Louis Vuitton
By
: @Zulfaiiry
Memalukan. Satu kata yang membuat dua
tahun terakhirku ini menjadi memilukan. Seharusnya, orang-orang bermulut besar
itu tidak usah mencampuri hidup orang lain. Ya, termasuk juga hidup seorang
pengangguran, lulusan manajemen bisnis luar negeri sepertiku ini. Baiklah,
kuulang pernyataanku agar lebih jelas. Lulusan, D3 manajemen bisnis, dari luar
negeri, yang hanya menjadi pengangguran dan memutuskan mengisi hari-harinya dengan
membaca manga[1]
dan bermain game online.
Menggelikan. Ya, aku tahu itu
konyol. Tapi lihatlah aku dan bisnisku sekarang. Meski masih setaraf dengan
pedagang kaki lima yang lain, aku tidak memakai gerobak dan tempatku berjualan
tak ada seekorpun lalat! Pengunjung yang datang juga bukan tukang parkir atau
tukang sapu jalanan. Yah, hanya ‘sekedar’ pria-pria berjas, wanita karir,
mahasiswa dan juga SPG yang terkadang, kecantikannya masih di bawah karakter
wanita di shoujo-manga[2]
koleksiku. Dan, tunggu saja jika usahaku ini berkembang menjadi waralaba! Tak
ada yang bisa mengejekku lagi sebagai pengangguran tingkat kakap. Aku tersenyum
puas saat membayangkannya.
“Bang, pentolnya, dong.” Seorang
anak gendut berseragam merah putih melambai-lambaikan selembar uang sepuluh
ribuan persis di depan wajahku yang sedang melamun.
Sialan.
Aku menggerutu, mendengus kesal, lalu pura-pura tidak mendengar perkataannya
tadi. Dia pikir, aku tertarik dengan uang leceknya itu, hah?
“Bang, butuh duit nggak, sih?!” anak
itu kembali berulah, kini ia malah mengambil paksa manga shoujo keluaran
terbaru yang sedang kubaca.
Aku menghela napas panjang.
Menelusuri wajah bulatnya dan berpikir betapa kenyangnya aku jika bisa
melumatnya saat itu juga. Sebelum anak gendut itu kembali berkata-kata, aku
lebih dulu berteriak, “Kau pikir?” sekali lagi, kutarik napasku, menahan dadaku
yang serasa ingin pecah ini sedikit sulit. “Kau pikir, aku ini abang tukang
pentol?!” kusembur dia dengan luapan laharku yang menggelegar.
Anak itu malah memasang wajah
bengong, kemudian terbahak hebat. Aku semakin muntab! Siang-siang terik seperti
ini, Tuhan tega-teganya mengirim setan bulat untuk menguji kesabaranku.
Kunyalakan kipas angin kecil yang kubawa dari rumah, lalu kusesap es jeruk yang
kubeli di kedai depan. Ya, konsep bisnisku ini memang outdoor. Dan aku tidak jualan pentol seperti yang dipesan anak
sialan itu!
Sebuah lagu ceria dari One Ok Rock
terdengar nyaring. Kurogoh saku celanaku yang juga bergetar. Aku terbelalak
melihat dari siapa panggilan masuk itu. Mama.
“Ma…?” aku mengernyit, berpikir apa
salahku sampai-sampai mama menelponku. Selalu ada sesuatu yang tidak beres jika
mama menelponku seperti ini.
“Van, kamu masih inget, kan? Nanti
malam mau nganterin mama ketemu sahabat mama?” suara mama di seberang terdengar
sangat ceria. Sesekali suara cekikikan tersembul di antara ocehan riang mama
yang mengatakan, sahabatnya itu juga akan membawa anak perempuannya. Cantik.
Seorang designer, hebat dan pernah
sekolah di Paris! Sampai hapal aku dibuatnya.
Seminggu
terakhir ini, hanya itu yang mama bicarakan. Tidak di ruang makan, di balkon
saat aku sedang uring-uringan, bahkan ketika aku sedang terbirit-birit kebelet
pipis pun, mama selalu berkoar-koar tentang anak gadis temannya yang cantik.
Ah, aku jadi penasaran secantik apa dia.
“Van, Ivan?” suara mama
mengembalikanku dari kenangan-seminggu-lalu yang membosankan itu. “Awas ya, kalau kamu
nggak pulang sebelum maghrib! Kamu itu gimana sih, seharusnya bos itu nggak
usah panas-panasan. Buat apa coba punya karyawan kalau masih ikut kerja seperti
itu. Kalau kulitmu berubah jadi seperti arang baru tahu rasa. Oh iya dan…”
Kumatikan ponselku cepat-cepat
sebelum telingaku putus karena omelan mama yang nggak guna banget!
“Bang, buruan…”
Ya Tuhan… ternyata setan bulat ini
belum pergi juga. Kuelus-elus dadaku dengan ritme yang cepat dan merapal
istighfar berulang. “Ndre, layanin dia, gih. Gue mau siap-siap pulang.” Andre
langsung manyun mendengar titahku. Apa-apaan anak itu? Aku kan bosnya! Hah,
begitulah kalau mempekerjakan teman sendiri sekaligus pemalas seperti dia.
Pegawaiku yang luar biasa rajin dan sering mengingatkanku dan Andre yang
sama-sama pemalas itu sedang tidak masuk hari ini. Jadilah kita partner-pemalas
yang luar biasa cocok. Ekor mataku menangkap langkah gontai Andre yang
mendekati anak kecil itu.
“Mau tempura[3]
atau takoyaki[4],
Dek?” Andre mencoba tersenyum, beramah tamah dengan pelanggan cilik kami.
“Pentol,” jawab anak itu lugu. Aku
terpingkal melihat Andre melotot kaget saat mendengar jawaban setan bulat itu.
Sebelum aku ikut pusing dengan permintaan anak kecil itu, lebih baik aku ke barber shop untuk merapihkan rambutku.
Biasanya mama memberi tambahan uang jajan kalau aku tidak membuatnya malu di
hadapan teman-temannya.
Sepanjang jalan menuju barber shop, dengan deru motor yang
kulajukan cepat, aku berpikir menambah menu pentol pada gerai takoyaki dan
tempuraku. Meski hal itu, tentu saja melenceng jauh dari prioritas utamaku yang
ingin membidik para pemuja gengsi di millennium ini sebagai sasarannya.
Bukankah orang-orang zaman ini tidak makan untuk sekedar memuaskan perutnya?
Mereka mengenyangkan gengsinya juga, bukan?
♡
“Ma, kenapa sih pake ngajak Ivan
segala,” aku sedikit kesal juga karena mama menyeret-nyeretku seperti buronan
yang baru tertangkap. Sekarang ini, kami sudah sampai di kafe tempat mama dan
temannya janjian. Jalanan macet dan kami terlambat tiga puluh menit. Tadi di
mobil, mama berulang kali menelpon temannya untuk meminta maaf. Langkah mama
yang terbalut gaun ungu itu menjadi lebar-lebar.
“Nah,
itu teman mama. Lihat deh, Van, anaknya. Cantikkan? Namanya Sakura.”
Aku menatap ke arah telunjuk mama
mengarah. Seorang gadis muda bergaun putih anggun, langsung menarik
perhatianku. Rambut lurus panjangnya dibiarkan tergerai. Indah sekali. Aku
terbelalak melihat bibirnya yang merah merekah seperti mawar. Luar biasa sekali
ciptaan Tuhan yang satu ini. Aku bahkan berani bertaruh, jika aroma rambutnya
juga pasti manis seperti sakura.
Ah, tak sabar aku segera berkenalan
dengan gadis itu. Kuapit lengan mama erat-erat dan berbisik agar mama
mempercepat langkahnya. Di dekat Sakura, aku pasti sedang berada di nirwana!
Semakin dekat dengan gadis itu, ada
desir aneh yang tiba-tiba terasa di jantungku. Eh? Gadis itu… sepertinya aku
pernah melihatnya. Tapi di mana, ya? Sakura memandangku dan mama bergantian.
Bola matanya indah sekali!
Saat kami sudah berada di
hadapannya, mata Sakura malah tertumbuk pada benda yang diapit lengan kiri
mama. Aku menoleh, melihat apa yang sedang diperhatikannya. Oh, tas Louis
Vitton berwarna marun pemberian dariku saat mama ulang tahun, tahun lalu. Aku tersenyum
bangga.
Eh? Apa tadi? Louis … Vitt-ton? Aku
tercekat. Menatap takut-takut bola mata indah Sakura yang kini seperti hendak
menelanjangiku.
“K… kau…?” dengan senyum getir,
kucoba menyapa Sakura ramah. Tapi Sakura masih menghunjamku dengan tatapannya
yang kini mengiris-iris urat maluku.
“Kau yang menjambret Louis
Vittonku!” suara datar Sakura, sempurna membuat jantungku merosot bebas di
lantai kafe. Terbayang kejadian tahun lalu, bersama Andre, di sebuah mall.
Terbayang juga uang jajan tambahan yang melayang, melambai-lambai.
Zulfa Rahmatina (@Zulfaiiry), naskah
dengan tema ‘Pencuri’ ini diikutsertakan dalam event mingguan yang diadakan
oleh @KampusFiksi.
0 komentar