Tangis November

By Zulfa Rahmatina - 11:09 AM

Aku pernah merasa,
Percaya lalu terhempas khianat nista
Tertawa untuk kemudian merinai luka
***
          Aroma tanah basah bekas gerimis siang tadi masih jelas membaui penciumanku. Aku sedikit sumringah melihat awan kelabu mulai menjauh digantikan oleh arakan awan putih yang seperti gumpalan kapas mirip yang kulihat di puskesmas.
Tik. Tik. Tik.
Ah, bunyi itu lagi. Kutolehkan kepalaku kepada suara yang lumayan  membuatku terganggu. Pipis Bapak. Ember hitam yang penuh tambalan lakban itu kini hampir luber oleh cairan warna kuning berbau pesing.
Sudah lima tahun ini, tubuh renta Bapak hanya bisa terbaring di dipan reyot yang diberi lampitkeras sebagai alasnya. Bapak stroke sejak Ibu meninggal saat aku masih kelas 3 SMP.  Aku sendiri kini gadis 20 tahun.
Kudekati ranjang Bapak yang kini masih terpejam. Bapak… ah, selalu nyeri tiap kali kulihat gurat keriput di sekujur tubuhmu itu. Kuambil ember kecil itu untuk kubuang di belakang rumahku yang kebetulan berbatas dengan kali kecil. Kemudian, kusiapkan dua potong lemper di piring mungil dan segelas air putih. Kuletakkan di dingklik dekat satu-satunya dipan di rumah ini yang sudah kami anggap sebagai meja, bersama beberapa tablet obat warna oranye milik Bapak.
“Bapak…,” kucoba menyapa pria sepuh itu. Nafasnya naik turun. Aku memandang hampa tas kresek hitam di tanganku.
“Pergilah…” Bapak menjawab dengan tidak membuka matanya. Kuraih tangannya yang lemah, kuciumi beberapa kali, kuucap salam lalu pergi.
***
          “Yu, nanti tolong antarkan segelas beras kencur buat Bapak, ya?” Aku mendekati Yu Patmi yang masih melayani ibu-ibu bermulut bodol yang juga akan membeli jamu. Musim hujan seperti ini, orang-orang desaku selalu mengincar jamu untuk menghangatkan dirinya. Aku sendiri kurang suka dengan rasa jamu.
“Mau ngemper di peron lagi?”
Nah! Apa kubilang! Aku sudah hapal skenario ini. Mbak Ela yang gembrot itu pasti mulai memanas-manasiku. Lalu setelah itu…
“Srintilll, mbok ya nggak usah ngoyo.” Harti berkata padaku seusai tegukan terakhir jamu jahenya.
“Sudahlah, Sri, masmu itu nggak bakal dateng,” kali ini, Yu Patmi malah ikut-ikutan.
Aku menelan ludah. Berusaha tersenyum meski senyum di wajahku yang sedang asem ini malah lebih mirip dengan seringai aneh. Setelahnya, aku hanya kembali mengingatkan Yu Patmi akan pesananku untuk Bapak.
***
          Ini tahun kedua sejak aku rutin melakukan ‘ritual’ di tiap bulan November. Pukul setengah empat, setelah beberes rumah, aku menyusuri jalan setapak untuk sampai di stasiun kecil desa kami. Beruntung Stasiun Semut ini masih beroperasi. Aku jadi tidak harus ke kota untuk menunggu Masku.
Mas Tiyo. Masku itu sedang di Jepang. Bukan mas kandungku, sih. Dia anak yang diangkat Bapak sebagai anak ‘pancingan’ agar Ibu hamil. Bapak dan Ibu menikah diusia yang cukup tua. Aku curiga Ibu bahkan sudah mengalami menopause. Saat itu, ibu berumur empat puluh tahun dan bapak empat puluh tujuh. Mas Tiyo sendiri adalah anak tetangga kami yang ditinggal merantau sejak masih bayi. Setelah tiga tahun Bapak ‘mancing’ kehadiranku, lahirlah aku.
Masku itu luar biasa tampan. Wajahnya oriental. Seperti kebanyakan orang-orang asia timur. Tetangga kami banyak yang berkata, bapak kandung Mas Tiyo memang orang asia timur. Majikan ibunya, di Taiwan. Aku sih, tak ambil pusing dengan ocehan-ocehan itu. Yang penting, Masku ganteng!
“November, Dik,” kata Mas Tiyo di saluran telepon. Aku menumpang di rumah Bu Indri untuk menerima telpon dari Mas Tiyo. “Insya Allah.” Lanjutnya.
Aku terharu mendengar janjinya di negeri seberang. Mas Tiyo bilang, sepulang dari Jepang, dia akan membelikan kami kasur yang empuk, karpet halus, membenarkan gubuk kami, beberapa potong sarung baru untuk Bapak dan apapun yang kuminta.
***
          Segera aku berdiri saat suara kereta api samar terdengar. Sebentar lagi, sebentar lagi…
Wusssh…
Kereta api itu, ternyata, lagi-lagi, hanya melaju cepat dan tak sudi mampir di stasiun kecil kami. Hatiku semakin terasa kebas. Kuselonjorkan kakiku di satu-satunya bangku panjang di stasiun ini. Senja yang mulai merekah ditambah awan pekat yang kembali datang, semakin memperparah keadaan hatiku.
Ada yang serasa menguliti hatiku saat kuingat binar bungah Bapak, dua tahun lalu, ketika kukabarkan janji-janji manis Mas Tiyo. Setiap hari, Bapak bertanya, apakah sekarang bulan November atau tidak. Persis seperti anak kecil yang menunggu waktu berbuka dan tak henti menanyakan kapan bedug maghrib tiba. Kadang-kadang, kepikunan Bapak adalah hal yang harus kusyukuri. Aku jadi tidak terlalu ngilu ketika berbohong kepada Bapak bahwa November adalah setiap hari.
Mas Tiyo? berbohong? Jangan bercanda! Bukankah dia tidak menyebut tahun? Mas Tiyo hanya bilang November, kan? Dia tidak mungkin berbohong Dulu, waktu Masku di kampung, dia itu selalu adzan tiap subuh. Lepas maghrib, dia juga mengajari anak-anak mengaji. Walau hampir seluruh pemuda di kampung ini yang pernah magang di Jepang, mengatakan bahwa Mas Tiyo sudah tidak lagi di Jepang karena menikah dengan gadis Korea.
Lelucon garing! Aku menghela napas panjang-panjang mengingat kisah konyol itu. Meski sekarang agak sulit, aku hanya selalu ingin percaya dengan Mas Tiyo! Kupandangi tas kresek hitam yang sedari tadi kubawa. Jangan mengira aku membawa brownies atau black forest dan sejenisnya. Untuk menyambut Mas Tiyo, aku hanya membawa selembar roti tawar keras yang kupotong segitiga, kuoles air agar misis sisa membuat gorengan pisang karamel—daganganku—menempel di roti itu. Ya, hanya itu. tapi kuyakin Mas Tiyo pasti suka.
“Tiyo itu pasti sudah pindah agama,” aku pernah mendengar ibu-ibu yang sedang arisan berbisik-bisik ketika suatu sore aku akan mengunjungi stasiun ini.
“Jelas, dia menikah dengan orang Korea, kan?”
Bah! Belum tahu saja mereka kalau Mas tampanku itu berjanji menikahiku! Hahaha! Saat itu, aku tertawa keras-keras dalam hati, walau aku memasang muka pura-pura tidak peduli.
***
          Usai berwudhu sekedarnya pada sisa-sisa air hujan yang menetes di genting peron ini, aku menggelar koran yang memang kupersiapkan sebagai alas sholatku. Biasanya, sebelum maghrib, aku pasti sudah pulang ke rumah. Tapi tidak untuk hari ini. Karena ini adalah, hari terakhir di bulan November…
“Gusti… hari ini, Mas Tiyo, pasti pulang, kan?” kucetus harap dalam do’a panjangku.
Hari terakhir bulan November, hari terakhir, hari terakhir…
Ah, pahit rasanya mengingat-ingat hal itu. Hei, tapi, bukankah Tuhan bersama mereka yang bersabar? Bukankah Cinderella, Depetto dan Pinokio, juga Hansel serta Gretel juga tidak pernah kehilangan harap dan mereka, pada akhirnya hidup bahagia? Bahkan Snow White pun, akhirnya dijemput oleh pangerannya…?
Kueratkan jaket tipis yang kukenakan sembari tersenyum miris. Duh, itukan hanya ada di dongeng! Dan, ya, seperti nasihat Mas Tiyo, kita tidak hidup di dunia dongeng. Aku bahkan berhenti mengunjungi taman baca agar tidak lagi terbayang-bayang dunia dongeng yang selalu membuatku menahan napas itu.
“Sunny, kau masih tetap berusaha, kan? Kau masih ingat kita hidup di dunia nyata, kan?” aku masih ingat isi surat terakhir yang dikirimkan Mas Tiyo. Kata-katanya selalu manis. Apalagi dengan panggilan ‘Sunny’, aku merasa seperti bukan orang kampung! Ya, hanya Mas Tiyo-lah yang memanggil Sri Sundari dengan ‘Sunny’. Tidak Srintil, seperti kebanyakan orang-orang.
Rintik gerimis mulai menderas. Dan, sepertinya, tadi adalah kereta terakhir yang lewat desa kecil kami. Aku bimbang antara terus menunggu atau pulang ke rumah. Pasti Bapak mengkhawatirkanku. Meski pria sepuh itu, sering lupa dengan siapa aku.
***
          “Allah!” aku berlari melihat gubukku masih gelap. Tentu saja! Bapak tentu tidak akan bisa menyalakan lampu minyak—satu-satunya penerangan di rumah kami.
“Assalamu’alaykum, Pak.” Kubuka daun pintu dari papan lapuk yang menimbulkan derit keras. Tidak ada jawaban. Ah, aku merasa bersalah membiarkan mata rabun Bapak merasakan kegelapan.
“Bapak sudah minum jamunya?” Sembari meraba-raba mencari korek api, kutanyai Bapak yang wajahnya kini tidak bisa kulihat. Bapak masih diam. Eh, aku juga tidak mendengar dengkurannya. Aku juga tidak mendengar nafas berat Bapak! Ah, apakah aku tuli karena selalu menanti bising kereta api? Apa!? Tuli? Ya! T-U-L-I!
Aku mulai panik. Jangkrik yang biasa mengerik pun kini sunyi senyap! Aku mulai mencari apapun yang bisa kupukul agar mengeluarkan suara dan memastikan apakah aku ini tuli atau tidak. Sialan. Ini gara-gara Mas Tiyo! Hey, tapi, bukankah tadi aku bisa mendengar suaraku sendiri? Kuhentikan usahaku yang sejak awal baru kusadari terdengar konyol itu. Lalu tersenyum dalam gelap. Mas Tiyo mulai membuatku tidak waras rupanya.
Ah, akhirnya dapat juga korek api! Kunyalakan lilin yang tak jauh dari tempat korek itu berada. Gubuk kami mulai bercahaya. Bapak masih terlelap. Wajahnya, malam itu, entah karena apa terlihat sangat damai dan begitu bercahaya. Kuletakkan lilin itu di dingklik. Aku memandangnya lekat, lama-lama. Aroma khas Bapak sempurna masuk ke rongga-rongga hatiku dan membuatnya merasa sejuk. Kupeluk Bapak erat-erat.
Bapak? Jantungku mulai berdesir. “Bapak!” aku berteriak. “Bapak!” kugoncang-goncangkan tubuh Bapak yang seperti beku. “Bapak!” teriakanku pecah menjadi isak yang keras. “BAPAK!!!”
“Nduk, ada apa?” kudengar langkah tergopoh Pak Harun, tetangga kami, mendekati gubukku. Sesaat kemudian, kusadari hadirnya di belakangku.
“Bapaaak!” aku masih menangis histeris memeluk Bapak. Pak Harun melepas pelukanku. Disentuhnya lengan Bapak yang sudah tidak berdenyut.
“Innalillah…” kudengar ia merapal suatu lafal yang sangat kutakuti. Tubuhku kini serasa tak bertulang, gubuk kecil kami kembali pekat. Hanya gelap yang menyergap.
“Nduk!” kudengar lagi satu suara, Bu Harun. Menangkap tubuh kurusku sebelum jatuh berdebum.
***
          November menangis. Tapi aku tidak. Mungkin tahun depan, atau depannya lagi. Bukankah November tidak pernah ingkar janji? Dia selalu datang, bukan? Ya, cukup mengingat November yang selalu setia, aku tidak lagi berduka. Aku bahkan sudah tidak butuh lagi kasur empuk, rumah yang indah dengan taman bunga, karpet halus yang hangat…
Kulihat sesosok pria sepuh bersama wanita cantik di sebelahnya. “Ibu!?” aku menjerit. Wanita itu tersenyum, merentangkan tangannya lebar-lebar untuk menyambutku.
Aku terbelalak. Tak buang waktu, kukejar dia. Kan kupeluk sampai aku puas! Tapi, selangkah lagi aku meraihnya, seseorang menarikku ke belakang. Mengulumku dalam pelukan hangatnya. Nafas lembutnya menenangkan hatiku yang semula ingin berontak. Kudongakkan kepala untuk melihat sosok tinggi yang membuatku seperti kurcaci. Mas Tiyo! Ah, Mas Tiyo… aku tersenyum. “Kau datang November depan, kan?”
**END**
Cerpen ini adalah karya Zulfa Rahmatina (@Zulfaiiry) yang diikutsertakan dalam ajang menulis #KisahNovember yang diadakan oleh @KampusFiksi.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar