Louis Vuitton #CeritaPencuri

By Zulfa Rahmatina - 5:03 PM


Louis Vuitton
By : @Zulfaiiry

            Memalukan. Satu kata yang membuat dua tahun terakhirku ini menjadi memilukan. Seharusnya, orang-orang bermulut besar itu tidak usah mencampuri hidup orang lain. Ya, termasuk juga hidup seorang pengangguran, lulusan manajemen bisnis luar negeri sepertiku ini. Baiklah, kuulang pernyataanku agar lebih jelas. Lulusan, D3 manajemen bisnis, dari luar negeri, yang hanya menjadi pengangguran dan memutuskan mengisi hari-harinya dengan membaca manga[1] dan bermain game online.
            Menggelikan. Ya, aku tahu itu konyol. Tapi lihatlah aku dan bisnisku sekarang. Meski masih setaraf dengan pedagang kaki lima yang lain, aku tidak memakai gerobak dan tempatku berjualan tak ada seekorpun lalat! Pengunjung yang datang juga bukan tukang parkir atau tukang sapu jalanan. Yah, hanya ‘sekedar’ pria-pria berjas, wanita karir, mahasiswa dan juga SPG yang terkadang, kecantikannya masih di bawah karakter wanita di shoujo-manga[2] koleksiku. Dan, tunggu saja jika usahaku ini berkembang menjadi waralaba! Tak ada yang bisa mengejekku lagi sebagai pengangguran tingkat kakap. Aku tersenyum puas saat membayangkannya.
            “Bang, pentolnya, dong.” Seorang anak gendut berseragam merah putih melambai-lambaikan selembar uang sepuluh ribuan persis di depan wajahku yang sedang melamun.
            Sialan. Aku menggerutu, mendengus kesal, lalu pura-pura tidak mendengar perkataannya tadi. Dia pikir, aku tertarik dengan uang leceknya itu, hah?
            “Bang, butuh duit nggak, sih?!” anak itu kembali berulah, kini ia malah mengambil paksa manga shoujo keluaran terbaru yang sedang kubaca.
            Aku menghela napas panjang. Menelusuri wajah bulatnya dan berpikir betapa kenyangnya aku jika bisa melumatnya saat itu juga. Sebelum anak gendut itu kembali berkata-kata, aku lebih dulu berteriak, “Kau pikir?” sekali lagi, kutarik napasku, menahan dadaku yang serasa ingin pecah ini sedikit sulit. “Kau pikir, aku ini abang tukang pentol?!” kusembur dia dengan luapan laharku yang menggelegar.
            Anak itu malah memasang wajah bengong, kemudian terbahak hebat. Aku semakin muntab! Siang-siang terik seperti ini, Tuhan tega-teganya mengirim setan bulat untuk menguji kesabaranku. Kunyalakan kipas angin kecil yang kubawa dari rumah, lalu kusesap es jeruk yang kubeli di kedai depan. Ya, konsep bisnisku ini memang outdoor. Dan aku tidak jualan pentol seperti yang dipesan anak sialan itu!
            Sebuah lagu ceria dari One Ok Rock terdengar nyaring. Kurogoh saku celanaku yang juga bergetar. Aku terbelalak melihat dari siapa panggilan masuk itu. Mama.
            “Ma…?” aku mengernyit, berpikir apa salahku sampai-sampai mama menelponku. Selalu ada sesuatu yang tidak beres jika mama menelponku seperti ini.
            “Van, kamu masih inget, kan? Nanti malam mau nganterin mama ketemu sahabat mama?” suara mama di seberang terdengar sangat ceria. Sesekali suara cekikikan tersembul di antara ocehan riang mama yang mengatakan, sahabatnya itu juga akan membawa anak perempuannya. Cantik. Seorang designer, hebat dan pernah sekolah di Paris! Sampai hapal aku dibuatnya.
Seminggu terakhir ini, hanya itu yang mama bicarakan. Tidak di ruang makan, di balkon saat aku sedang uring-uringan, bahkan ketika aku sedang terbirit-birit kebelet pipis pun, mama selalu berkoar-koar tentang anak gadis temannya yang cantik. Ah, aku jadi penasaran secantik apa dia.
            “Van, Ivan?” suara mama mengembalikanku dari kenangan-seminggu-lalu  yang membosankan itu. “Awas ya, kalau kamu nggak pulang sebelum maghrib! Kamu itu gimana sih, seharusnya bos itu nggak usah panas-panasan. Buat apa coba punya karyawan kalau masih ikut kerja seperti itu. Kalau kulitmu berubah jadi seperti arang baru tahu rasa. Oh iya dan…”
            Kumatikan ponselku cepat-cepat sebelum telingaku putus karena omelan mama yang nggak guna banget!
            “Bang, buruan…”
            Ya Tuhan… ternyata setan bulat ini belum pergi juga. Kuelus-elus dadaku dengan ritme yang cepat dan merapal istighfar berulang. “Ndre, layanin dia, gih. Gue mau siap-siap pulang.” Andre langsung manyun mendengar titahku. Apa-apaan anak itu? Aku kan bosnya! Hah, begitulah kalau mempekerjakan teman sendiri sekaligus pemalas seperti dia. Pegawaiku yang luar biasa rajin dan sering mengingatkanku dan Andre yang sama-sama pemalas itu sedang tidak masuk hari ini. Jadilah kita partner-pemalas yang luar biasa cocok. Ekor mataku menangkap langkah gontai Andre yang mendekati anak kecil itu.
            “Mau tempura[3] atau takoyaki[4], Dek?” Andre mencoba tersenyum, beramah tamah dengan pelanggan cilik kami.
            “Pentol,” jawab anak itu lugu. Aku terpingkal melihat Andre melotot kaget saat mendengar jawaban setan bulat itu. Sebelum aku ikut pusing dengan permintaan anak kecil itu, lebih baik aku ke barber shop untuk merapihkan rambutku. Biasanya mama memberi tambahan uang jajan kalau aku tidak membuatnya malu di hadapan teman-temannya.
            Sepanjang jalan menuju barber shop, dengan deru motor yang kulajukan cepat, aku berpikir menambah menu pentol pada gerai takoyaki dan tempuraku. Meski hal itu, tentu saja melenceng jauh dari prioritas utamaku yang ingin membidik para pemuja gengsi di millennium ini sebagai sasarannya. Bukankah orang-orang zaman ini tidak makan untuk sekedar memuaskan perutnya? Mereka mengenyangkan gengsinya juga, bukan?
            “Ma, kenapa sih pake ngajak Ivan segala,” aku sedikit kesal juga karena mama menyeret-nyeretku seperti buronan yang baru tertangkap. Sekarang ini, kami sudah sampai di kafe tempat mama dan temannya janjian. Jalanan macet dan kami terlambat tiga puluh menit. Tadi di mobil, mama berulang kali menelpon temannya untuk meminta maaf. Langkah mama yang terbalut gaun ungu itu menjadi lebar-lebar.
“Nah, itu teman mama. Lihat deh, Van, anaknya. Cantikkan? Namanya Sakura.”
            Aku menatap ke arah telunjuk mama mengarah. Seorang gadis muda bergaun putih anggun, langsung menarik perhatianku. Rambut lurus panjangnya dibiarkan tergerai. Indah sekali. Aku terbelalak melihat bibirnya yang merah merekah seperti mawar. Luar biasa sekali ciptaan Tuhan yang satu ini. Aku bahkan berani bertaruh, jika aroma rambutnya juga pasti manis seperti sakura.
            Ah, tak sabar aku segera berkenalan dengan gadis itu. Kuapit lengan mama erat-erat dan berbisik agar mama mempercepat langkahnya. Di dekat Sakura, aku pasti sedang berada di nirwana!
            Semakin dekat dengan gadis itu, ada desir aneh yang tiba-tiba terasa di jantungku. Eh? Gadis itu… sepertinya aku pernah melihatnya. Tapi di mana, ya? Sakura memandangku dan mama bergantian. Bola matanya indah sekali!
            Saat kami sudah berada di hadapannya, mata Sakura malah tertumbuk pada benda yang diapit lengan kiri mama. Aku menoleh, melihat apa yang sedang diperhatikannya. Oh, tas Louis Vitton berwarna marun pemberian dariku saat mama ulang tahun, tahun lalu. Aku tersenyum bangga.
            Eh? Apa tadi? Louis … Vitt-ton? Aku tercekat. Menatap takut-takut bola mata indah Sakura yang kini seperti hendak menelanjangiku.
            “K… kau…?” dengan senyum getir, kucoba menyapa Sakura ramah. Tapi Sakura masih menghunjamku dengan tatapannya yang kini mengiris-iris urat maluku.
            “Kau yang menjambret Louis Vittonku!” suara datar Sakura, sempurna membuat jantungku merosot bebas di lantai kafe. Terbayang kejadian tahun lalu, bersama Andre, di sebuah mall. Terbayang juga uang jajan tambahan yang melayang, melambai-lambai.

            Zulfa Rahmatina (@Zulfaiiry), naskah dengan tema ‘Pencuri’ ini diikutsertakan dalam event mingguan yang diadakan oleh @KampusFiksi.
           


[1] Komik
[2] Gadis-komik
[3] Sayuran atau ikan yang digoreng dengan tepung
[4] Jajanan yang berbentuk bola tepung berisi gurita yang dipanggang.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar