“Edelweiss?
Mahameru?” Kuulangi perkataan murabbiku beberapa detik lalu dengan setengah
berteriak. Beliau tersenyum kecut. Aku meremas-remas rambutku yang baru saja
kusisir rapi.
***
Kuhirup
semilir segar angin fajar mahameru ini dengan helaan napas panjang. Hijau toska,
hanya warna itu yang dapat ditangkap mataku sejauh mata memandang. Kueratkan
jaket tebal yang kupakai. Pendakian ini, sama halnya pertaruhan masa depanku.
“Ustadz, tidak bercanda?” aku menatapnya
lekat-lekat. Sesekali aku menyeka peluh yang membulir pada keningku. Lalu
menatap lantai keramik yang tiba-tiba dinginnya terasa menjalar hingga
ubun-ubunku.
Seseorang
di hadapanku, menggeleng pelan, tanpa kata. Hatiku segera berdesir.
Kutatap
serumpun bunga putih pucat yang bergerombol di tanganku dengan tersenyum miris.
Edelweiss. Ada yang menyebutnya Anaphalis javanica. Ah, aku tak paham
kenapa akhwat itu memberiku syarat untuk memberinya Edelweiss, Mahameru.
Sebelum dia menerima khitbahku.
Edelweiss?
Mahameru? Tentu dua hal itu sangat sulit ditaklukkan. Edelweiss biasanya hanya
tumbuh di sisi jurang, dan Mahameru? Aish!
***
“Kata orang, Edelweiss itu bunga
keabadian.” Teman baruku, yang kukenal sejak pendakian ini, memecah
kebingunganku. Asap kopi hitam yang sedang disesapnya menguar memenuhi indera
penciumanku.
“Begitukah? Kenapa?” Aku bertanya,
bingung. Ah, aku memang bukan ahli botani.
Ikhwan berjenggot tipis di sebelahku
mengangguk membenarkan. “Dia tidak pernah layu.”
“Eh???” aku terbelalak mendengar fakta
itu. kutatap kembali Edelweiss yang kini menatapku sinis. Aku tercengang. Aku
memetiknya hanya sebagai langkah awal meminang seseorang yang kucinta.
Sepertinya ini ironis.
Akhwat tersebut, tentu saja sedang
mentarbiyahku dengan syaratnya yang kuanggap konyol ini. Ia ingin aku mengerti bahwa yang abadi,
hanyalah cinta yang ditujukan kepada Sang Pemilik Cinta. Mungkin, juga cinta
yang hanya karena-Nya. Detik itu, kuubah niat pendakianku.
0 komentar