Opera Bidadari
Oleh: Zulfa
Rahmatina
Hujan
selalu menyuguhkan kesejukan. Tak hanya dalam rinainya yang menawan. Akan tetapi juga pada desir
keajaiban yang seringkali datang. Jika Ti Pat Kay berkata bahwa derita cinta
tiada pernah berakhir, mungkin benar. Walau dulu aku seringkali menganggap
bodoh pernyataan yang selalu diulang-ulang Pat Kay. Kau tau kan siapa Pat Kay? Ya, siluman babi
menjijikkan. Yang cintanya selalu saja bertepuk sebelah tangan.
Begitulah cinta, deritanya tiada akhir...
mungkin memang benar ada karma di dunia ini. Dan aku sedang menikmati tiap
sensasi menakjubkan yang ditoreh oleh sang karma. Ada rindu yang merayu, ada
suka yang tiada jemu, ada bunga yang tak pernah layu... Sejak dulu, begitulah cinta, deritanya tiada akhir.
Aku
tidak tahu apakah memang benar ini cinta. Aku bahkan tak tahu siapa namanya.
Tapi sosok lelaki itu, selalu hadir di setiap bayangku. Mungkin ilusi. Tapi
benarkah ini bukan mimpi? Aku mencintai seseorang yang bahkan belum aku kenal. Sementara
hatiku terus saja berbisik jika ia telah teramat dekat dengan hati lelakiku. Aku
benar-benar tak percaya. Hingga hujan dan pelangi berjanji akan menjadi saksi
nyata bahwa ia bukan fatamorgana.
Entah
rasa apa yang membuatku terus mempercayai bahwa ia pernah ada dalam sepotong
episode hidupku. Letih, kucoba urai keping demi keping mozaik hidupku yang berserak.
Percuma, aku tak mampu mengingat sosok lelaki itu sebelumnya. Sosok berwajah
teduh itu... benar-benar membuatku kelimpungan. Hari-hariku kini kuhabiskan
hanya untuk menanti hujan. Karena hujanlah yang dapat mempertemukanku dengan
sang pemilik senyum menawan.
Pangeran
hujan, ah mungkin terlalu berlebihan. Lelaki yang mencintai hujan. Benarkah?
Aku bingung bagaimana aku akan memanggilmu. Lelakiku... lelakiku? Hah? Sekedar
menyapanya saja aku belum pernah. Ini konyol!
”Ngapain
senyum-senyum sendiri?” Raymonda menatapku curiga. Tersenyum? Ah, aku tidak
sadar jika sudut bibirku memang tertarik ke atas beberapa inchi. Tipis.
Segera kupudarkan senyumku perlahan agar tak tampak aneh di hadapan sahabat
dekatku, Monda.
“Mau pulang bareng? Hari ini nggak ada rapat, kan?” Monda menatapku
cemas. Dia pasti merasa ada sesuatu yang sedang aku sembunyikan darinya. Wajahnya
menatapku bingung. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya, ”Kau mau
menanti hujan?”
”Heh?” secepat kilat aku menoleh ke arahnya.
Aku benar-benar tak menyangka
jika Monda mengetahui kebiasaan baruku ini. Aku khawatir jangan-jangan dia juga
mengetahui perihal rasaku terhadap lelaki itu.
”Sudahlah
Yass, beberapa minggu ini aku selalu memperhatikanmu. Kau tak pulang dan menunggu hujan. Lantas jika
hujan telah menghilang, kau tunggu pelangi datang.” lagi-lagi Monda membuat
pernyataan yang membuat hatiku semakin berdebar.
”Aku
tahu, dan aku tahu sekarang ada yang sedang kau sembunyikan dariku.” Monda mendesah pelan. ”Kau tidak lagi
percaya denganku?” tanyanya sedih.
”Bu...
bukan begitu,” kataku tergagap menjawab pertanyaannya yang tidak pernah kuduga.
Maksudku, ah, tega sekali
lelaki hujan itu. Aku bahkan tak tahu apa yang harus kukatakan pada Monda. Apa
yang harus kuceritakan? Sementara aku sendiri tidak paham apa rasa ini.
”Kenapa?
Ada apa? Aku selalu melihatmu. Aku tahu kau pergi di koridor ini, lalu kau
menuju masjid, setelahnya kau bersiap untuk menyambut hujan.” Monda berkata di antara
isaknya.
Aku bingung. Benar-benar bingung. Aku
merasa mengkhianati persahabatanku dengan Monda selama ini. Mengkhianati persahabatan
dengan alasan konyol. Kurasa ini memalukan. Dan aku tak menyangka jika Monda
benar-benar menaruh perhatian yang besar
kepadaku.
Aku
sadar jika akhir-akhir ini aku tak lagi ada untuk Monda. Aku tak lagi
menemaninya hunting buku baru,
mencari baju, jalan-jalan ke mall, pergi ke salon, perpustakaan, kafe. Ah,
semua ini gara-gara lelaki hujan itu.
”Kau
selalu pergi ke masjid kampus kan, Yass? Aku tahu dan akan selalu tahu,” Monda
kembali menyadarkan lamunanku. Ada yang terlupa. Lelaki itu tak hanya mencintai
hujan. Ya, ia mencintai masjid. Aku sampai hafal jam berapa dia datang. Aku
paham, teramat paham. Kapan ia duduk di tengah-tengah sekelompok orang yang
melingkarinya, kapan ia duduk di depan mereka dan kapan lelaki itu membaur
bersama yang lainnya.
Aku selalu menatapnya dari kejauhan. Kadang
aku mendapati wajah teduhnya di waktu dhuha, tak jarang aku menunggunya hingga
senja. Dan jika hujan datang, ia tantang petir yang menggelegar itu dengan
merdu tilawahnya. Ia buka mushafnya, ia eja setiap ayat cinta dengan syahdu
hatinya. Dan aku serta langit, selalu tersentuh jika melihat bening terselip di
sudut matanya.
”Yass,
aku pulang,” kata Monda tiba-tiba membuyarkan ingatanku tentang lelaki itu.
”Monda...” aku berkata parau. Sejujurnya,
aku juga sedih melihat sikapku.
”Ada apalagi Yassmin? Kau akan menunggu
hujan lagi bukan?” Monda berkata sinis. Ia mulai berbenah dan beranjak berdiri.
”Tidak,
aku akan pulang bersamamu.” Jawabku akhirnya yang membuat Monda terbelalak tak
percaya. Kini ekspresinya seumpama pengembara yang menemukan oase di luasnya
sahara, kala dahaga terasa sangat menyiksa.
”Benarkah?”
tanyanya tak percaya. Aku mengangguk perih. Sementara Monda, ia sudah bersiap
menyusun rencana yang akan kita lakukan hingga senja nanti sebelum hujan biasa tiba.
***
Begitulah.
Hari itu aku tak dapat melihat sosok lelaki hujanku. Itu artinya, aku harus
rela jika malam ini mataku harus terbuka lebih lama untuk melukis wajahnya di langit
kamar. Lelah, kuputuskan menyapa kantuk dengan membaca beberapa novel Monda
yang memang sudah berada di tempatku sejak beberapa hari yang lalu.
”Kata Ummi, bidadari itu cantik. Kulitnya
putih bersih, rupanya jelita, pandangannya sopan tak menggoda, sanggulnya
terbuat dari intan dan permata, senyumnya pun dapat memabukkan siapapun yang
menatapnya...” aku sangsi, ia sampai berbusa saat menceritakan kekagumannya
pada bidadari.
”Dan
kau tahu?” matanya tajam
menatapku. Aku menggelengkan kepala pasrah. Tak tahu kemana lagi maksud
pembicaraannya. Sementara dia tersenyum dan menatap langit, ”Kurasa, kau pantas menjadi bidadari.”
”Aku???” tanyaku bingung, juga kaget. Apa-apaan dia? Tapi, kulanjutkan juga tanyaku. ”Bisakah?”
Dia
mengangguk cepat. ”Tentu, jika kau mau
berusaha. Kau jalani tiap apa yang dititahkanNya padamu dan kau jauhi setiap
apa yang dilarangNya untukmu. Dan kau akan lebih tampak mempesona
daripada para bidadari.”
jelasnya panjang lebar. Hatiku segera saja bersemu malu.
”Ini buatmu, semoga sukses jadi bidadari
ya?” katanya sembari menyerahkan sebuah kotak mungil dengan sampul kertas berwarna
merah jambu. Aku menerimanya dan mengeluarkan sesuatu dari dalam tasku. Sebuah
rangkaian dari manik-manik berwarna ungu buatan tanganku.
”Dan ini untukmu,” kataku menyerahkan
rangkaian itu kepadanya. ”Ada tiga puluh
tiga manik-manik yang kurangkai sendiri.” aku melihat wajahnya yang menatap
kagum rangkaianku.
”Pasti akan aku jaga,” sahutnya sembari
menggenggam erat manik-manikku.
”Aku percaya.”
”Yaassmiiin... kamu mau tidur sampai
kapaaan???” suara Mama telah sempurna
membuatku melompat dari tempat tidur seketika. Aku tertegun sejenak, memikirkan mimpi yang baru
saja aku alami. Sepertinya aku mengenal siapa dua sosok anak kecil yang ada di mimpiku
tadi. Itukan aku! Dan anak laki-laki itu...
”YASSMIN...!”
segera saja kusambar handuk dan berlari ke kamar mandi.
***
Perjalanan menuju kampus pagi ini kuhabiskan
untuk memikirkan di mana bingkisan yang diberi oleh anak laki-laki itu. Aku terus
berpikir keras dan menyadari jika bingkisan itu sudah lama tertinggal di gudang
Kakek nun jauh dari rumahku kini.
Bingkisan yang setelah kubuka berisi Iqra’
dari jilid awal hingga akhir. Aku senang kepalang saat itu. Karena dahulu, aku
dan teman-teman kecilku selalu bergantian memakai Iqra’ milik Kak Fatimah tiap
kami selesai shalat maghrib di surau. Ah, kenapa aku sampai bisa melupakan anak laki-laki itu?
Sampai di kampus, hanya hampa yang
kudapati. Aku benar-benar lupa jika hari ini tidak ada mata kuliah yang
kuambil. Tanpa tersadar, kakiku melangkah menuju tempat yang akhir-akhir ini
membuatku rindu. Ya, masjid kampus. Aku menyandarkan tubuhku di salah satu
tiang yang berada di tempat perempuan. Kukipasi tubuhku yang berbalut kaos yang sangat ngepas dengan badan rampingku, entah kenapa hari ini panas sekali!
Mataku menangkap sosok-sosok para
jilbaber yang sedang mengulang hafalan Qur’an mereka. Tiba-tiba saja aku merasa malu dan teringat akan
kisah para bidadari. Aku tersenyum kecut mengingat gamis-gamisku yang telah kumuseumkan akibat pergaulanku kini. Mana pantas aku jadi bidadari?
”Mbak,
sudah lama di sini?” sapa seseorang tiba-tiba.
”Eh,
baru aja kok.” sahutku sambil menatap sosok berbalut gamis hitam dengan jilbab lebar senada. Aisyah, adik tingkatku.
”Emh,
Mbak sekarang aku lihat sering pergi ke masjid ya?” Aisyah menatapku sambil
tersenyum.
”Eh,
oh, iya. Habis mau nunggu hujan di mana lagi.” jawabku asal. Dalam hati aku
mengutuk diriku sendiri yang menjadikan masjid sebagai alasan tempat berteduh
dan perbuatan memalukanku: melihat sang
pangeran hujan.
”Mbak
Yassmiin kenal Kak Fatih?” tanya Aisyah kemudian.
”Fatih?” aku mencoba mengingatnya.
”Muhammad Al Fatih maksudmu? Penakluk konstatinopel itu?” aku menerka-nerka
asal.
Aisyah
hanya tergelak. ”Wah, bukan Fatih itu yang kumaksud.” kata Aisyah. Memang
semenjak sering ke masjid, tanpa sadar aku selalu mendengarkan kajian para
jilbaber itu. Aku jadi paham istilah-istilah seperti ikhtilat, tabarruj,
khalwat, akhwat, ikhwan, bahkan kisah-kisah pejuang islam seperti Muhammad Al
Fatih.
”Terus
siapa dong?” tanyaku putus asa.
”Itu,”
Aisyah menunjuk kearah sekerumunan orang yang membentuk lingkaran. ”Yang ada di
tengah.” lanjutnya. Aku merasa jantungku tiba-tiba saja berhenti berdetak.
Kucoba mencermati ke mana jari telunjuk Aisyah mengarah. Tepat. Pada sosok yang
selama ini membuat hatiku gelisah. Lelaki hujanku.
”Fatih
As-Sauqi,” desis Aisyah kemudian. Dan hatiku benar-benar akan melompat saat
mataku tak sengaja bertemu pandang dengan lelaki hujanku yang kini tersenyum
kepadaku lantas wajahnya tertunduk malu.
Aisyah
membuka telapak tanganku dan meletakkan sebuah rangkaian tasbih berwarna ungu
yang sedikit memudar. ”Kak Fatih ingin mengkhitbah kakak, ingin menjadikan
kakak sebagai Bidadari surga.” kata Aisyah yang tak henti-hentinya membuat
jantungku lebih cepat bertalu.
”Kak Yasmin ingat aku? Umurku masih 3
tahun saat Kakak meninggalkanku dan Kak Fatih.” Aisyah tersenyum mendapati
mulutku yang menganga lebar. Bibirku kini benar-benar kelu.
Lelaki hujanku, ternyata akan terus
menjadi keping demi keping episode terindah dalam hidupku. Dan cinta, ternyata
memang tak selamanya berujung pada derita seperti sangkaku.
0 komentar