Hoşça kal
By: @Zulfaiiry
Erol
gelisah. Sesekali, pintu dapur yang dibukanya membuat suara api dan denting
peralatan dapur lainnya sejenak menyelinap keluar lewat celah yang ia cipta.
Empat kali sudah ia melakukan hal itu; melongokkan kepala ke arah luar dan
mengarahkan pandangannya pada meja di sudut ruangan dekat jendela besar. Kali
kelima ia melakukan hal itu, meja di sudut sudah terisi. Bukan, bukan
gadis—yang memang ditunggunya daritadi—yang biasa menghabiskan senja di meja
itu yang menempatinya. Tetapi, sepasang lansia yang membuatnya begitu geram.
Baru
selangkah ia berjalan untuk menyarankan pasangan lansia itu agar pindah di meja
lain, sebuah suara telah menghentikannya.
“Merhaba[1],
Erol-abi.” Rehma, chef termuda di kafenya itu membuat Erol mengurungkan niat.
“Selam,
hoş geldiniz[2].”
Balasnya, sambil cepat-cepat meraih sesuatu di atas penampan yang kemudian ia
masukkan ke dalam saku.
“Hoş
bulduk,”
sahut Rehma, sambil tersenyum. “Ne haber[3]?”
rupanya, basa-basi gadis itu kepada bosnya belum berakhir. Sambil memakai
celemek, Rehma masih saja ingin mengajak bicara Erol yang wajahnya kini sudah
seperti udang goreng.
Sama
seperti dirinya, Rehma memang asli keturunan Turki. Di sela kesibukan kuliahnya
di Jakarta, Rehma adalah gadis muda cekatan yang bekerja paruh waktu di
kafenya. Kadang Erol senang saat Rehma masih mengajak ia berbicara dengan
bahasa ibu mereka. Tapi sama seperti saat itu, kadang Erol juga jenuh karena
Rehma terlalu cerewet.
“Fena değil[4],”
tukas Erol ketus, sambil tidak balik menanyakan kabar Rehma. Dilihatnya jam
tangan lekat-lekat. Erol mendecis saat matanya masih mendapati sepasang lansia
yang tengah tertawa-tawa, di meja dimana dia mengharap kehadiran gadis yang
dinantinya.
Erol
merutuki nasibnya yang sial. Hari itu, rencananya benar-benar gagal.
♥
Erol mematut dirinya di depan
cermin, lama-lama. Hari itu, ia merapihkan cambang dan menyisir rapi rambut.
Ini adalah hari istimewa Erol. Ia sangat berharap, gadis yang kemarin
ditunggunya sudi menghabiskan senja di kafenya, seperti hari-hari kemarin.
Sebelum berangkat, Erol masih sempat memeriksa bungkusan kecil yang diletakkannya
pada saku celana. Erol tersenyum puas. Tidak akan ada orang yang bisa merusak
harinya itu, batin Erol senang.
♥
Tidak butuh waktu lama bagi Erol untuk
melajukan mobilnya di jalan padat Jakarta. Jarak antara apartemen dengan
kafenya memang tidak begitu jauh. Kafe Turki yang dirintisnya susah payah
setelah ia bangkit dari kondisi mentalnya yang dulu sangat terpuruk gara-gara
seorang gadis berwajah Asia Timur itu sudah tampak di depan mata. Erol
menepikan mobil di tempat parkir. Dengan ramah, ia menyapa semua pegawainya.
Bergegas
Erol menuju dapur. Ia hendak membuat yalanci dolma sebagai appetizer. Tangannya cekatan mencampur sedikit minyak zaitun dengan
nasi, biji cemara, daun peterseli, kismis, mint, lada hitam, dan rempah-rempah
lainnya. Setelahnya, dolma yang telah dibungkus dengan daun anggur itu
disandingkannya dengan saus lemon andalannya.
Erol
menggerak-gerakkan kepala dan tangannya untuk melemaskan otot-ototnya yang
menengang. Tak lama, Erol kembali sibuk mempersiapkan makanan lain. Kali ini,
ia begitu lincah menumpuk adonan pastry dengan keju lunak.
Beberapa
kali Erol mengoles pewarna orange pada permukaan kadayif sebelum pastry itu
dimasaknya dengan piring tembaga kecil. Setelah siap, kadayif yang masih panas
itu disiramnya dengan madu yang sangat banyak. Erol juga menaburinya dengan
kacang pistachio giling. Tak lupa, Erol mengambil sebuah bungkusan kecil di
balik sakunya. Dikeluarkannya benda itu. Dibuka, kemudian diletakkannya isi
dari bungkusan kecil itu di sela-sela hidangan yang dia buat. Senyum Erol
terkembang lebar. Ia memanggil seorang waitress dan menyuruhnya mengantarkan
makanan itu pada gadis di meja sudut ruangan.
Rekah
senja semakin membuat hati Erol begitu lapang. Semuanya benar-benar sudah
diperhitungkan. Dengan langkah ringan, Erol berjalan pulang. Sebelumnya, dengan
sadar, ia berbisik pada Rehma, menitipkan kafenya. Setelah ini ia akan
menjalani libur panjang.
♥
Erol diadili di sebuah ruangan yang
pengap. Sebagai pemilik kafe, keracunan yang dialami pelanggannya hingga
membuat sebuah nyawa melayang benar-benar membuat dirinya harus bertanggung
jawab.
Sedikitpun, Erol tidak merasa
gentar. Erol hanya memasang wajah sendu saat dikabarkan kepadanya jika
pelanggan yang meninggal adalah gadis yang selalu dinantinya. Gadis itu,
sebenarnya, tidak sengaja Erol lihat ketika ia pulang ke rumah lebih awal. Hari
setelah ia melihat gadis yang selalu datang di senja itu membuat sebuah energi baru
mengaliri saraf-saraf mudanya.
“Saudari Sevilina, yang diketahui
sebagai penulis novel bestseller, meninggal sehari setelah menikmati makanan
dari restaurant Anda,” polisi di depan Erol mulai berkicau.
Erol hanya mengangguk sambil
menyeringai.
“Ia baru dua minggu berada di
Indonesia setelah menyelesaikan studinya di Konya.” Suara yang lain menimpali.
Erol tidak tahu kenapa hal-hal
seperti itu malah dibicarakan di saat yang menurutnya sangat tidak tepat
seperti saat itu. Erol memang tidak tahu kinerja kepolisian di negeri tempat ia
tinggal sekarang. Tapi fakta-fakta gadis yang disebutkan para polisi tadi malah
membuatnya semakin senang.
“Menurut laporan forensik, ditemukan
makanan yang terakhir dikonsumsinya,”
Erol meringis.
“Daun peterseli, kismis, biji
cemara…”
“Kacang pistachio, mint, lada hitam,
pastry,” Erol malah meneruskan daftar dari forensik yang sedang dibaca polisi
berkumis di depannya.
“Ba—bagaimana kau bisa tahu?”
polisi-polisi yang mengelilinginya heran.
Erol tertawa hambar. “Kalian ini
bodoh?” Erol menghentikan kalimatnya. Ia benar-benar tidak tahan untuk menahan
tawanya. “Aku yang memasak sendiri. Aku bahkan tahu gadis itu. Dia gadis yang
tiga tahun lalu, hanya menjadikan hubungan kami sebagai riset dalam penulisan
novelnya, setelah aku memberinya sebuah restoran mewah di Konya atas nama
dirinya.” Erol berkata panjang lebar. “Dia penipu. Kami tidak jadi menikah.”
Lanjutnya sedikit pilu.
Setelah itu, Erol menendang keras meja
di depannya. Ia beranjak, lalu berjalan sendiri menuju sel. Ini akan menjadi
liburan yang panjang dan menenangkan. Dengan tersenyum, Erol berdesis pelan, “Hoşça
kal[5],
Sevilina.”
Total:
900 kata (Cerpen ini diikutsertakan
dalam tantangan menulis @KampusFiksi dengan tema #DeskripsiBakso)
Menggunakan
kata:
Lalu: 2
Lantas: 0
Kemudian: 2
Terus: 0
0 komentar