Perjalanan Menemukan

By Zulfa Rahmatina - 9:52 AM



Jika akhirnya aku menikah, itu adalah awal mula dari sebuah proses yang kami buka kuncinya pada tanggal 7 November 2020. Sabtu, sore hari kala itu. Ia datang berdua saja bersama seorang ustadz. Di hari-hari di mana aku sebagai mahasiswa profesi, tengah sibuk mempersiapkan seminar proposal penelitianku.

“Gimana pandangan Mbak soal feminisme?”
Aku tersentak. Pertanyaan itu sama sekali tidak kubayangkan akan terlontar dalam sesi yang kami lalui sore itu. Kulirik sebentar sosok di depanku, yang ternyata juga melakukan hal sama. Lekas-lekas pula kami saling membuang muka. Aku meremas-remas gelas air mineral yang sepanjang pertemuan kumainkan untuk sekadar mengurangi kecanggunganku. Kusedot perlahan beberapa tegukan sembari memikirkan jawaban yang tepat, tapi otakku juga memikirkan hal lain. Maksudku, dia bahkan belum tahu kekurangan dan kelebihanku, hal-hal yang kusukai dan apa-apa saja yang kubenci, apakah aku bisa memasak, atau apa aku sangat payah dalam urusan domestik.

Dia juga belum bertanya apa yang kulakukan di waktu luang, saat akhir pekan, atau bagaimana caraku meregulasi emosi dan menyelesaikan suatu masalah. Sebelum pertanyaan tadi terlontar, selain hal-hal prinsip, pertanyaan yang kutujukan padanya baru seputar sosoknya, seperti bagaimana keluarganya, ibadahnya, apakah terdapat riwayat penyakit fisik maupun mental, atau kenapa ia mengambil pilihan-pilihan sebagaimana tertulis dalam CV tanpa nama dan tanpa foto yang dikirimkan ustadz kepada masing-masing kami tempo hari.

Dari hal-hal itu, meski mungkin saja beliau tidak sadar, aku banyak sekali mendapat kesimpulan tentang bagaimana sosok yang baru kutemui tersebut melakukan problem solving, coping strategi yang dia miliki, termasuk apa-apa saja yang dia prioritaskan dalam menjalankan hidup ini. Hanya saja sejauh detik yang sudah kami lalui, dia hampir-hampir tidak bertanya tentangku sebagai personal. Tetapi lebih kepada pemikiranku, caraku memandang sesuatu, dan bagaimana aku bersikap terhadap hal tertentu. Kuketahui kemudian, dia bahkan tidak mencari sosial mediaku. Apalagi mengetik namaku pada mesin pencari—seperti yang dilakukan teman-temanku yang dengan rasa ingin tahu besar menelusuri namanya ketika aku baru saja menyebar kabar baik itu.

Alasannya, sedikit gombal, tapi dia berkata akan siap menerimaku apa adanya. Segala hal tentangku, yang terbentuk dari pengalaman hidupku yang sungguh berliku, akan ia usahakan untuk melapangkan hatinya agar bisa menyesuaikannya denganku kelak. Tapi, tidak pada pemikiranku, prinsip, dan idealisme yang kuyakini. Karena itulah, dia lebih mengejarku untuk memutar otak ketika segala hal yang dia tanyakan nyatanya membuatku harus benar-benar mengatur diri sebelum mengungkapkan kata demi kata yang kemudian meluncur dari bibirku.

Setelah hari itu, aku sering berpikir jika takdir berjalan dengan begitu unik dan lucu. Kami seolah-olah diperjalankan tanpa pernah ada kesempatan untuk bersinggungan. Ketika aku menapak jalan ke arah Barat, dia bergegas menuju Timur dengan keyakinan dan tekad yang kuat. Ketika aku masih sibuk bermain-main di darat, dia melesat di udara, singgah dari satu tempat ke lain tempat. Rasanya mustahil untuk bertemu, apalagi menyatu. Tapi itu hanya persangkaan kami saja, kan?

Nyatanya di suatu garis waktu, kami sama-sama diperjalankan takdir pada satu titik temu. Mudah saja ceritanya. Lewat dering ponsel awal bulan ke nomor ayahku, perbincangan singkat mengenai diri kami masing-masing, lalu doa-doa yang kami langitkan tiada henti, sebelum menjelang sepasang, bahkan sampai hari ini. Hari demi hari, skenario semesta sungguh mampu membuat kami menjadi manusia-manusia yang lugu. Karena entah bagaimana tanpa kami tahu, benang panjang itu tiba-tiba saling berkait, simpul-simpulnya mengikat dengan lebih erat. Mata kami mengerjap karena takjub, sebab betapa kami sesungguhnya sudah teramat dekat. Sedari dahulu. Tapi kami tidak menyadarinya, hingga hari itu.

Aku jadi semakin yakin. Ingin kukatakan ini pada semua orang, minimal pada teman-teman dekatku. Bahwa suatu saat nanti, akan ada seseorang yang cukup lapang hatinya untuk menilaimu tidak hanya dari sekadar rupa dan fisikmu, tapi dari seberapa bening akhlakmu. Dia tidak akan mempermasalahkan bagaimana latar belakang dan strata pendidikanmu, tapi seberapa luas ilmu dan pola pikirmu. Dia tidak berhitung tentang seberapa banyak hartamu, tapi seberapa besar potensi kebermanfaatanmu.

Kalau waktu itu datang, semoga kamu dapat menerimanya dengan baik. Sebab alasan awal untuk memulai sebuah perjalanan beriringan hanyalah kesamaan tujuan. Sementara perkara perasaan sangat mudah untuk ditata belakangan.

14 November 2020. Ia kembali datang, sepekan dari pertemuan pertama kami. Bersama keluarganya yang menyenangkan. Malam itu, setelah ratusan doa terpanjat dalam rakaat demi rakaat istikharah kami, khitbah ditunaikan.

_
Terima kasih ya, suamiku. 20 Desember 2020 hingga hari ini. Terima kasih untuk dua pekan menakjubkan bersamamu, untuk kesediaan menghapus tangis dan mencipta tawaku, untuk kelapangan hati menerima salah dan kurangku, untuk peluk ternyaman dan tempat pulang teraman dalam hidupku. Semoga kita bisa selalu bersama-sama meraih ridho-Nya, bergandengan tangan dan saling menguatkan hingga langkah menapak syurga. Semoga dengan bersama, kita semakin mampu menjadi mukmin yang bertaqwa, berdaya, dan bermanfaat lebih untuk ummat.


*) ditulis saat dua pekan pernikahan.

  • Share:

You Might Also Like

2 komentar