Hoşça kal

By Zulfa Rahmatina - 11:22 PM

Hoşça kal
By: @Zulfaiiry

Erol gelisah. Sesekali, pintu dapur yang dibukanya membuat suara api dan denting peralatan dapur lainnya sejenak menyelinap keluar lewat celah yang ia cipta. Empat kali sudah ia melakukan hal itu; melongokkan kepala ke arah luar dan mengarahkan pandangannya pada meja di sudut ruangan dekat jendela besar. Kali kelima ia melakukan hal itu, meja di sudut sudah terisi. Bukan, bukan gadis—yang memang ditunggunya daritadi—yang biasa menghabiskan senja di meja itu yang menempatinya. Tetapi, sepasang lansia yang membuatnya begitu geram.
Baru selangkah ia berjalan untuk menyarankan pasangan lansia itu agar pindah di meja lain, sebuah suara telah menghentikannya.
“Merhaba[1], Erol-abi.” Rehma, chef termuda di kafenya itu membuat Erol mengurungkan niat.
“Selam, hoş geldiniz[2].” Balasnya, sambil cepat-cepat meraih sesuatu di atas penampan yang kemudian ia masukkan ke dalam saku.
“Hoş bulduk,” sahut Rehma, sambil tersenyum. “Ne haber[3]?” rupanya, basa-basi gadis itu kepada bosnya belum berakhir. Sambil memakai celemek, Rehma masih saja ingin mengajak bicara Erol yang wajahnya kini sudah seperti udang goreng.
Sama seperti dirinya, Rehma memang asli keturunan Turki. Di sela kesibukan kuliahnya di Jakarta, Rehma adalah gadis muda cekatan yang bekerja paruh waktu di kafenya. Kadang Erol senang saat Rehma masih mengajak ia berbicara dengan bahasa ibu mereka. Tapi sama seperti saat itu, kadang Erol juga jenuh karena Rehma terlalu cerewet.
 “Fena değil[4],” tukas Erol ketus, sambil tidak balik menanyakan kabar Rehma. Dilihatnya jam tangan lekat-lekat. Erol mendecis saat matanya masih mendapati sepasang lansia yang tengah tertawa-tawa, di meja dimana dia mengharap kehadiran gadis yang dinantinya.
Erol merutuki nasibnya yang sial. Hari itu, rencananya benar-benar gagal.
            Erol mematut dirinya di depan cermin, lama-lama. Hari itu, ia merapihkan cambang dan menyisir rapi rambut. Ini adalah hari istimewa Erol. Ia sangat berharap, gadis yang kemarin ditunggunya sudi menghabiskan senja di kafenya, seperti hari-hari kemarin. Sebelum berangkat, Erol masih sempat memeriksa bungkusan kecil yang diletakkannya pada saku celana. Erol tersenyum puas. Tidak akan ada orang yang bisa merusak harinya itu, batin Erol senang.
            Tidak butuh waktu lama bagi Erol untuk melajukan mobilnya di jalan padat Jakarta. Jarak antara apartemen dengan kafenya memang tidak begitu jauh. Kafe Turki yang dirintisnya susah payah setelah ia bangkit dari kondisi mentalnya yang dulu sangat terpuruk gara-gara seorang gadis berwajah Asia Timur itu sudah tampak di depan mata. Erol menepikan mobil di tempat parkir. Dengan ramah, ia menyapa semua pegawainya.
Bergegas Erol menuju dapur. Ia hendak membuat yalanci dolma sebagai appetizer. Tangannya cekatan mencampur sedikit minyak zaitun dengan nasi, biji cemara, daun peterseli, kismis, mint, lada hitam, dan rempah-rempah lainnya. Setelahnya, dolma yang telah dibungkus dengan daun anggur itu disandingkannya dengan saus lemon andalannya.
Erol menggerak-gerakkan kepala dan tangannya untuk melemaskan otot-ototnya yang menengang. Tak lama, Erol kembali sibuk mempersiapkan makanan lain. Kali ini, ia begitu lincah menumpuk adonan pastry dengan keju lunak.
Beberapa kali Erol mengoles pewarna orange pada permukaan kadayif sebelum pastry itu dimasaknya dengan piring tembaga kecil. Setelah siap, kadayif yang masih panas itu disiramnya dengan madu yang sangat banyak. Erol juga menaburinya dengan kacang pistachio giling. Tak lupa, Erol mengambil sebuah bungkusan kecil di balik sakunya. Dikeluarkannya benda itu. Dibuka, kemudian diletakkannya isi dari bungkusan kecil itu di sela-sela hidangan yang dia buat. Senyum Erol terkembang lebar. Ia memanggil seorang waitress dan menyuruhnya mengantarkan makanan itu pada gadis di meja sudut ruangan.
Rekah senja semakin membuat hati Erol begitu lapang. Semuanya benar-benar sudah diperhitungkan. Dengan langkah ringan, Erol berjalan pulang. Sebelumnya, dengan sadar, ia berbisik pada Rehma, menitipkan kafenya. Setelah ini ia akan menjalani libur panjang.
        Erol diadili di sebuah ruangan yang pengap. Sebagai pemilik kafe, keracunan yang dialami pelanggannya hingga membuat sebuah nyawa melayang benar-benar membuat dirinya harus bertanggung jawab.
           Sedikitpun, Erol tidak merasa gentar. Erol hanya memasang wajah sendu saat dikabarkan kepadanya jika pelanggan yang meninggal adalah gadis yang selalu dinantinya. Gadis itu, sebenarnya, tidak sengaja Erol lihat ketika ia pulang ke rumah lebih awal. Hari setelah ia melihat gadis yang selalu datang di senja itu membuat sebuah energi baru mengaliri saraf-saraf mudanya.
            “Saudari Sevilina, yang diketahui sebagai penulis novel bestseller, meninggal sehari setelah menikmati makanan dari restaurant Anda,” polisi di depan Erol mulai berkicau.
            Erol hanya mengangguk sambil menyeringai.
           “Ia baru dua minggu berada di Indonesia setelah menyelesaikan studinya di Konya.” Suara yang lain menimpali.
           Erol tidak tahu kenapa hal-hal seperti itu malah dibicarakan di saat yang menurutnya sangat tidak tepat seperti saat itu. Erol memang tidak tahu kinerja kepolisian di negeri tempat ia tinggal sekarang. Tapi fakta-fakta gadis yang disebutkan para polisi tadi malah membuatnya semakin senang.
            “Menurut laporan forensik, ditemukan makanan yang terakhir dikonsumsinya,”
            Erol meringis.
            “Daun peterseli, kismis, biji cemara…”
           “Kacang pistachio, mint, lada hitam, pastry,” Erol malah meneruskan daftar dari forensik yang sedang dibaca polisi berkumis di depannya.
            “Ba—bagaimana kau bisa tahu?” polisi-polisi yang mengelilinginya heran.
            Erol tertawa hambar. “Kalian ini bodoh?” Erol menghentikan kalimatnya. Ia benar-benar tidak tahan untuk menahan tawanya. “Aku yang memasak sendiri. Aku bahkan tahu gadis itu. Dia gadis yang tiga tahun lalu, hanya menjadikan hubungan kami sebagai riset dalam penulisan novelnya, setelah aku memberinya sebuah restoran mewah di Konya atas nama dirinya.” Erol berkata panjang lebar. “Dia penipu. Kami tidak jadi menikah.” Lanjutnya sedikit pilu.
            Setelah itu, Erol menendang keras meja di depannya. Ia beranjak, lalu berjalan sendiri menuju sel. Ini akan menjadi liburan yang panjang dan menenangkan. Dengan tersenyum, Erol berdesis pelan, “Hoşça kal[5], Sevilina.”

Total: 900 kata (Cerpen ini diikutsertakan dalam tantangan menulis @KampusFiksi dengan tema #DeskripsiBakso)
Menggunakan kata:
Lalu: 2
Lantas: 0
Kemudian: 2
Terus: 0



[1] Halo
[2] Hai, selamat datang.
[3] Apa kabar?
[4] Kabarku biasa saja
[5] Selamat tinggal

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar