Yahooo
minna-saaaan. Hisashiburiiii :”) Kali ini aku pengen coba bikin synopsis nih. Kira-kira
aku bisa nggak, ya? Hehehe… Semoga aja nggak mengecewakan. Nah, dalam tahap
belajar ini, aku pilih genre yang ringan dulu, ya? Comedy-inspiratif. Dari
dorama Jepang berjudul, Risou no Musuko. Iya, sih. Udah banyak yang bikin
synopsis dorama ini… tapi, biarlah. Namanya juga mau latihan :D
Eitttsss, perkenalan dulu nggak nih?
Pemain utamanya ngegemessiiin banget. Kudet deh kalau kalian sampai nggak kenal
sama cowo satu ini, *ups. Nih kukasih pictnya…
Naaah, pasti kenal, kan? Sono to-ri! Doski yang ikemen itu adalah
Yamada Ryosuke.
Di sini, Yamada berperan sebagai Suzuki Daichi. Anak 16 tahun yang duduk di
tingkat pertama sebuah sekolah tinggi yang digambarkan mengidap mother-complex. Suzuki Daichi ini usil,
ceria, dan easygoing.
Peran dia bagus banget, loh. Mungkin
karena karakter di sini mirip dengan karakter Yama yang asli—yang suka ngusilin
member Hey!Say!JUMP yang lain :D Sama seperti peran Yama di dorama-dorama lain,
dia bener-bener total ngebuktiin kemampuan aktingnya. Di Tantei Gakuen Q dia
juga berhasil jadi sosok yang ‘suram’, kan?
Oh iya, ada juga member HSJ lain
yang juga ikut main. Nakajima Yuto, tau? Doski berperan sebagai
Kobayashi Kouji. Anak dari pengusaha yang mempunyai perusahaan besar di Jepang.
Lalu, yang jadi ibu Daichi adalah
artis cantik Suzuki
Kyoka. Di sini, dia berperan sebagai Suzuki Umi. Seorang single
parents yang membesarkan anaknya karena sebuah harapan. Nah, dan di sinilah
menariknya. Selain bergenre comedy, dorama ini—seperti juga dorama-dorama yang
lainnya—tetap menghadirkan cerita-cerita kehidupan yang membuat kita merenung.
Menonton ini, membuat kalian bisa menangis dan tertawa di waktu yang sama. Recommended! Untuk kalian yang telah usai membaca atau menonton
dorama ini, peluklah erat-erat mamamu… bisikkan lembut di telinganya, bahwa dia
adalah yang nomor satu.
YOSH. Langsung saja dimulai. Hope you enjoy!
Risou No Musuko (Perfect Son) Vol 1
16
tahun yang lalu
Di
sebuah penitipan anak—lebih tepat dikatakan panti asuhan milik negara. Seorang
ibu datang bersama putranya yang masih bayi. Sang ibu yang berniat menyerahkan
anaknya pada negara untuk diurus menjadi berang saat menghadap petugas yang
ternyata sangat tidak pandai berkomunikasi. Petugas itu malah berulang kali
melontarkan pertanyaan yang membuat sang ibu tersinggung.
“Berapa
banyak uang sumbangan dan biaya dalam mengasuh anak? Apakah anda tidak punya
naluri keibuan sama sekali?” kata si petugas ketus sambil melihat kertas
tagihan kompensasi kuasa anak.
Sang
ibu yang mendengarnya tentu saja terkejut. Apalagi saat petugas itu kembali
mengatakan hal-hal yang menyakitkan kalau si ibu mendapat pelecehan dalam
pernikahan setengah jalan, dan merasa mempunyai hak untuk menentukan hidup si
anak. Petugas juga dengan lantangnya mengatakan jika hal itu membuat harga diri
si ibu hilang.
Ibu
itu speechless mendengar si petugas tidak juga berhenti mengatainya. Dengan
kesal, ia lalu berkata, “Saya kira sudah cukup sampai di sini.”
“Eh?”
petugas itu bingung.
“Kau
bertanya tentang naluri keibuan, kan?” tanya ibu itu gemas. “Hal seperti itu,
tentu saja aku punya!” lanjutnya gusar. Ia lalu bergegas pergi. Meluapkan
amarahnya dengan memesan porsi yang sangat besar—bahkan untuk ukuran tiga
laki-laki yang habis macul! Ini
serius! ;D—di sebuah kedai.
Karena pria, aku banyak
mengalami kesulitan dalam hidup. Ketika sampai pada gairah dan cinta, aku tidak
pernah menyangka. Aku meminta bantuan untuk sebuah pelecehan, huh?
Dengan mengulum makanannya, ia masih membatin hal tadi. Sesekali ibu itu
menatap anaknya yang berada di kereta dorong.
Lalu
sebuah siaran televisi membuatnya terhenti memikirkan itu semua. Tampak seorang
pitcher pro yang sedang mengadakan konpress, mengatakan jika ia ingin membalas
ibunya yang telah mendukungnya selama ini.
“Selama
aku tumbuh. Hanya ada aku dan ibuku. Jadi dia mengalami banyak kesulitan.”
Orang-orang di kedai bertepuk tangan saat mendengarnya. Mereka mengatakan jika
hal seperti itu di jaman ini sangat sulit ditemukan. Seorang anak yang tidak
melupakan jasa ibunya.
Para
wartawan lalu menanyakan apa yang ingin pitcher itu lakukan untuk ibunya. Sang
atlit menjawab dengan tenang, “Untuk ibuku yang telah memberikan segalanya, aku
ingin membelikannya sebuah rumah.”
Kata-kata
itu membuat ibu tadi yang masih marah, tersentak. Ia seperti baru menyadari
sesuatu. Ditatapnya sang anak yang sedang menatapnya lucu. ‘Anak kecil ini bisa membuat hidupku lebih
mudah?’ batinnya. Tak disangka, anak itu tertawa. Ibu itu makin terkejut. ‘Dan suatu hari ia akan membelikanku sebuah
rumah?’ si ibu kembali membatin. Dan si bayi malah mengacungkan telunjuknya
sambil tertawa-tawa. Tentu saja hal itu membuat sang ibu sangat senang. Seperti
sebuah janji yang baru terucap…
Sekarang
Di
sebuah sekolah tinggi, tampak seorang anak laki-laki berseragam. Dia adalah
seorang anak dari pekerja paruh waktu di sebuah tempat yang menyediakan makan
siang. Sang ibu yang bernama Umi itu memilih bekerja di tempat-tempat yang
menyediakan makanan karena dia punya nafsu makan yang sangat besar—dia bisa
memakan sebanyak yang dia mau dengan dalih makan makanan sampel.
“Ajaklah
orang lain untuk pergi,” kata anak laki-laki itu sambil mengembalikan selembar
tiket konser kepada gadis di depannya. “Hari ini aku tidak bisa.” Tegasnya. Ia
lalu berbalik dan berjalan menjauh dari teman-temannya.
“Tapi
kau sudah berjanji!” kata gadis tadi sambil mengejarnya.
“Aku
tidak pernah benar-benar berniat untuk pergi,” sahutnya.
“Ada
hal penting apa sehingga kau tidak bisa pergi?”
“Hari
ini ulang tahun ibuku.” Jawabnya sambil tersenyum. Jawaban itu tentu saja
membuat teman-temannya terkejut. “Aku harus membeli kado.” Dia melanjutkan.
Seolah-olah hal itu adalah sesuatu yang menyenangkan.
“Kau
serius? Hanya karena itu kau membatalkan pergi?”
Anak
laki-laki itu tertawa mendengarnya. “’hanya karena itu’ apa maksudnya? Aku
selalu bisa pergi ke konser lainnya. Tapi ulang tahun ibuku hanya sekali dalam
setahun.”
“Ulang
tahun ibumu. Berapa umurmu?!” teman laki-lakinya itu semakin gemas.
“16
tahun, kenapa bertanya?”
“Sebentar,
aku ingin bertanya,” sang gadis yang daritadi hanya diam menghentikan
langkahnya. “siapa yang lebih penting? Aku, atau ibumu?” tanya gadis itu
takut-takut.
“Ibuku.”
“Cepat
sekali!” mereka terbelalak kaget. Mereka lalu menyimpukan jika dia adalah anak
mama.
“Apa
salahnya memilih ibuku?” dia tersenyum, berlari menjauhi teman-temannya sambil
mengangkat telunjuknya tinggi-tinggi. Bukti bahwa ia akan selalu menganggap
sang ibu adalah yang nomor satu di dunia ini.
Sementara
sang ibu, dia terus bekerja keras. Memasukkan anaknya di sebuah sekolah swasta
ternama, agar anaknya bisa menjadi sukses. Memastikan anaknya akan masuk di
Universitas Tokyo dan membelikannya sebuah rumah!
☺
“Konnichiwa,”
Daichi pergi ke tempat kerja ibunya dengan membawa sebuah buket bunga. Ia
mencari-cari ibunya yang tidak terlihat.
“Oh. Daichi-kun, bunga yang indah!”
dipuji seperti itu, Daichi semakin bersemangat dan menjelaskan bahwa itu adalah
bunga yang bisa dimakan dan dia membelinya karena tidak mau dimarahi karena
menghambur-hamburkan uang.
Daichi kembali menanyakan keberadaan
ibunya. Dan teman kerja ibunya menjelaskan kalau dia baru saja keluar. Daichi
kemudian keluar dan mendapati sepeda ibunya masih berada di parkiran. Ekor matanya
lalu menangkap ibunya yang sedang masuk ke sebuah mobil seorang pria. Melihat
itu, Daichi sangat shock. (ekspresinya bener-bener kayak orang cemburu!)
☺
Malam hari, Umi pulang ke apartemennya
dengan membawa belanjaan di tas plastik besar. Di lift, dia bertemu dengan
tetangga apartemennya, Kurahasi. Kurahasi begitu terkejut mengetahui pengakuan
Umi jika belanjaan tetangganya yang sangat banyak itu adalah untuk kebutuhan
sehari. Ia kemudian menyimpulkan sendiri kalau hal itu memang perlu untuk
Daichi yang masih dalam masa pertumbuhan. (Padahal Umi yang banyak makan. Wkwk)
Kurahasi yang ternyata sedang ada
masalah dengan istrinya itu diajak Umi untuk makan malam di rumahnya. Umi
kasihan karena melihat Kurahasi hanya terus makan mi instan. Tapi betapa
terkejutnya Umi ketika ia masuk di apartemennya yang masih gelap dan mendapati
Daichi memeluk buket bunga dengan wajah yang suram.
“Apa yang kau lakukan dalam gelap?”
Umi terkejut.
“Siapa dia?” Daichi bertanya dingin.
“Dare?”
Umi tertawa karena pertanyaan konyol Daichi. “Dia Kurahasi dari depan rumah!
Istrinya meninggalkannya,”
“Aku yakin dia akan kembali,”
Kurahasi menyela. Umi lalu meminta maaf.
“Aku bertanya siapa dia?!” Daichi
mengeraskan suaranya.
“Siapa? Ini aku! Kita satu bis pagi
ini, kan?! Istriku pergi dan namaku Kurahasi.”
“Dia akan kembali.” Umi
mengingatkan. Kurahasi lalu tertawa kecil dan membenarkan.
Umi menatap anaknya heran. Ia lalu
meraba kening Daichi dan bergantian dengan keningnya. “Apa kau demam?”
“Ibu yang demam! Bukankah kau sedang
terkena virus cinta? Itu perselingkuhan, kan?” tuduh Daichi sinis.
“Bodoh! Jangan berpikir yang
tidak-tidak. Memang benar istriku pergi, tapi itu hanya perkelahian antar
suami-is—,”
“Jangan naik mobilnya dengan wajah
bahagia lalu pergi berkencan!” Daichi tidak mempedulikan Kurahasi yang sedang
meluruskan kesalahpahaman.
Umi langsung mengerti apa maksud
Daichi. Ia malah tersenyum senang sambil menceritakan bahwa pria itu adalah
Kobayashi-san, bosnya. Bosnya itu bahkan dengan sangat baik hati berniat
mengangkatnya sebagai pegawai tetap karena mengkhawatirkan dirinya yang hanya
hidup dengan anaknya dan bekerja begitu kers. Kurahasi yang menyimaknya
mengatakan itu hal yang sangat bagus. Umi setuju dengan pendapat Kurahasi tapi
tidak dengan Daichi. Dia mengatakan bahwa Kurahasi dan ibunya bodoh.
Daichi berpikir orang tersebut
memiliki motif tersembunyi dan itu adalah modus. Daichi terus menyadarkan
ibunya bahwa ia harus lebih berhati-hati. Mereka lalu berdebat keras. Saling menyalahkan
dan menggebrak meja. Umi mengatakan jika Daichi terus berpikiran buruk seperti
itu, dia tidak akan bisa mempercayai siapapun. Sementara Daichi menyuruh ibunya
untuk menggunakan otaknya dan jangan bersikap terlalu polos dan baik. Mereka
bertengkar tanpa menghiraukan tamunya.
Merasa kalah berdebat, Umi memulai
sandiwara. Umi berpura-pura menangis. Ia lalu meracau, menggumam berbicara
dengan dirinya sendiri. “Bahkan jika kita miskin, ibu masih merencanakan hidup
seperti ini. Ibu pikir dari semua orang, kaulah yang di sisiku dan akan paling
mengerti! Ibu tidak percaya kau pikir ibu seperti seorang pelacur!”
“A—aku tidak berpikir begitu,”
Daichi merasa menyesal.
“Melalui rasa sakit persalian
intensif, dokter bertanya apakah aku ingin menyelamatkan tubuhku atau anakku,”
Umi masih mengatakan hal-hal yang membuat Daichi makin tampak bersalah.
“Akhirnya, ibu memutuskan untuk melahirkanmu, Putraku! Bagaimana bisa kau
berkata begitu.” Kata Umi masih sambil pura-pura menangis.
“Jadi begitukah?” tanya Kurahasi
trenyuh.
“Ya,” sahut Umi. Tentu saja bohong! Lanjutnya dalam hati.
Kurahasi menyuruh Daichi untuk
meminta maaf karena sudah keterlaluan. Tapi Daichi tetap pada pendiriannya dan
merasa tidak bersalah. Ia hanya mengkhawatirkan ibunya yang akan kecewa di
akhir nanti. Keduanya terus berdebat siapa yang salah.
“Meskipun dia melakukannya,” Umi
memutus perdebatan itu. “meskipun ia punya motif tersembunyi, ibu tetap… akan
menjadi karyawan tetap.”
“Kaa-chan!” Daichi mendekati ibunya.
Kurahasi lalu memperingatkan mereka berdua untuk tidak keras kepala.
“Ibu tidak ingin kau seperti ibu,
karena kau cerdas, ibu mengirimmu ke Sekolah Swasta Meifu! Butuh biaya dan
banyak biaya untuk masa depan. Ada biaya ujian dan biaya kuliah! Ibu ingin jadi
pekerja tetap! Tangan keluar dari tenggorokanku, aku sangat ingin untuk
menjangkau dan menjabat tangan seseorang!” kata Umi panjang lebar sambil
memperagakan tangannya seolah hendak menjabat tangan seseorang.
“’Seseorang’ siapa itu?” tanya
Daichi curiga. Daichi semakin kesal saat ibunya dengan polosnya berkata tidak
tahu. Ia lalu menggebrak meja keras dan mengatakan terserah ibunya saja. Daichi
masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Merasa diabaikan, Kurahasi lalu pamit
pulang tanpa lebih dulu disuguhi makanan.
Daichi sedang belajar tapi dia tidak
konsentrasi dan terus memikirkan ibunya. Ia lalu keluar kamar dan mendapati
ibunya sedang menangis sambil memakan bunga mawarnya. Umi yang menyadari Daichi
sedang melihatnya, langsung berpura-pura semakin terisak-isak. Daichi lalu
bersandar di rak buku sambil menyanyikan lagu selamat ulang tahun dengan lirih
tapi Umi mendengarnya.
☺
Pagi
harinya, Daichi pergi ke rumah Tn. Kobayashi dan dia bertemu dengan istrinya.
Daichi melihat ke sekeliling ruang tamu yang begitu indah. Ia lalu mengeluarkan
foto-foto Tn. Kobayashi dengan ibunya di dalam mobil yang terlihat sangat
mesra. Daichi lalu mulai mengarang cerita bahwa tiap hari, setiap akan
berangkat sekolah, dia melihat hal itu. Dan dia merasa sedih dengan Ny. Kobayashi
yang masih sangat cantik tetapi telah dikhianati. Ny. Kobayashi merasa terharu
dengan perhatian itu dan ia akan membunuh wanita yang ada di foto. Tentu saja
Daichi terkejut. Daichi lalu memainkan kata-katanya yang membuat Ny. Kobayashi
berniat akan menghukum suaminya.
Di
perusahaan makan siang, Tn. Kobayashi menemui Umi yang berbinar-binar. Umi yang
berniat mengatakan bahwa dia akan menerima tawaran Tn. Kobayashi tempo hari, terhenti
karena melihat wajah Kobayashi yang penuh cakaran. Ketika Umi menanyakannya,
Kobayashi bilang kalau dia tidur di tempat yang penuh mawar (hahahaha).
Kobayashi segera mengambil empat kotak makan dan menyerahkannya pada Umi
sebagai permintaan maaf karena dia akan mencabut kata-katanya kemarin. Jelas
saja Umi kesal karena merasa dipermainkan. Ia membuang bento itu dengan kasar dan pergi.
☺
Di sebuah kedai ramen, Umi masih
saja mengeluhkan sikap mengesalkan Kobayashi. Wajahnya sangat kesal. Sementara
Daichi menyimaknya dengan tetap menikmati ramennya.
Daichi menimpali kekesalan Umi
dengan mengatakan itu hal yang kejam. Akhirnya Umi sadar jika bosnya benar
memiliki motif tersembunyi. Umi juga meminta maaf karena sudah tidak
mendengarkan Daichi.
“Tapi jika ibu dipecat…” Daichi
menyadari sesuatu.
“Ibu tidak dipecat, ibu berhenti! Ibu
tidak bisa tersenyum dan bekerja di bawah dia seperti sebelumnya!” jelas Umi.
Umi juga menyuruh Daichi untuk tidak khawatir karena dia telah mendapat
pekerjaan lain.
“Kau ingat Honda-san? Orang yang
mengira kau perempuan?” Umi bertanya. Daichi mengangguk dan tertawa
meningatnya. “Dia memberi pekerjaan pada ibu, ibu akan wawancara besok,”
“Di mana?”
“Semacam kantin sekolah.”
“Oh, bagus. Sebuah universitas?”
“Bukan. Sekolah Menengah Umum Sea
King.”
Daichi yang mendengarnya tersedak.
Ia menatap Umi terkejut. “Sea King? Bu, itu sekolah khusus laki-laki! Selain
itu, sekolah itu terkenal dengan para penjahat!”
Umi tidak mendengarkan kata-kata
Daichi. Rupanya dia telah menghabiskan ramennya. Umi menyerahkan mangkuk—errr…
ini bahkan lebih besar daripada baskom. Mari kita menyebutnya ember :3—kepada
ojisan pemilik kedai. Ojisan itu membunyikan loncengnya dan memberi selamat
pada Umi karena dia telah berhasil menghabiskan 5kg ramen! Ojisan juga
memberinya hadiah.
“Seharusnya kita datang di sini
setiap hari,” Umi berkata dengan senang.
Daichi tertawa. “Jika begitu, toko
ini akan tutup.”
☺
Selesai mandi, Daichi masih
memikirkan kata-kata ibunya. Ia ingin melarang ibunya untuk tidak mengambil
tawaran itu. Tapi Daichi malah mendapati Umi yang ketiduran di meja yang banyak
kertas berserak.
Daichi mendekat, menggumam jika
ibunya bisa masuk angin jika tidur di situ. Sebelum membangunkan ibunya, mata
Daichi menangkap kertas-kertas tadi. Daichi mengambilnya. Ernyata itu kertas
rincian daftar biaya sekolah. Kertas pertama tertulis rincian sebesar 75.000
yen, lembar selanjutnya tertera 400.000 yen. Dan di lembar terakhir, ada sebuah
brosur tentang perjalanan sekolah ke Australia. Brosur itu bergambar koala dan
juga kakak-kakak kelasnya yang sudah pernah studytour ke sana. Daichi
melihatnya dengan sedih.
Lalu tak sengaja, Daichi melihat
kertas berisi coretan tentang informasi saldo bank. Di coretan itu, banyak
terpampang angka minus. Daichi sangat terkejut saat melihat sesuatu di rambut
ibunya. Saat Daichi berniat menyentuhnya, Umi terbangun. Dengan canggung Daichi
mengingatkan ibunya untuk tidak tidur di luar.
Di kamar, (Daichi dan Ibunya tidur
satu kamar—umm, bayangkan keluarga Sinchan yang menggelar futon, deh :D)
“Sial,” ucap Daichi. Ia memandangi
sehelai rambut yang dipegangnya. “Ibu sudah punya uban!” keluh Daichi. Umi yang
ternyata belum tidur, ternyata mendengarnya. Ia hanya tersenyum.
(Sekolah
Tinggi Sea King)
Kafetaria sangat ramai. Para siswa
memesan makanan dengan sangat beringas. Keadaan sangat tidak terkendali karena
mereka saling berdesak-desakan untuk berebut mendapat makanan lebih dulu.
Ada salah satu siswa yang
tersenggol. Karena dia tidak terima, baku hantam pun terjadi. Mereka
menggunakan apa saja untuk saling serang. Tongkat, kursi, bahkan ada yang
terjatuh dari lantai atas karena didorong. Umi melihatnya dengan terbelalak.
Sementara di depan gerbang sekolah,
Daichi mengkhawatirkan keadaan ibunya dan terus memikirkan apa dia baik-baik
saja. Daichi yang berdiri di tengah gerbang sekolah disenggol seseorang untk
menyingkir. Gerombolan yang datang, seseorang bahkan mendorongnya dengan keras
hingga Daichi terjatuh tersungkur. Daichi lalu melihat sebuah tulisan di
dinding—yang ditulis dengan pilox—bertuliskan ‘Keji’ dan bergambar api yang
berkobar.
“Mereka benar-benar penjahat.”
☺
Di koridor, Umi berbincang dengan
teman kerjanya tentang kelakuan siswa Sea King. Dia bertanya apakah pada wisuda
tahun lalu tidak ada insiden dan tidak ada yang terluka. Teman kerjanya itu malah
mengatakan jika waktu itu banyak mobil polisi datang.
Rekannya lalu menanyakan di mana
anak Umi bersekolah. Dengan bangga, Umi mengatakan jika putranya bersekolah di
Sekolah Tinggi Meifu.
“Wow! Itu sekolah kelas atas!”
“Yah, kelihatannya dia pandai dalam
belajar,” sahut Umi senang.
“Kalau begitu, masa depanmu pasti
sudah terencana!”
“Kau tidak bisa terlalu yakin,” ucap
Umi malu-malu.
Mereka akhirnya sampai di sebuah
toilet wanita. Sebelum sempat masuk, Umi melihat Daichi berjalan bersama seorang
guru. Umi terkejut.
“Dai…”
Daichi pura-pura tidak mengenal Umi
dan berjalan melewatinya. Sang guru yang berjalan bersama Daichi menggumam saat
melihat Umi. Dia mengatakan jika Umi seksi dan tipenya. Tentu saja Daichi
terkejut.
Umi lalu berlari mengejar keduanya.
Hingga mereka sampai di luar kelas, Umi menguping dari luar.
“Harap tenang! Bapak ingin
memperkenalkan murid pindahan.”
“Murid pindahan?” Umi shock.
Daichi lalu memperkenalkan dirinya
di depan kelas. “Suzuki Daichi desu. Yoroshiku.”
Saat Daichi berjalan untuk duduk,
seseorang menjagal kakiknya dan membuatnya terjatuh. Nanba-sensei lalu
menghardik anak nakal itu. Di dalam kelas, seseorang berkacamata terus
memperhatikan Daichi. Dia, Kobayashi Kouji. (Nakajima Yuto)
☺
“Aduh! Ittai… ittaiii…! Sudah
kubilang itu sakit! Aduh, aduh, aduh!” Umi menjewer telinga Daichi dan
menyeretnya berjelan ke belakang sekolah.
“Apa yang terjadi? Katakan!” Umi
marah. Daichi menyuruh ibunya tenang. “Bagaimana bisa ibu tenang!”
“Bu, aku mengkhawatirkanmu. Selama
akhir pekan, aku mengambil ujian masuk.” Umi sangat terkejut karena tidak
pernah mengetahui hal itu.
“Bagaimana dengan Meifu?” Umi
menatap seragam yang dikenakan Daichi dengan sangat shock.
“Tentu saja aku keluar.”
“Uso!
Aku tidak pernah dihubungi pihak sekolah.”
“Ibu sendiri yang menelpon sekolah.”
“Masaka!
Ibu tidak pernah berbicara dengan pihak sekolah!”
Daichi lalu mengaku jika dia meminta
seseorang untuk melakukannya. Dan orang itu adalah Ny. Kobayashi. Umi frustasi
mendengar penuturan Daichi. Ia memegangi kepalanya dan menunduk tak percaya.
“Kaachan, dengan begini, bukankah
memudahkan keuangan kita? Tidak ada gunanya membuang-buang uang karena aku
pergi ke sekolah swasta. Tentu saja aku bersyukur bahwa ibu berpikir tentang
masa depanku. Tapi—”
“Kau tidak mengerti sama sekali!”
erang Umi. Umi berpikir mungkin belum terlambat untuk menghubungi Meifu. “Kau
akan pergi ke Universitas Tokyo lalu bekerja di perusahaan terbaik, kan?! Dan
kemudian kau akan…”
“Membelikan ibu rumah?” Daichi bertanya
polos.
“Eh? Bukan… bukan. Itu tidak terlalu
penting.” Umi membuang pandangannya ke arah lain. ‘Tentu saja penting!’ batinnya.
“Aku memiliki alasan untuk melakukan
ini, Bu.” Daichi mencoba menjelaskan. Dia bercerita tentang teman-temannya yang
memiliki uang saku 200-300 yen setiap hari. Umi bertanya apakah Daichi tidak
suka karena alasan itu. Daichi mengelak dan berkata dia tidak terlalu peduli
dengan hal tersebut.
“Ini sebenarnya… tentang perjalanan
tour ke Australia. Tidak ada gunanya membuang-buang uang untuk hal itu. Aku
tidak ingin ibu berbaris untuk penjualan super diskon dan berkata, ‘Lihat koala
itu lucu sekali,’ kemudian semakin bersemangat hanya dengan memikirkan itu
saja. Aku tidak akan pergi! Jangan khawatir, aku akan tetap giat belajar! Aku
masih bisa belajar di sekolah ini. Sedangkan untuk perguruan tinggi, aku akan
masuk dengan beasiswa di Universitas Tokyo dan aku akan menjadi sukses!”
Umi terharu mendengar kata-kata
Daichi. Daichi lalu teringat sesuatu. Ia ingin mengambil foto Umi. Daichi
mengatakan jika itu tugas dari seniornya. Tapi Umi tidak mau karena merasa
dandanannya tidak baik. Daichi menyuruh ibunya untuk tersenyum. Umi semakin
marah karena dia masih sangat terkejut dan itu membuatnya tidak bisa tersenyum.
Tak kehilangan akal, Daichi meminta Umi menyebutkan jenis anjing yang dibeli
tetangganya dari lantai tiga.
Dengan cepat, Umi menyahut,
“Maruchiizu!” Daichi langsung memotret Umi dan tersenyum lebar karena dia
mendapat pose Umi yang sedang tersenyum.
“Bu, kau pasti akan menjadi nomor
satu.” Ucap Daichi sambil tersenyum senang dan terus memandangi foto Umi.
Daichi lalu berjalan meninggalkan Umi.
Umi hanya menghela napas. Ia terus mengeluhkan
sikap Daichi yang bodoh. Seseorang yang sedang berbaring di atap sekolah dan
daritadi mendengarkan perdebatan itu menggumam, “Setidaknya kalian berdua masih
akur.” Dia adalah Mifune-senpai—Mifune Kengo. (Fujigaya Taisuke)
☺
Umi masih berharap Daichi bisa
kembali ke Meifu. Ia menghubungi pihak sekolah. Tapi Meifu memberi syarat untuk
terlebih dulu membayar kembali uang pangkal sebesar 107.00 yen. Dan Umi tidak
memiliki uang sebesar itu.
Di sebuah ruangan, para junior
berbaris memanjang dan saling berhadapan. Di tengah-tengah mereka para senior
yang dipimpin oleh Uchiyama Goro (Takeda Kohai. Kyaaa! Takeda-kun chou ikemen :*)
berjalan dengan pongah.
Daichi masih saja tersenyum melihat
foto ibunya, ia melongo ketika melihat di sisinya, Kobayashi sedang menggigiti
jempolnya.
“Semuanya! Letakkan foto kalian di
lantai!” Goro berkata keras sambil berulang kali memukulkan pecut dan menampar
para junior.
“Di lantai?” Kobayashi heran. Satu
persatu junior melakukan apa yang dipinta oleh Goro. Daichi dan Kobayashi
menurut.
“Injak di atasnya.” Ujar Goro lagi.
“Eh?” Daichi terkejut. “Apa?”
“AKU BILANG INJAK!” Daichi memandang
foto ibunya. Belum satu pun junior yang menuruti kata-kata Goro. “Ada apa
dengan orang-orang ini?” kata Goro kesal karena tidak ada junior yang
mendengarkannya.
“Mereka dari klub tinju,” Kobayashi
menerangkan Daichi. “Di sekolah ini, mereka dikenal sebagai yang terburuk dari
yang terburuk. Aku akan berkata mereka lebih seperti geng jahat.”
“Akhir-akhir ini, tampaknya bajingan
dari sekolah lain telah meremehkan kami. Terutama siswa kelas satu. Itu berarti
bahwa kalian perlu dibina! Jika ada anak cengeng di sini, tentu saja perlu
dikasihani. Begitu khawatirnya aku hingga aku khawatir tidak bisa lulus dengan
tenang. Hari ini, kami mengadakan tes untuk mengendus para pengecut. Untuk
melihat, apakah ada anak mama di sini.”
Daichi menghela napas. “Jadi kau
ingin kami menginjaknya?”
“Ayo tunjukkan padaku! Atau kalian
akan berkata, yah… aku tidak mencintai ibuku, tapi aku tidak bisa menginjak
dia,” kata Goro dengan intonasi mengejek. “Hei, INJAK!” Satu per satu junior
mulai menginjak foto ibu masing-masing. “INJAK LEBIH KUAT!”
Lalu saat seorang senior sampai pada
Daichi dan Kobayashi yang belum menginjak foto ibunya dan hanya diam saja, dia
memanggil Goro. “Uchiyama-san! Aku menemukan beberapa orang lemah.”
Goro langsung menghampiri keduanya
dan berteriak. “Hei, AYO INJAK!”
Kobayashi mengkerut. “Sumimasen, aku
tidak bisa. Jika aku melakukannya, mamaku akan berteriak padaku.”
“Hah? Apa barusan? Dia memanggil
mama? Hei! Dia memanggilnya mama!” Goro dan teman-temannya menertawakan
Kobayashi. Kobayashi malah ikut tertawa dan itu membuat Goro kesal. “Jangan
tertawa kau orang aneh!” Goro memukul Kobayashi di bagian muka dan membuatnya
tersungkur. Kacamata Kobayashi bahkan sampai pecah.
“Lalu bagaimana denganmu?” Goro
beralih pada Daichi. Daichi dengan polos menunjuk dirinya sendiri. “Kau mau
dipukul seperti dia?”
Daichi menoleh pada Kobayashi yang
sedang kesakitan. Ia lalu mengacungkan telunjuknya pada Goro-senpai dan membuat
Goro heran. “Kau tahu mengapa manusia beralih dari berjalan merangkak menjadi
dua kaki?” masih dengan mengacungkan telunjuknya, Daichi bertanya pada Goro.
“Hah?” Goro semakin heran.
Daichi menepuk-nepuk dadanya keras.
“Untuk menunjukkan pada orang lain organ mereka yang paling berharga. Hati.
Dengan kata lain, mari kita hentikan semua kekerasan ini!” Daichi mengacungkan
jempolnya dan nyengir. Goro ikut nyengir lalu menamparnya keras.
“LALU KENAPA KAU TIDAK KEMBALI
MERANGKAK?!”
“Ittai,” Daichi menyeka sudut
bibirnya yang berdarah. Seseorang ternyata memperhatikan mereka dari luar.
“Tolong aku, tolong aku, Mama.
Mama.” Kobayashi menangis ketakutan. Seorang senior lalu menamparnya.
“Tolong hentikan! Ibuku
membesarkanku sendirian. Aku telah menyaksikan kerja kerasnya sepanjang
hidupku. Aku bukan anak mama. Tapi melihat wajahnya tersenyum, bagaimana bisa
aku menginjaknya?” Daichi masih meminta semua itu untuk dihentikan.
Seorang senior lalu menyadari ada
yang berbeda dengan seragam Daichi. “Hei, ada apa dengan seragam itu?”
“Aku baru saja pindah hari ini. Jadi
aku belum memiliki seragam sekolah ini.”
“Bukankah ini seragam Meifu?”
“Ya,”
Mengetahui itu, Goro kembali muntab dan memukulkan pecutnya. “Hei.
Kau mengejek kami?” Ditanya seperti itu, Daichi keheranan. “Memangnya kenapa
kalau dia membesarkanmu sendirian?” Goro menarik seragam Daichi. “Seolah-olah
orang miskin pun bisa berhasil masuk sekolah itu!”
“Ada alasannya…” Daichi ingin
menjelaskan. Tapi kata-katanya terhenti oleh orang yang kemudian masuk.
Mifune-senpai.
“Apa yang kalian lakukan?” Mifune
bertanya dengan tenang.
“Tidak banyak. Hanya menguji apakah
ada anak mama di sini.” Terang Goro.
Mifune tersenyum. “Anak mama?”
Kobayashi kemudian berlari pada Mifune dan meminta pertolongan. Tapi Mifune
memukul perut Kobayashi. Daichi terkejut melihat Kobayashi tersungkur. “Jangan
memukul wajah. Itu kelihatan.” Kata Mifune. Mifune kemudian mendekati Daichi.
Daichi kembali mengacungkan
telunjuknya seperti yang dilakukannya pada Goro. “Kau tahu mengapa manusia
beralih dari berjalan merangkak menjadi dua kaki?”
Mifune
tanpa tedeng aling-aling, langsung memukul perut Daichi dengan keras. Daichi
mengaduh. “Ada organ berharga lainnya selain hati.” Ujar Mifune. “Sudah. Kita
sampai di sini.” Mifune lalu beranjak pergi diikuti senior yang lain.
Meninggalkan Daichi yang tumbang.
☺
Daichi
mengantar Kobayashi pulang. Ia memapah Kobayashi yang masih kesakitan. Ketika
sampai di sebuah rumah, Daichi terkejut. Ternyata Kobayashi adalah anak Tn.
Kobayashi yang dulu menjadi bos ibunya.
“Kita hidup dalam dunia yang kecil!”
Daichi takjub.
Kobayashi lalu mengajak Daichi masuk
dan berniat mengenalkannya pada mamanya. Tetapi Daichi menolak dan mengatakan
lain kali saja. Kobayashi masih memaksa Daichi untuk mampir. Akhirnya ia
mengatakan hal yang sejujurnya kalau dia tidak akan berani menjelaskan apa yang
sebenarnya terjadi padanya ketika mamanya menanyakan perihal wajahnya yang
lebam-lebam.
“Oh, dia mungkin khawatir kau kena
pukulan,”
“Bukan itu. Justru, bisakah kau
katakan padanya bahwa aku yang memukul?”
pinta Kobayashi. Tentu saja Daichi heran mendengar permintaan itu. Akhirnya
Daichi masuk juga ke rumah Kobayashi dan bertemu ibunya.
“Ketika saya dikelilingi orang-orang
jahat, Kobayashi-kun… tunggu, biar saya mengubah ke –san. Kobayashi-san, menyelamatkan
saya!” Jelas Daichi riang. Kobayashi
tertawa bangga. Mamanya menanyakan apakah itu benar dan Kobayashi mengangguk.
“Yah, begitulah. Aku tidak bisa
mundur dan membiarkan orang mengintimidasi yang lemah.” Mendengar Kobayashi
mengatakan itu, Daichi merasa sangat gemas. Tetapi ia malah terus membual.
“Bagaimana cara mengatakannya, namun
sangat menyengat atau berwibawa?” Daichi meluruskan tangan kanannya dan
mengangkatnya ke atas. Dia juga mengangkat alisnya, memperagakan bagaimana
sikap ‘bohongan’ Kobayashi saat menyelamatkannya tadi. (Ya ampunnn, ini lucu
sekali :*) “Hentikan ini! Ya, rasanya seperti itu! Setelah dia hanya
mengatakannya, itu membuat 5 orang secara bersamaan gemetar ketakutan!” Daichi
semakin mengarang-ngarang cerita.
“Hanya 5?” tanya Ny. Kobayashi
antusias tetapi kurang terkesan. Kobayashi dan Daichi saling pandang. Kobayashi
melotot meminta pertolongan.
“Yaaah, tidak. Itu 10… ah, bukan, 20!
Tapi saya dipukuli dan kesadaran saya memudar jadi saya tidak yakin berapa
banyak orang yang ada. Di sana, mungkin
bisa saja ada 100 orang, kan?”
“Oh, ada beberapa pria tangguh.
Mungkin 1-2. Tetapi sebagian besar itu hanya pengepung.” Kobayashi meredah
(kekekeke)
“Sou
desu! Sou desu! Itu dia! Dengan
karisma Kobayashi-san, mereka langsung gemetar! Seolah-olah mereka berjatuhan
seperti domino.” Daichi—ya ampun, minna…
aku kehabisan kata-kata. Haks. :D Pengen cubit Yamadaaa.
Kobayashi sangat senang saat dipuji
mamanya. Mamanya mengatakan jika kakeknya mengetahui hal itu, ia pasti akan
sangat senang. Ternyata Ny. Kobayashi masih mengingat Daichi yang tempo hari
mendatanginya. Dia mengatakan jika keduanya mungkin saja dipersatukan oleh
takdir. Daichi hanya tertawa membenarkan.
☺
“Aku tidak mengerti. Tapi, apakah
itu yang kau inginkan?” Daichi bertanya pada Kobayashi saat mereka sedang
berjalan menuju stasiun kereta.
“Ya. Terima kasih telah
menyelamatkanku.”
“Wow, tapi memikirkan bahwa kau anak
perusahaan kotak makan siang…”
“Itu sebenarnya bisnis konstruksi.”
“Bisnis konstruksi?” Daichi heran.
“Kobayashi, jangan-jangan, cabang utamanya adalah perusahaan Marukoba?”
Kobayashi membenarkan tebakan Daichi. Marukoba adalah perusahaan besar. Dia
juga mengatakan itu hanya pekerjaan sampingan ayahnya. Daichi semakin takjub. “Pekerjaan
sampingan? Jadi maksudmu, aku ini anak seorang pekerja paruh waktu yang bekerja
untuk pekerjaan sampingan itu?” ucapnya shock.
Kobayashi lalu menceritakan pada
Daichi jika almarhum kakeknya adalah pendiri perusahaan Marukoba. Daichi jadi
mengerti alasan Kobayashi memintanya mengatakan kepada mamanya jika ia memiliki
karisma yang sama dengan sang kakek. Kobayashi menjelaskan jika untuk menangani
para pekerja yang kasar di perusahaan itu, dia harus memiliki karisma. Dan
untuk itulah mamanya menyekolahkannya di sekolah preman. Mamanya tidak terlalu
mempedulikan pelajaran Kobayashi, ia hanya ingin Kobayashi bisa mengatasi para
penjahat—YABAI!
“Tidak ada alasan untuk tidak
menolak. Di kelas, aku bahkan tidak berani memandang siapapun! Aku hidup
seperti malam mekar dengan diam di bulan.” Aku Kobayashi. Kobayashi kembali menggigiti jarinya.
Daichi memandangnya sebal. “Berhenti
mengisap jari-jarimu!”
“Oh, hampir lupa,” Kobayashi lalu
menyerahkan sesuatu pada Daichi. Daichi membukanya dan ternyata uang. Kobayashi
memberinya sebagai tanda terima kasih karena telah berakting. “Aku merasa, kau adalah satu-satunya orang
yang bisa berteman denganku di sekolah. Aku benar-benar ingin pergi ke Meifu—“
“Aku tidak butuh uangmu!”
“Eh? Tidak apa-apa, jangan sungkan.
Kau memiliki masalah keuangan dengan hanya seorang ibu di rumah, kan?”
“Lalu kenapa?” Daichi menatap sebal.
“Bahkan orang sepertimu bisa ditemukan di sekolah bermasalah ini. Kau
benar-benar lebih cocok di Meifu. Pergi ke Australia hanya untuk melihat koala
yang lucu.”
“Kau marah?” Kobayashi mulai
menggigiti jarinya
“Tidak marah. Tapi… terkejut.”
Daichi mendorong tangan Kobayashi agar tidak melakukan hal itu lagi. “Berhenti
mengisap jarimu! Jika tidak ingin berada di sekolah itu, maka cukup memberi tahu
ibumu! Tidak masalah jika kau mahir atau tidak mahir dalam belajar. Tidak ada
gunanya melakukan itu semua jika kau tidak tertarik! Lagi pula, aku tidak bisa
berteman denganmu.”
“Tunggu, tapi kau tidak tahu
bagaimana mamaku. Dan jika dia marah, itu tidak lucu!”
“Kau benar. Matanya tampak
menakutkan.”
“Ada apa dengamu? Bukankah kau juga
anak mama? Kau juga tidak bisa menginjak foto, kan?”
Daichi yang sudah berjalan di depan
Kobayashi menoleh. “Jangan samakan aku denganmu! Aku bukan anak mama.” Dia lalu
mengangkat telunjuknya di depan wajah. “Aku hanya menyayangi ibuku, itu saja.”
Kobayashi ikut mengangkat
telunjuknya. “Apa-apaan itu?”
☺
Saat makan malam, Umi menanyai
Daichi yang tadi berkelahi. Daichi menjawab hal itu lebih seperti penindasan
tanpa alasan. Umi tidak ingin Daichi melihat Daichi berkelahi lagi karena dia
sangat mencemaskannya. Daichi lalu berjanji untuk tidak menceritakan pada Umi
jika hal seperti tadi kembali terjadi. Umi semakin marah dan berkata dia tidak
suka kebohongan. Umi juga terus menyalahkan Daichi jika hal itu terjadi karena
Daichi yang dihukum karena meninggalkan Meifu.
“Bu, tolong jangan bahas itu lagi.”
Pinta Daichi lembut.
“Lagi pula, kenapa kau tidak
menginjak fotoku? Apa kau tidak pernah dengar pepatah bahwa ‘ikuti saja
arusnya,’?”
Daichi memandang ibunya heran.
“Apakah benar-benar baik bagiku untuk menjadi licik? Meski itu hanya foto, itu
tetap ibu. Dan aku tidak bisa menginjak ibu!”
“Eh?” Umi terenyak. “Bukankah
teman-temanmu juga melakukannya?”
“Aku berbeda dari yang lainnya,” Umi
merasa tersanjung dengan kata-kata Daichi. Wajahnya memerah. Daichi bertanya
kenapa wajah Umi berubah merah. Tapi Umi mengelak dan mengatakan jika wajah
seorang ibu memang seperti itu. Umi berpura-pura sibuk dengan makanannya. Daichi
hanya tersenyum simpul melihat tingkah aneh ibunya.
Dalam hati, Umi bergumam. “Astaga,
kenapa aku jadi berdebar-debar karena putraku? Dia tampak seperti orang
dewasa…”
☺
Di Kantin, rekan kerja Umi kemarin
menceritakan kepada teman-temannya bahwa putra Umi bersekolah di Meifu. Tentu
saja semuanya terkejut dan ikut merasa senang. Tapi ada seseorang yang membalas
berita itu dengan sinis.
“Bodohnya! Susah payah orang miskin
sepertimu menyekolahkan anak di sekolah mahal.”
“Murase-san, bukankah itu pilihannya?”
bela rekan Umi yang lain.
Murase
tidak peduli dan terus berkata-kata menyakitkan. “Padahal suatu saat, putramu
akan bertemu seorang gadis. Begitu ia menyukainya, mereka akan lengket seperti
lem dan dia akan mengkhianatimu. Lalu, kau berada di bawah kendali menantumu.
Mereka pura-pura menanyakan kesehatanmu dan apakah kau ingin pergi ke panti
jompo padahal sebenarnya mereka berniat mengusirmu!”
Mendengar itu, Umi tentu saja sangat
marah. “Putraku anak yang baik. Dan dia tidak akan melakukan itu!”
“Aku juga dulu mengatakan hal
sepertimu, mengatakan dia tidak akan melakukannya. Tidak ada rasa sakit yang
lebih besar daripada dikhianati oleh putramu sendiri.” Murase tertawa
meremehkan.
“Aku
bilang, dia tidak akan pernah…”
“Yakin
sekali kamu,” ucap Murase sambil berlalu
Umi
semakin merasa kesal. Ia meledak-ledak dan akan meghardik orang itu tetapi
teman-temannya menahannya dan mengatakan jika putra Umi pasti tidak akan
seperti itu. Umi mengangguk sambil berusaha tersenyum dan menahan emosinya.
☺
Di koridor, Kobayashi mengejar
Daichi yang tidak mau berhenti. Lalu saat Daichi sudah berhenti, Kobayashi
malah menyerahkan sebuah bingkisan. Tentu saja Daichi kesal karena Kobayashi
belum paham juga. Ia tidak menerima bingkisan itu dan berniat menjauh. Tapi Kobayashi
menahannya.
“Suzuki-kun, ini tidak seperti yang
kau kira. Ini seragamku yang sudah kekecilan. Kurasa akan pas di badanmu,”
Daichi berhenti. Dia mengambil
bingkisan yang disodorkan Kobayashi dan mendapati sebuah jas yang masih sangat
bagus. “Oh, kalau ini sepertinya aku akan menerimanya. Ini akan menghemat
keuanganku.”
Kobayashi senang saat Daichi
menerima pemberiannya dan mencoba jasnya. “Aku tahu, tidak seharusnya aku
membeli pertemanan dengan uang,” Daichi menatap Kobayashi dan tersenyum.
“Akhirnya kau mengerti.”
Saat keduanya berniat melanjutkan
perjalanan, mereka dikepung oleh para senior. Goro langsung mencengkeram kerah
dua anak itu lalu merangkulnya. “Kalian pasti masih punya foto, kan?”
Mereka lalu menyerat Daichi dan Kobayashi ke taman. Umi
yang sedang berada di tangga dan masih kesal dengan ulah temannya tadi, tak
sengaja melihat Daichi sedang dikepung. Umi merasa sangat cemas melihat Daichi
dibully.
Sementara di bawah, Daichi dan Kobayashi meletakkan foto
ibu masing-masing di tanah. Umi yang melihatnya tentu sangat khawatir. Daichi
dan Kobayashi lalu menginjak foto ibunya. Umi sangat shock. Apalagi ketika ia
melihat Daichi menginjak fotonya tidak hanya sekali dengan hentakan yang sangat
keras.
“Ada apa dengan kalian? Jadi kalian bisa melakukannya?”
Uchiyama heran dengan sikap Daichi dan Kobayashi.
Daichi hanya tersenyum-senyum simpul. Kobayashi merapat
pada tubuh Daichi. “Ya. untuk itulah kami menunggu kepemimpinan Anda, Senior,”
Keduanya membungkuk. Sementara Daichi masih terus tersenyum puas.
Umi semakin terpana melihat tingkah Daichi. “Dia…
mengkhianatiku.”
☺
Daichi dan Umi berdoa di makam ayah
Daichi. Setelah usai, Daichi berdiri dan berniat pulang. Umi memandangnya.
“Setelah dipikir-pikir, kau tidak pernah menanyakan tentang ayahmu, kan?”
“Yah, kupikir itu menyulitkan ibu.”
Sahut Daichi seperti enggan membahasnya.
“Bukan menyulitkan, itu lebih tepat
dikatakan menyakitkan. Meskipun aku sebentar bersama dengannya, tapi kami
mempunyai kenangan yang indah.” Ucap Umi sambil mengenang.
“Apakah itu saat aku masih berada di
kandungan ibu?”
“Ya. Dia sakit.”
“Eh? Tunggu. bukankah ayah
kecelakaan?” Daichi terkejut.
Umi tergagap. “Maksudku, ibu yang
sakit setelah itu. dia bekerja di real-estate. Tapi mereka tidak bisa menggaji
karyawannya dan dia di PHK. Ummm, kau pernah mendengar Marukoba?”
Daichi tersenyum. “Dunia benar-benar
sempit!”
“Dia mengambil pekerjaan pengiriman.
Dan karena dia tidak cukup tidur, truk yang dikemudikannya menabrak pagar
pembatas.”
“Pada saat itu, berapa umur
kandungan ibu?”
“Tiga bulan,” jawab Umi singkat.
Daichi melihat ibunya dengan sedih.
“Mungkin akan aneh jika aku menanyakannya. Tapi… apakah ibu pernah berniat
menggugurkanku? Ibu masih muda dan bisa mencari cinta lain,”
Umi tersenyum, “Kalau kau berkata
tentang umur, mungkin memang benar. Tapi aku tidak pernah banyak memiliki
keberuntungan dengan pria. Aku tertipu dengan mudah. Saat itu lah aku berpikir
sudah selesai. Tidak ada cinta lagi untukku. Ayahmu berbeda dari yang lain,
ditambah dia manis,”
“Tapi ibu tidak pernah tahu apa yang
terjadi dengannya kan? Bagaimana jika setelah menikah dan memilikiku, ayah
tidak punya pekerjaan tetap dan dia akan memukulmu?” tanya Daichi polos sambil
menerawang.
“Berani-beraninya kau mengatakan itu
tentang ayahmu!” Umi marah
“Meskipun dia ayahku, aku tidak
begitu mengingatnya. Sejujurnya, kurasa, aku tidak bisa menyukainya sama
sekali. aku menyesal ia mendinggal dan membuat ibu kesepian…”
Umi lalu terkenang saat suaminya
mengelus perutnya yang sedang hamil. Mereka berbincang tentang jenis kelamin
anak mereka. Tapi Umi tidak terlalu mempedulikan. Ia hanya ingin anaknya sehat.
“Meskipun aku khawatir untuk hidup sendirian, aku harus melahirkan anak kita.
“Cinta… aku tidak terlalu paham
dengan hal itu,” gumam Daichi.
Umi menatap Daichi aneh. “Bukankah
kau pernah menunjukkan foto-foto pacarmu?”
“Dia bukan pacarku! Ya, aku berjanji
pergi menonton konser bersamanya. Tapi oh, aku menolaknya.” Elak Daichi
“Apakah ada e-mail darinya?”
“Umm, ada beberapa. Tapi setelah aku
mengatakan aku dipindahkan di Sea King, dia memutus kontak, sepertinya dia
pikir, aku anak orang kayak arena sekolah di Meifu.” Daichi tersenyum. “Selalu
begitu kan, tidak di bisnis, kuliah, pendapatan tahunan,” Daichi mengeluhkan
sikap seperti itu.
Hujan lalu turun. Daichi mengambil
payungnya dan memayungi ibunya. “Tidak semua perempuan seperti itu. Dan kelak
saatnya, Daichi pasti menemukan gadis yang baik.”
“Menurut ibu seperti itu? Ah, tapi
aku tidak terlalu tertarik sekarang ini,” ungkap Daichi jujur.
“Dan setelah kau menemukannya,
kalian akan saling menempel seperti lem dan menganggap ibu menyebalkan dan
penganggu!” Umi menyindir.
“Eh? Tidak. Aku tidak akan seperti
itu.”
“Apa kau bodoh? Setelah itu, kau
pasti akan berpura-pura mengkhawatirkan kesehatanku, tapi sebenarnya kau ingin
menyingkirkanku!” Umi semakin menjadi-jadi. Daichi heran.
“Bu, apa yang kau bicarakan?”
Umi merebut paying dari tangan
Daichi. “Kau akan mengkhianatiku!”
“Bu, apakah terjadi sesuatu?” tanya
Daichi sedih.
Umi semakin murka. “Kau
menginjaknya, kan?”
Daichi terbelalak. Ia segera melihat
telapak sepatunya. “Eh? Apakah aku menginjak permen karet? Di mana?”
Umi semakin kesal. “Jangan pura-pura
tidak tahu.”
Daichi merasa sangat heran. “Bu,
sebenarnya apa yang terjadi? Kau berkata tidak suka kebohongan, kan? Begitu
juga denganku. Bukankah kita ini ibu dan anak yang seharusnya bisa menceritakan
semuanya?” Daichi lalu teringat sesuatu di taman sekolah. “Oh,…” Daichi
tersenyum. “Jadi ibu melihatnya?”
“Oh… sekarang, aku mengembalikan
kata-katamu. Bukankah meski itu foto, itu tetap ibu dan kau tidak akan
menginjaknya?” Umi sangat marah pada Daichi.
“Bu, bagaimana dengan kata-katamu,
ikuti saja arusnya?”
Umi memandang Daichi tajam. “Lalu
apa maksudmu tentang aku berbeda dari yang lainnya?!”
“Aku
mengerti sekarang, aku mengerti!” Daichi berusaha menjelaskan tapi Umi sudah
berlalu pergi mendahului Daichi. Daichi meminta ibunya berjalan bersama karena
hujan sudah sangat deras. Sementara Umi berkata ketus jika seharusnya Daichi
membawa dua paying. “Bu! Bukankah ibu yang mengatakan hari ini tidak akan
hujan?”
Daichi
masih meminta Umi pulang bersama. Tapi Umi mengatakan jika dia akan makan siang
dengan seseorang. Daichi mulai cemburu. Daichi bertanya dengan siapa Ibunya akan
pergi dan Umi menjawab jujur jika ia kan pergi bersama Kawasaki-san, daichi
meminta ibunya untuk tidak pergi karena ini lebih mencurigakan dari insiden di
perusahaan kotak makan siang. Tapi Umi menolak dan malah tampak sangat menanti
undangan itu.
“Kaachan!
Kau bukan anjing! Jangan tergoda oleh makanan!”
Umi berhenti dan menatap Daichi
tajam. “Apa kau baru saja mengataiku anjing? Setelah melakukan proses
persalinan yang sulit, kau mengatakan aku ini anjing?!” Umi semakin emosi.
“Bu, itu hanya kiasan, kan?” Ucap
Daichi lembut.
“Guk. Guk. Guk.” Umi malah
mengonggong. Daichi bingung. Umi terus saja menggonggong.
“Bu, tolong hentikan!” Umi memandang
Daichi sambil menangis. Ia lalu meninggalkan Daichi yang kehujanan di kuburan.
☺
*TBC
KYAAAA! Gomen harus di TBC. Aku ngga
tau kenapa bisa sampai sepanjang ini :( sepertinya aku gagal T___T Episode satu
emang panjang, sih. Dan ini baru setengahnya, ya ampun. Aku sepertinya menyerah
dan lebih memilih menulis projectku yang lain. Hahaha…. Semoga kalian menikmati
penggalan ini. Kusaranin, kalian nonton aja deh. Bikin nangis dan ngakak,
sumpah.
Juga, kalau kalian penasaran apa
alasan Daichi menginjak foto ibunya. Setelah tahu, hati kalian pasti seperti
tersayat-sayat karena haru. *lebay.
Eh iya, aku ngga tau apakah TBC ini
benar-benar akan be continue atau tidak. *lol. Doakan aku diberi kekuatan (?)
untuk menulis! Ganbarimasuuuu!
0 komentar