Gosh, Where Are You in My Hard Time, Mom?!

By Zulfa Rahmatina - 5:27 PM


♫ Hi Mother, haikei, genki ni shitemasuka?
Hai, Bunda… Bunda, apa kabarmu?
Saikin renraku shinakute gomen
Maaf aku tidak bisa menelfonmu akhir-akhir ini, aku baik-baik saja… ♫
(Seamo - Mother)
     “Hansel, Gretel! Kue jahe kalian sudah siap!”
      Sampai kelu bibirku merapalkan kisah Hansel dan Gretel pada malaikatku. Umurnya baru satu setengah tahun. Jika kau mengataiku bodoh karena membacakan cerita untuk anak yang masih berbau pipis, sepertinya kau yang lebih pantas menyandang predikat itu. Lihatlah wajahnya. Dia tersenyum! Pulas wajahnya dengan gembung pipi yang lucu membuatku tak tahan untuk menciumnya.
      Aku memejamkan mata. Mendekatkan wajahku pada muka mungilnya. Bau shampoo bayi aroma susu tercium pekat pada cuping hidungku yang kadangkala begitu kubanggakan. Ah, malaikatku… bahkan tanpa membuka mata, aku mampu melihat tawanya. Tawa yang hadir, berkat cerita Hansel dan Gretel, yang tak kusertakan bagian ibu tirinya.
      Mimpi! Aku yakin ini mimpi! Sampai kebas rasanya bibirku karena terlalu lama nyengir. Luar biasa! Sejauh mata memandang, hanya air, air, dan air yang mampu mataku tangkap. Meski hanya objek itu yang bisa kulihat, itu sudah sangat cukup untuk membuatku merasa mengambang!
      Pyurrr. Kecipak ikan berukuran sebesar tudung saji yang kadang menyapa kami, membuat percik-percik air sedikit mengenai gaun yang kukenakan. Sederhana. Gaun putih ini jahitan tanteku di desa. Bagian yang paling kusuka darinya adalah pada kelimannya yang terdapat motif bunga berenda-renda. Rambut sebahuku yang membuat kakak-kakak sepupuku iri itu, kini beterbangan digoyangkan angin laut.
      “Pakai ini,” bapak yang telah menyelesaikan santap teduhnya, mendekatiku. Tangan kekarnya merapikan poniku. Selang dua detik kemudian, topi manis berwarna ungu menghiasi kepala mungilku. Membuat kilau matahari senja, tak lagi langsung mengenai bola mataku yang binarnya kuyakin lebih benderang dari terik sinarnya siang tadi.
      “Sebentar lagi kita bertemu ibu?” entah, ini kali ke berapa aku melontarkan tanya yang selalu sama.
       “Bertemu ibu.” Jawaban yang bapak beri juga selalu sama. Tidak ketinggalan, senyum di wajahnya. Bapak memandangku, seperti tahu kata apa yang akan kulontarkan setelah ini.
      “Dan adik? Aku punya adik?”
      “Dan adik.”
      Ah! Aku melonjak. Tinggi dan semakin tinggi. Aku benar-benar senang. Setelah dari Ibu Kota tadi, kata bapak yang berbicara dengan temannya, juga dari pembicaraan yang kudengar dari petugas kebersihan yang tadi membersihkan kapal ini dengan seorang kakek tua, kita akan pergi ke Tanjung Pinang. Sampai di Tanjung Pinang, kami akan menaiki selama 2 jam menuju Pulau Air Raja.
      Aku tidak tahu Tanjung Pinang atau Pulau Air Raja itu surga di tingkat ke berapa. Meski kutahu dari kakekku, surga tertinggi adalah Firdaus, aku berani bertaruh, jika Tanjung Pinang dan Air Raja ini pasti tak kalah asyik dengan surga Firdaus!
      Ah, mengingat-ingat kakekku, aku jadi merindukannya. Padahal, belum genap dua hari aku berpisah dengannya. Saat senja seperti ini, biasanya, kakek akan mengajakku ke pasar. Beliau akan mendudukkanku di sebuah amben yang pagi harinya digunakan untuk menjual klepon tetangga depan rumah kami. Lalu, dengan tangannya yang setiap malam selalu membelai rambutku, lidi-lidi dalam genggamannya mulai bergerak. Ritmenya yang cepat membuat sampah-sampah pasar yang seringkali membuatku ingin muntah segera terkumpul. Kakek selalu mampu membuat pasar desa kami menjadi seperti belum pernah ditempati, bahkan sebelum tebu yang kuisap berubah rasa menjadi sepat.
      Setelah itu, kakek memboncengku dengan sepedanya yang tinggi. Kami memutari desa. Menyapa orang-orang, lalu pulang. Di halaman, kami tertawa karena lupa memberi makan ayam. Ah, kakek… kapan momen itu dapat kembali terulang?
      Pagi terakhir aku memandang wajah kakek, aku tahu ada bening yang terselip di pelupuk matanya saat kakek akhirnya membiarkan bapak membawaku pergi. Ya, kami adalah keluarga transmigran. Aku begitu senang menjadi bagian dari program pemerintah ini. Setelah baru minggu yang lalu guru IPS-ku menerangkan berbagai macam proyek pemerintah untuk pemerataan penduduk, kini aku melakukannya! Kau tahu? Dadaku serasa ingin meledak. Aku benar-benar merasa bangga karena telah menjadi warga negara yang baik.
      Oh iya, sampai lupa. Perkenalkan, namaku Florista. Aku ini anak kelas 4 SD yang pintar dan… cantik. Hehe…
Air Raja, 1997
        Bohong jika kau mengatakan tidak pernah bermimpi untuk mempunyai ayunan kecil di bawah pohon rindang depan rumahmu. Kau pasti pernah memimpikannya, kan? Apakah mimpimu sudah terwujud? Jika belum, kemarilah…. Mampirlah di rumah baruku. kan kuperkenalkan kau dengan seorang ibu yang cantik dan dua adikku yang lucu.
       Adik pertamaku, laki-laki. Karena aku cantik, tentu saja dia tampan. Adik keduaku, perempuan. Dia cantik. Tapi pertama kali bertemu dengannya, kurasa, dia sedikit menyebalkan. Ah, tapi aku senang memilikinya. Aku jadi bisa mencoba apa yang kakak-kakak sepupuku lakukan saat aku tinggal di rumah kakek. Seperti, membagi jatah es lilin—menyerahkan semuanya—padaku, menyisihkan gula-gula dalam toples kaca untukku, dan hal menyenangkan lainnya.
      Pagi ini aku sudah cantik dengan pakaian berkebunku. Bapak mengajak kami memetik cabai dan melihat tanaman nanas yang mulai berbuah. Ah, rasanya senang sekali. Apa lagi membayangkan hari pertamaku masuk sekolah besok setelah libur panjang.
      Pada saat mendaftarkanku dulu, kami melewati bukit-bukit dengan banyak bunga yang bermekaran juga sungai kecil yang airnya sangat jernih. Adik lelakiku, Dannis, menyarankanku untuk mencoba beberapa teguk. Kali pertama melihat dia mengangsurkan air yang ditampungnya pada telapak tangannya yang mungil, aku serasa ingin menjewernya karena telah berlaku tidak sopan padaku dengan memberi air mentah. Tapi begitu melihat wajahnya yang tulus dan aku berusaha percaya padanya… ternyata air itu rasanya benar-benar segar!
      “Flo, jangan melamun saja! Ayo bantu ibu bawa keranjang cabai ini!” muka ibu terlihat sedikit ketus. Mungkin panas mataharilah penyebabnya.
      Aku mengangguk lalu mendekat dan melakukan pintanya. Dengan sekeranjang penuh cabai aku berjalan sambil berjinjit, memainkan sandal plastik bergambar Pokemon. Aku melihat ekor mata ibu melirikku. Ah, ibu pasti mengkhawatirkanku. Dulu aku pernah terjatuh hingga lututku sobek dan ibulah yang membersihkan lukanya. Aku bahkan curiga, ibu pula yang membuat luka itu cepat menutup dan menjadi sembuh.
      “Florista! Bisa tidak sih, nggak usah mainan terus!” ibu berteriak kesal. Aku mendongak. Kulihat peluh bercucur di sekitar dahi ibu yang tidak tertutup topi.
      “Maafkan Flo, Bu.” Aku mengambil sapu tangan di kantongku. Dan saat ibu sedang istirahat, aku mendekatinya, lalu mulai menghapus peluh di dahinya. Tapi perlakuan ibu membuatku benar-benar sedih. Ibu menyentak tanganku dan membuat keranjang penuh cabai yang kupangku itu terjatuh. Isinya berserakan.
      Bapak sudah lebih dulu pulang untuk menghadiri penyuluhan mingguan yang diadakan pemerintah setempat. Kami hanya berempat. Dan ibu, menggandeng adik terkecilku, Bintang. Ia juga menyuruh Dannis untuk bergegas. Tapi karena Dannis terlihat ingin membantuku, ibu ikut pula menyeretnya. Dannis berjalan mundur. Wajahnya tidak berpaling padaku hingga sebuah persimpangan membuat sosok mungilnya tertelan. Saat itu, saat aku sendirian dan langit mulai gelap, hatiku serasa terhempas di lautan lepas.
“Flo, kau tahu? Kemarin Pak’e mengajakku ke Tanjung Pinang. Lihat pasar malam.” Kiswati, transmigran asal Jawa Timur yang rumahnya berhadapan langsung dengan rumahku itu terus nyerocos saat Pak Hilman sedang mengulang penjelasan tentang gaya gravitasi.
“Ahh tapi, rasane pengen balek ndek Malang. Akeh arek… kangen,”
Aku tidak mempedulikan omongannya karena ini jam pelajaran. Tapi saat jam pelajaran hampir habis dan dia terus ngoceh tentang Tanjung Pinang dan Malang, akhirnya aku tidak tahan juga untuk menanggapinya.
“Kau ingat jalan menuju Tanjung Pinang?” tanyaku akhirnya.
Tak kusangka, Kiswati benar-benar bungah saat tahu aku menanggapi ocehannya. Ia mengangguk-angguk mantap. Beruntung, lidahnya tak ikut menjulur keluar seperti anjing pudel.
Aku tidak tahu kenapa akhir-akhir ini ibu sering sekali memarahiku. Seperti saat Bintang menangis karena berebut buah sawo dengan Dannis, padakulah ibu melampiaskan marahnya. Atau saat Dannis tak sengaja menyenggol gelas kaca dan membuatnya pecah, ibu juga menuduhku sebagai pelakunya meski Dannis sudah dengan jantan mengakui jika itu perbuatannya. Dan, masih banyak lagi sebab yang membuat ibu melontarkan kata-kata kasar dan menyakitkan untukku.
Aku masih menyiram bunga saat Bintang dengan rambutnya yang selalu dikucir dua, datang dengan dua batang es lilin rasa durian. Bagi Bintang, mudah saja mendapatkan apa yang dia inginkan. Sedang untukku, aku harus menahan keinginanku untuk jajan agar bisa menyisihkan uang sakuku untuk kutabung di celengan ayam.
“Mbak, mau es lilin?” belum sempat es lilin yang diulurkan Bintang kuambil, ibu telah lebih dulu mengangkat Bintang. Mencandainya, meminta disuapi es lilin, memuji Bintang jika sore itu ia benar-benar cantik dan wangi, lalu tertawa-tawa.
Bapak yang melihat kejadian itu mendekat. Bapak menawarkan sepiring singkong rebus dengan kopi pahit kesukaannya—yang di lidahku, sering kali berubah rasa menjadi manis, entah karena apa.
“Flo mau dibuatkan teh?”
Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat. Susah payah aku menahan pertahananku di depan bapak, akhirnya tangisku pecah juga. Aku berlari tanpa sempat menjawab tawarannya. Aku berlari dengan kencang tanpa sempat berterima kasih. Aku berlari dengan dada yang begitu sesak.
Dengan diantar temanku, hari itu aku pulang lebih awal. Badanku panas karena semalam aku tidak mau pulang dan memilih diam di kebun nanas kami meski bapak telah menjemputku dan membujukku secara berulang.
Sampai di rumah, setelah mengucapkan terima kasih pada temanku, aku langsung tiduran karena tubuhku sedari tadi serasa berada di komedi putar. Bapak mengompres keningku sebelum dia berangkat ke ladang. Tablet obat penurun panas berwarna oranye juga bapak siapkan di samping tempat tidurku dengan segelas air putih dan dua helai pisang goreng.
“Flo! Flo! FLO!!!” tubuhku diguncang keras. Aku berusaha membuka mataku. Tapi gelap yang kulihat membuat kepalaku terasa semakin berat. Akhirnya, lambat laun, aku mengenali suara siapa itu dan menyadari sosoknya.
“Sudah waktunya mandiin adik-adikmu! Ayo bangun!” ibu menarik tanganku dan mendudukkanku dengan paksa. “Kamu nggak sakit, kan? Ibu tahu kamu bohong. Kamu pura-pura sakit biar nggak disuruh mandiin adik-adikmu, kan? Ayo cepat mandikan adikmu! Keburu malam, kasihan  mereka.”
Kini ibu memaksaku untuk berdiri. Aku sedikit terhuyung. Aku benar-benar sakit, Bu. Sungguh. Tapi sakit tadi sudah tak terasa karena ada hal yang lebih menyakitkan daripada itu. Dengan hati yang teriris dan suhu badan yang masih tinggi, aku memandikan Bintang dan Dannis.
Aku sudah mengumpulkan baju-bajuku, bahkan gaun kesayanganku yang pertama kali kupakai untuk menaiki kapal besar dan mewah itu. Dengan sedikit janji setia dari Kiswati yang mengatakan akan menemani kemanapun aku pergi, hal itu membuatku merasa sedikit senang.
Rencananya, aku akan menjual bajuku di Tanjung Pinang untuk ongkos kapal. Betapapun banyaknya usahaku untuk bersabar, ibu benar-benar membuatku seperti hidup di dalam neraka. Aku sangat tertekan dan tidak lagi bisa berpikir jernih. Satu-satunya ide brilliant yang muncul di kondisi hatiku yang sudah sangat mengenaskan itu hanyalah kabur dan kalau bisa… mungkin pulang ke rumah kakek.
Aku benar-benar merindukannya. Aku bahkan merindukan keusilan sepupu-sepupuku. Aku merindukan kakek yang selalu membanggakanku di hadapan tetangga. Aku merindukan senyum ramah orang-orang yang kujumpai. Aku rindu… bahkan bau sampah di pasar desa.
Ah, tinggal satu langkah lagi. Kuambil celengan ayamku yang sudah sangat berat. Tanpa kusadari, sepasang mata kecil mengamati seulas senyumku.
        “Bintang! Jangan ikutin aku terus!” sambil menenteng bungkusan baju dan celengan ayam yang sudah kupersiapkan dari semalam, Bintang terus berjalan mengikutiku. Tapi tak kusangka, peringatanku tadi tidak didengarkannya. Saat aku berbalik setelah meletakkan harta karunku pada semak-semak di depan rumah Kiswati, Bintang dengan mata bulatnya masih terus menatapku.
         “Bintang!” aku marah. Benar-benar marah. Saat itu, aku tidak paham kenapa aku bersikap seperti itu pada adikku. Meski ada sebersit iri karena ia mendapat cinta yang lebih dari ibu, juga meski ibu lebih memilihnya daripada aku, aku tidak pernah ingin membenci Bintang. Hanya saja, saat ini, aku terlalu takut jika dia melaporkan perbuatanku pada ibu dan membuat rencanaku gagal.
Akhirnya dengan es lilin pemberian Kiswati, Bintang menjauh dari kami. Aku menghela napas, lega. Kiswati dan aku kini duduk di bangku panjang di bawah pohon kelapa. Segelas es teh yang dibawakan Kiswati masih tersisa seperempat gelas beserta ampas melati.
        “Jam dua belas, ya!?” Kiswati bertanya, terdengar seperti sebuah penegasan. “Di sini.” Matanya mengawasi keadaan sekitar.
         Aku mengangguk. Tentu saja! Tentu saja aku tidak akan ingkar. Toh aku sendiri yang membuat semua skenario ini. Dan aku, pasti akan datang bahkan sebelum waktu yang ditentukan. Aku menatap mata Kiswati tajam-tajam. “Kau harus percaya padaku.”
         Kami berdua saling berjabat tangan, menguatkan. Tak ada kata lagi yang terucap. Tapi hati kita telah mengukir sebuah nama yang sama, Tanjung Pinang.
         Belum sempat aku mencuci kakiku setelah bermain dari luar, ibu tiba-tiba saja memelukku. Erat. Sangat erat hingga aku kesulitan bernapas. “Maafkan ibu, maafkan.” Suara ibu timbul tenggelam di antara isak dan tarikan napasku yang berat.
        Aku melihat Dannis dan Bintang yang sedang menatap kami dengan tatapan bingung. Beruntung bapak yang baru pulang dari mushola lepas shalat maghrib segera mengajak mereka untuk mengaji. Sementara ibu, ia masih berulang kali meminta maaf padaku.
        Aku menangis. Mendengarnya meminta maaf, membuatku merasa semakin sakit. Aku tidak tahu dari apa hatiku terbuat. Yang jelas, luka yang ibu gores hingga membuat hatiku menganga itu, kuyakin tidak akan pernah sembuh dan menutup seperti semula.
       Aku menangis dan terus menangis. Hingga mata sembabku membuatku tertidur dan membuatku terlupa akan janji jam dua belas malamku…
Aku terbangun dengan sesal yang begitu dalam. Segera aku berlari menuju semak-semak tempat persembunyian bajuku. Hilang. Semua baju milik Kiswati hilang. Aku celingukan. Lalu di jendela kamar Kiswati yang sedikit terbuka, aku merasakan sinar matanya yang sedang menatapku pilu.
Hatiku semakin terhempas. Dengan hati yang kutabah-tabahkan, kupungut kembali semua baju, tak lupa celengan ayamku. Aku mengendap-endap memasuki rumah. Di perjalananku yang mengharu-biru itu, satu hal kecil menyadarkanku. Sepertinya, aku tahu alasan ibu meminta maaf.
Semarang, 2006
Aku membaca ulang coretan yang baru kutulis. Kabar meninggalnya seorang kerabat di Jawa dulu, membuat bapak memutuskan untuk pulang. Aku masih ingat bagaimana dadaku berdebar karena terlalu senang. Debarannya begitu jauh berbeda saat pertama kali aku tahu akan berkumpul dengan keluarga kecilku.
Aku begitu ingat detik-detik itu. Saat itu, bahkan sebelum pompong  di perairan Pulau Air Raja sampai ke Tanjung Pinang, aku sudah bisa merasakan aroma sarung kakek dan suara merdu adzannya di subuh buta. Sedang di hatiku, menguar aroma misk yang biasa kakek letakkan pada surbannya. Ah, aku begitu rindu… aku begitu berbunga-bunga.
Drrtt… drrtt…
Tanganku meraba-raba mencari getar ponsel flipku yang berbunyi. Kamarku masih gelap. Aku tidak tahu sekarang jam berapa. Yang kuingat, setelah pulang pramuka sore tadi, dan setelah menulis di buku diaryku, aku tertidur tanpa lebih dulu melepas seragamku.
Drrtt… drrtt…
Dengan malas, aku menyalakan lampu tidur yang remang. Lima panggilan tak terjawab dan sepuluh pesan masuk!
Drrtt… drrt…
“Ya?”
“YA?!”
Aku nyengir, membayangkan wajah tampan di seberang yang pasti sudah terlihat seperti kanebo kering. Suara teman laki-lakiku, Fandy, yang tercover riuh suara teman-temanku yang lain masih jelas menyiratkan kekesalan. Aku lupa jika malam minggu ini ada janji dengan teman-temanku untuk berkumpul di basecamp.         Kumasukkan sembarang barang di tas kecilku dengan cepat. Headseat. Tissu. Bedak. Sisir. Pisang… oh? Aku mengedikkan bahu. Barang kali aku bertemu monyet di jalan. Who knows?
Aku menghentikan kegiatanku saat menyadari sesuatu yang berbeda. Buku diaryku. Aku yakin aku memeluknya saat tidur. Dan kini, ia telah berpindah tempat di meja belajar. Di rumah ini, siapa lagi kalau bukan ibu yang memindahkannya?
Aku memilih tidak peduli. Kuambil kunci motor, juga jaket yang kukenakan untuk menutupi seragam yang belum terganti. Aku keluar kamar dengan  perlahan. Hanya tiga meter jarak tempatku berdiri dengan ibu yang sedang melahap mi instan.
Satu langkah… dua… tiga…
Ah, hingga tanganku memutar kenop pintu, tidak ada suara seorang ibu yang mengkhawatirkan anak gadisnya pergi sendirian malam-malam. Tentu saja, ibu tidak akan repot-repot bertanya ke mana aku pergi dan kapan aku akan pulang. Aku menghela napas, panjang-panjang.
Kulajukan motor matic pemberian bapak dengan cepat. Di sela desir angin malam yang sedikit membuatku gigil, aku menangis. Aku tahu ibu tidak mengharapkan kehadiranku. Setidaknya, itulah satu-satunya hal yang bisa kusimpulkan ketika ibu berkata bahwa dia masih ingin bersekolah ketika aku menempati rahimnya yang hangat.
Ini hari ulang tahun ke tujuh belasku. Ada yang serasa menguliti hatiku saat aku sadari jika hanya ibu yang belum memberi untaian doa padaku. Ah, siapa tahu jika ibu, tanpa diminta pun, telah mendoakanku di tiap waktunya?
Aku selalu tahu jika ibu membaca diaryku tiap waktu. Untuk itu, kali ini, kutuliskan asaku untuk bisa tulus mencintainya. Entah kenapa, hingga hari itu, aku belum bisa melakukannya. Aku harap ibu mengerti… meski pada akhirnya, usaha ini sia-sia saja, aku tetap melakukannya. Aku harus terus menulis di buku diaryku.
“Sudah sampai,”
“Eh?”
“Eh?” Fandy membuka helm yang menutupi wajah tampannya. Ia menatapku. Aku tahu itu tatapan kasihan. Dan aku tidak suka ditatap seperti itu. “Masuklah,” katanya sambil membenarkan letak tas selempangku. “kau akan masuk angin.”
Aku mengangguk. Guyuran air dicampur telur dan tepung teman-teman membuatku seperti kroket berjalan. Aku membersit hidungku yang memerah. “Terima kasih, ya?”
Fandy tersenyum. Ia mengangguk, berpamitan, lalu melajukan motornya hingga siluetnya tidak lagi tampak. Aku masih membeku. Langit malam begitu bersih. Hatiku terasa lapang hanya karena melihatnya. Menatap kerlip bintang, menebak-nebak di manakah sirrius dan mencipta rasi bintang sendiri lebih mengasyikkan daripada masuk rumah dan melihat wajah ibu.
“Mau apa kau pulang!?”
Senyum di bibirku yang terukir karena bayangan indah tentang Fandy dan teman-temanku tadi, memudar karena tanya menusuk ibu. Hatiku mencelos melihat wajahnya yang benar-benar murka.
“Tidak berguna! Anak tidak berguna!”
Aku yakin duri-duri kaktus kini memenuhi rongga dadaku.
“Lebih baik kau pergi dan tidak usah lagi datang di hadapanku!”
Napasku tercekat. Aku benar-benar tidak yakin itu ibuku. Apakah aku salah masuk rumah? Ah, mungkin saja bukan? Aku diusir karena salah masuk rumah.
“Kau dengar, Flo? Lebih baik kau pergi!!!”
Telingaku serasa disengat ribuan lebah. Pandanganku memburam. Aku sudah tidak bisa menatap dengan jelas karena mataku mulai berembun. Dengan bergegas, aku masuk kamarku dan mulai membenahi barang-barangku. Jauh di lubuk hatiku, aku bersyukur, ibu telah mengusirku…
      Nomaden. Kini teman-teman menampungku secara bergilir. Kadang juga aku pulang ke rumah kakek nenek dan menjenguk mereka yang tangannya selalu terulur untuk memelukku. Ah, Tuhan benar-benar memikirkan nasib hambanya, rupanya. Meski seringkali aku menyangsikan keadilan yang dijanjikanNya.
      Aku masih terngiang pertanyaan bapak kepadaku, tentang apa yang sebenarnya kuinginkan. Saat itu, diiringi bulir air mata, aku hanya bisa menjawab, “Aku hanya ingin mempunyai ibu yang seperti bapak,”
Yang belum kutemukan adalah jawaban kenapa aku lebih memilih tinggal dengan kakek nenekku daripada bersamanya. Mungkin satu alasan karena aku merasa tersisih dengan adik-adikku yang mendapat lebih banyak cinta darinya, sudah cukup untuk memupuskan rasa ingin tahuku tentang sebuah tanya yang tak perlu dijawab.
Aku beranjak dari ranjang temanku menuju meja rias. Sesosok wajah kuyu yang muncul di sana, terasa mengiris-iris hatiku. Setelah terus diasingkan oleh ibu, aku merasa semuanya menjadi begitu kelam. Begitu menyakitkan. Susah payah aku berusaha mencintainya, seperti cintaku pada bapak. Tapi aku tidak sanggup…
Semakin aku berusaha, semakin aku ingat rasa sakit yang pernah dia berikan. Semakin aku merasa tak diharapkan, semakin aku merasa benar-benar bukan bagian dari dirinya. Aku menutup wajahku dengan telapak tanganku yang basah. Kenapa? Kenapa Tuhan memberiku wajah cantik sepertinya?
Aku tergugu dalam harapku. Sakit rasanya tiap kali merangkai doa untuk ibu. Entahlah, mungkin Tuhan sedang menempa hatiku agar kelak kilaunya seperti mutiara. Aku hanya bisa berdoa untuk kesehatan dan kebaikan ibu. Mungkin selamanya, akan tetap seperti itu…
“Flo,”
Stab! Tubuhku basah kuyup. Aku menggerutu. “Kalian apa-apaan sih, ini kan bukan hari ultahku!”
Byur! Satu guyuran lagi.
“Flo.”
Sialan.
“Ma… maa… maaa…”
Aku terbangun. Tubuhku sudah penuh dengan pipis Keyla. Mata bulatnya sedang menelusuri rumah Hansel dan Gretel yang penuh kue jahe berlapis krim strawberry.
“Maa… ma..” dia berceloteh dan mulai menatapku. Senyumnya terkembang. Kurengkuh ia dan kupeluk erat. Tugasku belum selesai. Aku harus terus berada di dekatnya. Membantunya menghentikan dan memperbaiki masalah. Berbincang tentang sosok yang dia suka. Kadangkala menasihati, lalu memarahi. Aku hanya ingin semuanya menjadi normal. Untuk itulah aku harus selalu berada di dekatnya, menemani anakku yang tumbuh dengan tidak sabar. Setidaknya, hatinya akan selalu menyimpan namaku jika ia sedang jauh dari ragaku.
Rupanya, Tuhan memilihku untuk menjadi pribadi dengan ketangguhan dan kesabaran yang besar. Aku tidak ingin kisah itu kembali terulang.
“Mama sayang Keyla.”
♥ ♥ ♥

Based on True Story.
Special dedicated to Mbah Zaenal, Mbah Roh, Ummi, Abi, and all of my family who always loving me. Hontou ni, arigatou ne :’).
Thanks for always make me happy… Words can’t enough to say how much I love you.
Just Allah who can reciprocate.

Regards,
@Zulfaiiry

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar