HANA
By:
Zulfaiiry
“Aku …
Akatsuki.”
“Ya. Dan aku tidak peduli.”
***
3 Februari, 8. 45 pm.
Hana tampak semakin lucu ketika
takoyaki[1]
ketiganya membuat pipi bulatnya semakin menggembung. Gadis imut yang masih
duduk di tingkat kedua sebuah sekolah menengah swasta di Tokyo itu sangat
menyukai jajanan dari gurita itu.
Kakinya, sedari tadi tak henti mengelilingi
sudut-sudut ruang tengah apartemennya. Sementara tangan kanannya, penuh dengan
butir-butir kacang kedelai.
“Fuku
wa uchi, oni wa soto[2],”
dengan mulut yang selalu penuh, Hana berulangkali mengucapkan kalimat itu
ketika ia melempar satu persatu kacang kedelai ke sembarang arah. Setelah
sebelumnya, ia melempar ke sebuah boneka yang sudah dipakaikannya topeng
bermuka setan.
“Fuku
wa uchi, oni wa…”
“Hentikan!”
Seseorang membuat Hana menoleh, ia lantas
menatapnya bengis. “Nani[3]?”
Hana berkata sinis.
“Kenapa kau masih saja melakukan itu?
Apa kau tuli!” lelaki di depan Hana berteriak, marah. Ia menyentak genggaman
Hana yang penuh oleh kacang kedelai dengan kasar hingga membuat kacang-kacang
berwarna kuning langsat itu berhamburan.
Hana meradang, memandang kacang
kedelainya yang berserakan. Seharusnya, kacang itu terlebih dulu disangrainya,
tapi Hana tidak peduli. “Apa kau ini juga bodoh, hah? Ini setsubun! Semua orang Jepang melakukannya!” gigi geraham Hana
beradu. Tampak sekali gadis itu merasa terganggu.
Lelaki di depan Hana memandangnya
takjub. Ia berulang kali menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tak percaya
dengan apa yang baru saja didengarnya. “Kita bukan orang Jepang! Ternyata kau
terlalu bodoh untuk menyadari hal itu.”
Hana mendecis. Ia masih menatap
lelaki itu, tajam. “Ya! Tapi kita tinggal di Jepang. Dan kaulah yang lebih
bodoh. Aish!” Hana mencibir, kesal.
Ia lalu mendudukkan dirinya di lantai yang tak beralas.
“Hana, dengarkan kakakmu, onegai shimasu[4].”
Lelaki yang sedaritadi mengatakan Hana bodoh itu lantas berjongkok tepat di
depan Hana. “Kau harus ingat siapa dirimu…”
“Cukup, Ivan!” Hana memalingkan
wajahnya dari Ivan dan memilih menatap butir-butir kacang kedelainya yang
berpencar-pencar. Seperti yang sudah-sudah, ia teramat hafal kemana arah
pembicaraan kakaknya setelah itu.
“Kau
tahu hidup itu keras, Zahra. Jadi, janganlah lemah seperti ini. Tegarlah! Dan,
jangan sekali-kali kau lupakan identitasmu, Tuhanmu…” Ivan masih berusaha
berbicara dengan lembut pada adiknya meski hatinya meletup-letup marah. Ia sama
sakitnya dengan adiknya. Bedanya, ia telah sedikit bisa menerima takdir pahit
yang menimpa mereka. Mungkin, ia telah benar-benar bisa mengikhlaskannya.
Hana memandangi wajah Ivan dengan
tatapan yang lebih teduh, meski sinar kebencian itu masih sangat tampak jelas
di pelupuknya. “Siapa yang mengijinkanmu memanggilku, Zahra? Zahra… Zahra, aku
tak sudi memakai nama itu, hah.” Hana kembali berkata nyinyir pada Ivan.
Ivan menghela napasnya
panjang-panjang. Ia menatap adik satu-satunya itu dengan sedih. “Setidaknya itu
nama aslimu. Dan, itu pun hakku karena kau juga tidak memanggilku dengan
sebutan onichan[5]
seperti yang dilakukan oleh adik-adik orang lain yang manis.”
Hana tersenyum sinis mendengar
penuturan Ivan. Gadis itu lalu mengambil secangkir cokelat panas di meja kecil
di sebelahnya. Ia menghirupnya, pelan-pelan. Malam di permulaan musim semi ini
masih sangat dingin, terlebih untuk jiwa dan hatinya.
“Kau ingin aku… memanggilmu onichan?”
Hana bertanya dengan geli.
Ivan mengangguk, membenarkan. Tak
peduli dengan tatapan geli adiknya.
“Kalau begitu, tidak usah lagi
menceramahiku!” lanjut Hana sembari kembali sibuk dengan cokelat panasnya.
Ivan mendesah. “Yosh[6].
Mulai sekarang, sepertinya aku tidak usah lagi berbicara padamu jika itu
membuatmu sedih.” Ia mulai beranjak dan berbalik membelakangi Hana. Pemuda itu
lalu melangkahkan kakinya keluar ruangan.
“Onichan.” Hana bergetar saat
mengatakannya.
Langkah kaki Ivan terhenti. Ia tidak
menoleh. Alam fikirnya menebak-nebak apa yang akan dikatakan adiknya itu. Tapi
Hana belum juga bersuara. Satu detik, dua detik, tiga…
“Onichan membuatku sedih! Aku sedih!
Semuanya tega membuatku sedih! Tuhan jahat! Sangat jahat!” Hana berkata dengan
setengah berteriak, meski tenggorokannya serasa tersumbat oleh berliter-liter
air ludahnya.
Ivan menoleh, menatap adiknya yang
telah bersimbah air mata. Hatinya bergetar menyadari betapa dalam perih itu
membekas luka di hati adiknya.
“Kalau Tuhan tidak mengambil Papa
dan Mama di hari ulang tahunku, seharusnya onichan tidak usah bekerja keras
untuk membiayai uang kuliah onichan dan uang sekolahku, bahkan kebutuhan
sehari-hari kita,” Hana sesenggukan. “Kalau Tuhan benar tidak jahat, Ia pasti
tidak akan membiarkan onichan begadang untuk belajar, setelah bekerja paruh
waktu yang melelahkan. Lalu, Ia pasti tidak akan membiarkan onichan kembali
bangun di pagi buta bahkan sebelum onichan sempat bermimpi indah. Kalau memang
Tuhan itu baik…” Hana tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Isak membuat
bahunya terguncang hebat.
Sebutir air mata jatuh dari sudut
pelupuk Ivan. Didekapnya adiknya yang saat itu sedang menunduk dengan erat.
Terlampau erat. Ia turut merasakan guncangan isak Hana yang semakin menjadi.
“Onichan membuatku sedih, Tuhan
jahat,” Hana kembali menceracau.
Ivan melonggarkan pelukannya.
Sweater tebal yang dipakainya basah di bagian dada sebab air mata Hana.
Dibelainya rambut panjang Hana perlahan, “Kakak tidak apa-apa harus berbuat
seperti itu untuk Hana. Tidak apa-apa… Dan Tuhan, sungguh tidak jahat, Sayang.”
***
Natsu 35 °c
“Kau hanya makan jeruk-jeruk itu, lagi!?” Aku
bertanya retoris. Sesekali berdecak heran ketika kulihat hanya ada 3 butir
jeruk di hadapan Aiba, teman sekelasku. Sahabatku itu memang abnormal. Jeruk-kan buah musim dingin.
Kuletakkan
senampan makan siang yang baru saja kuambil dari konter yang di jaga oleh
bibi-bibi yang ramah. Hari ini kafetaria lengang. Aku tidak tahu kenapa hal ini
bisa terjadi. Padahal, hari-hari biasanya, aku bahkan sangat sulit untuk
mendengar teman-teman yang mengajakku berbicara saking ramainya kantin sekolah.
“Kau
tahu, setelah ini ada sensei baru yang akan menggantikan Nakamura-sensei?” Aiba
bertanya—yang lebih terdengar seperti sebuah informasi bagiku—tanpa memedulikan
pertanyaan retorisku beberapa saat tadi.
“Nakamura-sensei?
Diganti?” Aku menghentikan suapan udonku, lalu mencampurkan sedikit wasabi di
dalamnya. Sambil menikmati udon yang disajikan dingin ini, aku mencoba mencermati
kata-kata Aiba.
“Hai[7]’,
aku juga tidak tahu kenapa.” Katanya singkat. Aiba sudah menyelesaikan suapan
terakhir potongan jeruknya. “Kau mau aku menunggumu?” dia ikut-ikutan bertanya
retoris.
“Kau
ini bagaimana!” aku sedikit kesal juga dengan pertanyaannya. “Apa kau ini sudah
tidak menganggapku sebagai sahabat, hah?”
Sial. Aiba malah tertawa kecil.
“Jadi itu gunanya sahabat?”
Aku
ikut tertawa tanpa menjawab candanya. “Aku tidak mau masuk.”
“Nani?!” Aiba bertanya dengan terkejut.
“Aku
tidak mau masuk.” Kuulangi perkataanku yang mungkin saja tidak tersaring
sempurna di gendang telinganya.
“Apa
kau bodoh? Apa kau mau sensei baru itu mencap kita sebagai trouble-maker? Di hari pertamanya mengajar … kita membolos!? Aish!” Aiba masih belum sepenuhnya
percaya dengan apa yang kukatakan.
“Kalau
begitu, kau masuk dulu saja.” Sahutku ringan. Lagipula, aku juga tidak
minta ditemani, kan? Suapan terakhir udonku sengaja kulama-lamakan. Tanpa
berkata sepatah pun kata, Aiba berdiri meninggalkanku. Kuncirnya
melambai-lambai karena gerakannya yang cepat. Kantin benar-benar sudah kosong.
Ah,
aku malas sekali akhir-akhir ini. Aku sendiri tidak paham apa alasannya. Yang
jelas, hatiku selalu terasa seperti terkoyak, dan aku ingin berontak.
***
“Huaaah,
begini kan lebih enak.” Kurentangkan
tanganku lebar-lebar. Di atap sekolah ini, angin segar seringkali membuatku
bisa merasakan ketenangan. Tak jarang pula aku tertidur di sini. Ah, atap
sekolah memang tempat favoritku! Aku mengunci pintu atap, rapat. Sempurna. Di
sini hanya ada aku. “Sekai de ichiban
ohime-sama[8]!”
aku berteriak keras-keras, lalu tertawa sendiri. Geli.
Heh??? Siapa itu? Siapa itu yang sedang …
astaga!!! Bersujud!?
Aku mengintainya di balik tembok tempatku
bersandar. Siapa dia? Siapa? Aku tahu dia sedang sholat. Sholat? Ya! Aku juga
pernah melakukannya! Lelaki itu telah menyelesaikan ibadahnya. Aku pura-pura
tidak mengetahui hadirnya dengan duduk di sebuah bangku yang membelakanginya.
Sementara mataku sibuk menatap pemandangan dari atap sekolah ini, dadaku serasa
bergetar-getar.
“Konnichiwa, Ohime-sama[9].”
Astaga!
Dia menyapaku! Kupejamkan mata lama-lama. Aku malu. Malu! Dia pasti
menertawakanku. Aku menghela napas, lalu menoleh menatap wajahnya. Yabai[10]!
Kenapa dia harus tersenyum seperti itu? Dan, kenapa pula ia harus tampan!
Aargghh.... Kutaksir umurnya tidak jauh berbeda dengan Ivan. 23 tahun. Mungkin
lebih tua sedikit, atau lebih muda lagi? Entahlah…
“Aku,
Akatsuki.” Dia mulai memperkenalkan namanya. Tentu saja tidak ada uluran
tangan. Dia muslim! Aku tahu hal itu.
“Ya.
Dan aku tidak peduli.” Nama yang aneh. Akatsuki?
Kubuang pandanganku dari sosok berwajah oriental itu.
“Guru
pengganti Nakamura-sensei.” Akatsuki melanjutkan kalimatnya.
Ap … apa? Dia baru berkata apa? Segera
aku berlari dan membuka pintu atap cepat. Menuruni tangga yang tinggi, lantas
bergegas masuk ke dalam kelas.
***
Kupandangi
secarik kertas kecil di tanganku. Dua pintu lagi, aku sampai di kamar 302.
Apartemen Akatsuki-sensei. Ya, aku ingin menemuinya. Aku tidak tahu kenapa aku
bisa menjadi begitu dekat dengan guru baru itu. Padahal Akatsuki-kun—iya, benar
sekali. Astaga, aku memanggil senseiku dengan sebutan kun! Menggelikan sekali,
bukan?—adalah orang yang seharusnya kubenci karena dia menggantikan guru
favoritku, Nakamura-sensei.
“Konnichiwa, anata wa Hana-san desu ka[11]?”
Aku
terperanjat kaget ketika seseorang berjilbab merah muda tiba-tiba saja membuka
pintu apartemen dan menyapaku. Dia … tahu
namaku? Aku mengangguk canggung tanpa berkata. Entah, melihat wajahnya yang
tersenyum manis seperti itu membuatku merasa sangat kesal.
“Kak
Fajar sedang pergi ke rumah temannya. Aku disuruh mengajakmu ke suatu tempat
dulu.” Gadis itu mengunci pintu apartemen dan segera menggandeng tanganku.
Oh, apa ini? Mengajak ke suatu tempat?
Tunggu! Tadi dia bilang apa? Fajar? Fajar? Fa … jar!?
***
“Halo,
Hana. Itu bangau kertasmu yang keberapa?” Akatsuki—ah, maksudku Fajar—menyapaku
saat aku sedang melipat bangau kertas di atap sekolah.
Bangau kertas yang ke empat ratus tujuh
puluh tiga. Aish! Tentu saja aku hanya membatinnya. Aku sedang tidak mau
berbicara dengan orang itu!
“Kau
ini kenapa?” dia kembali bertanya. Tentu dia heran dengan sikapku. Padahal,
biasanya, sebelum dia bertanya pun, aku sudah mengoceh riang. Bercerita banyak
hal yang menyenangkan. Lalu mengabarkan bilangan bangau kertasku. Senbazuru[12].
Ya, aku mempercayainya. Aku senang karena dari awal, Fajar tidak terang-terangan melarangku untuk
hal ini.
“Kau
pikir aku kenapa, Fa-jar?” aku menjawab pertanyaannya dengan sinis. Kutekankan
nada suaraku saat menyebut namanya. Masih kuingat, gadis yang mengenalkan
dirinya sebagai Najwa itu mengajakku ke Islamic Center untuk menghadiri suatu
kajian. Jelas saja aku muak. Menyebalkan sekali. Lebih baik main game, membaca
manga, menonton anime atau pergi ke konser.
Akatsuki—ah,
Fajar—tersenyum, menatapku yang masih acuh. “Zahra…”
BLAR!
Tiba-tiba, sesuatu seperti hendak
memecahkan tempurung kepalaku. “Kk—kenapa kau … tahu …?”
“Zahra
… terkadang, hidup ini memang menyakitkan. Tak selalu sesuai dengan apa yang
kita inginkan.” Fajar memandang langit yang mulai memerah. “Tapi hal itu, tidak
seharusnya menjadikan kita melupakan siapa diri kita, Tuhan kita.”
Astaga, kenapa kata-kata orang ini mirip dengan Ivan?
“Tuhan
selalu tahu apa yang terbaik buat hamba-Nya, dan setiap manusia itu pasti akan
di terpa uji.”
Aku
ingin membentaknya karena telah dengan lancang menceramahiku. Tapi dadaku yang
sesak hanya bisa tergugu. Aku pun, sebenarnya, sudah muak dengan segala
kepura-puraanku yang tidak peduli pada Tuhan. “Tapi Tuhan terlalu jahat.” Susah
payah aku menyangkal kalimatnya dengan kata-kata yang sangat sulit keluar dari
tenggorokanku.
“Tuhan
tidak pernah jahat, dan bukankah semua itu pasti berbatas? Aku, kau … kelak
juga pergi dari dunia yang fana ini.” kulihat Fajar memejamkan matanya. “Bahkan
alam ini pun…”
Hey,
apalagi ini?! Seolah-olah dia tahu semua yang terjadi dalam hidupku.
“Najwa
bahkan, tidak pernah merasakan kasih sayang orang tuanya.” Fajar menoleh
menatapku, tersenyum. “Tempo hari kau bersama Najwa, bukan? Dia adikku. Ayahku
telah lama meninggal sebelum Najwa lahir. Dan ibuku…” Fajar menjeda kalimatnya.
Matanya berkaca. “dia meninggal ketika melahirkannya.”
Aku
memijat-mijat pelipisku yang berkedut. Kuingat lagi kenapa aku bisa berada di negeri
matahari terbit ini. Alasan konyol. Aku hanya ingin mencoba ritual-ritual
konyol yang mengasyikkan. Tuhan akan marah, memang. Tapi bukankah Dia juga sudah
dengan tega membuat hatiku sakit? Aku tertawa miris. Ya, itulah tujuan utamaku.
Aku datang ke negeri ini untuk melupakan Tuhan. Tapi tidak dengan kekejamanNya
merebut orang tuaku dari pelukanku. Sekarang, siapa yang jahat? Siapa yang
egois? Siapa yang tidak pernah bersyukur karena aku masih diberi kesempatan
memeluk orang tuaku sementara Najwa, melihatpun tidak? Ah, aku ini benar-benar
tidak sopan sekali…
“K…
kau, tahu dari mana, semuanya?” aku memandang Fajar takut-takut, sekaligus
malu. Sumpah serapahku padanya tentang ia yang mengganti namanya dengan Akatsuki
kini seolah berbalik ke mukaku. Aih!
Kenapa aku bisa sampai lupa kalau aku juga mengganti namaku dengan Hana? Meski
Zahra dan Hana, berarti sama. Begitupula Akatsuki dan nama sebenarnya.
Fajar
hanya tersenyum. “Kau tidak tahu? Aku, teman kakakmu, Ivan…”
Aku
menghela napas panjang dan memejamkan mataku. Mengingat kembali sikapku pada
semuanya, termasuk Tuhan, membuat hatiku hampir patah karenanya.
***
“Zahra!
Kau!?”
Aku
tertunduk malu dan menyembunyikan diriku di balik tubuh Ivan yang kurus. Susu
kaleng yang baru saja kuambil dari vending
machine kugenggam erat-erat agar tidak tergelincir jatuh. Aku tahu sekali
siapa pemilik suara itu. Itu pekik Najwa. Ya, Najwa Humaira.
“Kau
benar-benar hebat, Akatsuki,” Ivan tertawa saat mengatakannya. Tangannya
menghentikan troli yang sedang didorongnya. Kehadiran dua orang di depan kami
ini sejenak menghentikan aktivitas belanja bulanan kami.
Aku
mencubit pinggang Ivan keras-keras. Aku bahkan bisa merasakan perubahan warna
pada pipiku yang terbingkai jilbab lebar warna biru muda. Ivan hanya meringis
dan memandangku geli.
“Ya
Allah, Zahra…” Najwa menghambur memelukku erat. “Ilbas jadiid, wa isy hamiid,
wa mut syahiid.” Kudengar ia melantunkan do’a untukku dengan suara bergetar.
Aku
menangis mendengarnya. Aku memang tidak begitu dekat dengan Najwa. Tetapi
kurasa, ukhuwah yang selalu Ivan ceritakan memang benar-benar indah.
***
“Aku
sudah tahu,” kuhempaskan tas ransel dan tubuhku di samping Ivan yang masih
asyik memainkan laptopnya. Sore hari ini, entah kenapa ia sudah menggelar kasur
lantai di kamarnya. Aku bahkan baru pulang dari sekolah. Masih berseragam dan…
belum mandi, tentu saja.
“Tahu?”
Ivan melirikku sekilas lalu kembali menatap layar laptopnya. Dibenarkannya
letak kaca mata yang melorot.
“Ya.”
kugapai laptop Ivan dengan paksa. Aku penasaran apa yang membuatnya terlihat
begitu serius. Ah, ternyata dia sedang membuka lembar kerja tugas kuliahnya.
“Hussh,”
Ivan menepiskan tanganku dan kembali memposisikan laptop di depannya.
“Akatsuki…”
“Heh?”
“Dia
temanmu, kan? Fajar… Fajar Ardian?”
Ivan
kini meletakkan laptop di sampingnya. Memandangku lekat. “Kenapa kau tahu?”
Aku
tertawa. “Jangan bercanda! Kau yang menyuruhnya menjadi guru di sekolahku, kan?” aku masih tertawa karena melihat
akting Ivan yang sangat bagus. Perutku bahkan sampai terasa kram karena
terpingkal begitu lama sebab ekspresinya. “Dan menyuruhnya mengatakan padaku
tentang semuanya.”
“Zahra
kau dengar? Pertanyaan tadi…, aku tidak bercanda! Kenapa kau bisa mengenal dia?
Ya, dia memang sahabatku.”
Mendadak
kuhentikan tawaku. Apa? Jadi… ini bukan
hasil konspirasi antara Ivan dengan Fajar? Jadi… tadi itu apa? Kenapa Fajar tahu
semuanya?
“Kk—kau
serius?” Ivan mengangguk yakin. Aku
menelan ludah melihatnya. “Tapi, kenapa dia tahu aku adalah adikmu.”
Dahi
Ivan mengernyit. “Tentu saja karena aku pernah bercerita. Ada apa, sih?” Ivan malah bertanya penasaran.
“Kau
mengatakan semuanya?”
Ivan
tampak sedang berpikir dan mengingat-ingat sesuatu, lalu menggeleng.
“Sepertinya … hanya bilang kalau adikku ini mengganti namanya tanpa membagikan
bubur merah-putih.” Ivan terbahak hebat.
Kupelototi
Ivan lebar-lebar dan berpura-pura marah sampai dia menyelesaikan tawanya. Wajah
Ivan masih menyisakan senyum geli yang tersirat. “Jadi bagaimana?”
“Kurasa
dia benar.” Aku menunduk menatap kuku-kuku tanganku.
“Astaga!
Kau mendengarkannya?”
Aku
mengangguk. Entah karena apa semua perkataannya sangat bisa diterima olehku.
Ah, hatiku. Mungkin aku sudah sangat lelah berpura-pura tidak peduli pada
Tuhan. Mungkin sudah saatnya aku berubah sebelum batasku habis.
Ekspresi Ivan masih ekspresi
terbelalak tak percaya. “Bukan karena… dia tampan?”
Kujitak
kepala kakakku yang sedang tertawa itu keras-keras. Kalian tahu, kan? Hidayah-Nya bisa menyapa siapapun,
kapan saja… tentu dengan ijinNya.
[1]
Jajanan yang berbentuk bola tepung berisi gurita yang dipanggang.
[2]
Roh baik masuk, roh jahat keluar.
[3]
Apa?
[4]
Aku mohon
[5]
Kakak laki-laki
[6]
Baiklah
[7]
Iya
[8]
Aku putri nomor satu di dunia.
[9]
Selamat siang, Putri.
[10]
Astaga/gawat
[11]
Selamat siang, kamu Hana?
[12]
Seribu bangau kertas. Masyarakat Jepang mempercayai jika seseorang berhasil
menyelesaikan lipatan bangau kertasnya hingga bilangan ke seribu, maka satu
keinginannya akan terkabul.
0 komentar