin. Air dingin mungkin bisa mendinginkan otakku juga. Tapi di ruang makan, otakku kembali harus dipaksa untuk bekerja lebih keras saat mataku menangkap bayangan satu-satunya adik cowokku yang baru saja menutup magic jar.
         “Hey!” sambil memegang gelas berisi air dingin, aku mengamatinya yang kini sedang menyendok lauk. “Kamu kan, baru makan…” aku mengingat-ingat. “Belum ada dua jam yang lalu!” aku geleng-geleng kepala.
          Tapi adikku yang biasanya berdalih dengan perkataan-perkataannya yang dibuat intelek, seperti, ‘Aku baru saja berpikir, jadi butuh energi yang banyak!’ atau kalimat-kalimat menyebalkan lainnya itu, kini hanya diam sambil melirikku acuh.
            “Di luar sana orang-orang sulit dapat beras dan kamu enak-enakan makan dua jam sekali.” Kataku sengak, sambil masih terus tidak habis pikir perutnya terbuat dari apa. Karet? Sebenarnya aku tidak peduli adikku makan sebanyak apa. Memang aku yang suka cari masalah aja—begitu juga dia.
             “Mbak, jangan bilang gitu dong, nanti nafsu makanku hilang.”
         Aku mengangguk, paham. Memang, kemarin saja waktu aku menanak nasi rasanya ingin menangis sekali. Apa pasal? Beras kami enak, putih, bersih, dan selalu membuat perutku kenyang—tidak seperti raskin yang sampai diperebutkan. Rasanya miris sekali menyadari di belahan bumi yang lain, ada orang-orang yang kesulitan mendapatkan beras, dan aku masih saja mengeluh.
Aku menatap adikku dan sepiring nasinya yang menggunung dengan kasihan. Kasihan jika nasi itu mubadzir karena adikku yang nafsu makannya hilang gara-gara perkataanku tadi. Ingin meminta maaf, tapi gengsi. Aku baru akan mencoba melakukan itu dan membuang egoku sebelum rasa tadi lenyap seketikan saat adikku mencomot paha ayam jatahku dan langsung melarikan diri!
Ingin sekali kugetok kepalanya melihat cengiran bodoh itu. Tapi aku hanya mendengus, dan membiarkannya. Meski moodku tidak sedang baik-baik amat, dan biasa-biasa saja, kali itu aku membiarkannya bertindak kriminal dan tidak menceramahinya atau mengajaknya berdebat seperti biasanya, karena kemarin adikku sudah berbaik hati memberiku cokelat almond yang sangat enak—yang tidak kutahu dia dapat dari mana—meski aku tidak boleh meminta tambah. Huh.
Ohh iya. Rumahku sedang ricuh sekali. Gara-gara salah satu gigi depan adik terkecilku, Firda, yang baru kelas 1 SD. Dia sering memamerkan giginya yang goyang dan meminta aku menggerak-gerakkannya. Karena aku khawatir dia menangis karena aku tidak melakukan yang dia pinta, dan jika nanti giginya yang kugoyangkan membuatnya nyeri, aku melakukannya dengan meringis dan sangat berhati-hati. Ckck.
Dia selalu berceloteh tentang gigi dewasa yang diidam-idamkannya, juga gigi susunya yang hampir terlepas. Kulihat adikku sangat menikmati sekali fase pertama giginya yang goyang. Tapi beberapa hari ini dia banyak menangis dan bertingkah menyebalkan sekali! Karena giginya sakit, ia melampiaskannya dengan semua orang di rumah. Suaranya yang cempereng dan dia yang berteriak-teriak membuatku tidak betah dan lebih baik aku menyumpalkan headset di telinga lebih lama. Aku harap giginya segera tanggal dan rumah kami kembali menjadi aman hingga kami tidak perlu lagi bersiaga satu.
Masih banyak sekali hal random lainnya yang terjadi—seperti hatiku yang sakit ketika Bilal mengacuhkanku, sepupuku yang menyebalkan sekali, dan orang-orang yang entah kenapa jadi menggemaskan dan pengen kubunuh. Juga teman-teman di Jakarta yang masih menganggap seolah-olah aku ini masih ada di sana—Ana yang memintaku membantunya pindah kos, Aisyah yang meminta dikirimi dorama-dorama detektif yang lain setelah dia tergila-gila dengan Mr. Otak, juga teman-teman lain yang menjadikan hidupku seperti mengambang.
Banyak hal yang ingin kuceritakan. Tapi sekarang aku akan berjuang menyelesaikan self-editing—fase paling berdarah-darah—dulu, yaaa! Nantikan kerandomanku selanjutnya. Haha!

            

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar