Assalamualaikum
teman-teman. Kali ini adalah rangkuman sesi terakhir Mulazamah Online yang saya
ikuti. Honestly, saya terlambat masuk kelas karena tidak tahu jika kelas kali
itu qodarullah dimajukan. Saya justru baru tahu ketika di jam biasa kelas
dibuka, saya mendapati link zoom tercatat bahwa kelas dibuka satu jam lebih
awal dan ketika bergabung Ustadz sudah mulai menerangkan. Jadi, tidak banyak
yang bisa saya dapatkan. Tetapi semoga yang sedikit ini dapat kita terapkan
dalam keseharian dan menjadi sebuah kebaikan yang berkesinambungan. Pertemuan terakhir
ini membahas mengenai Fiqih Persatuan.
Berikut beberapa kaidah persatuan yang saya catat:
1. Perselisihan di antara orang-orang Islam adalah sunnah kauniyah.
2. Orang-orang di tubuh orang2 kafir adalah sunnah kauniyah, artinya pasti terjadi, dalilnya kalau kita lihat dalam sirah pernah terjadi dalam perang hizb, atau perang khandaq, di mana dalam QS. Al Anfaal: 73, Allaah berfirman:
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.”
3. Persatuan di tubuh ummat Islam adalah sunnah syar’iyyah—kita tidak akan mungkin bisa menang/menegakkan agama ini kecuali kita mengusahakan persatuan. Maka tidak akan terwujud suatu kemenangan, jika kita tidak bersatu. Dalilnya terdapat di QS. Ali Imran: 103:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
Juga
dalam QS. Asy Syuro:13 yang merupakan syariat agar tidak berpecah belah. Syariat
ini tidak hanya syariat Nabi Muhammad, tetapi juga syariat nabi-nabi sebelumnya
Perbedaan
Itu Fitrah
Perbedaan itu merupakan keniscayaan. Bahkan malaikat pun pernah berselisih paham dan berbeda pandangan ketika seorang pendosa yang sedang akan bertaubat meninggal di tengah perjalanannya. Ketika itu, malaikat adzab dan malaikat rahmat saling berebut untuk mencatat amal yang menjadi penentu apakah pemuda pembunuh 100 jiwa tersebut akan mendapat jannah atau kekal di jahannam.
Perbedaan juga tidak hanya dialami malaikat. Bahkan manusia semulia Nabi pun pernah berselisih, ketika Nabi Musa pergi selama 40 hari dan pulang-pulang ummatnya telah menyembelih sapi samiri. Juga kisah ketika Nabi Daud dan Nabi Sulaiman berbeda pendapat. Ketika itu, Nabi Daud didatangi seorang rakyatnya yang mengeluh, “Sesungguhnya aku ini punya kebun dan kebunku baru dimakan oleh kambingnya si fulan,” Maka Nabi Daud memberi keputusan agar kambing si fulan tersebut diberikan kepada pemilik kebun sebagai ganti rugi. Lalu Nabi Sulaiman as berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku, bukan begitu caranya. Biarkan pemilik kambing itu menukar tanaman yang telah diambil kambing tersebut, dan agar si pemilik tidak kehilangan peliharaannya,”
Sahabat juga pernah berselisih,
misalnya ketika Maiz bin Malik datang kepada Rasulullah dengan perasaan
menyesal karena dia ingin berzina kepada seorang wanita yang bukan istrinya. Diriwayatkan
dari sahabat Buraidah, ia berkata: “Suatu ketika Maiz bin Malik datang kepada
Rasulullah SAW lalu ia berkata “wahai Rasulullah bersihkanlah aku! Rasulullah
SAW pun menjawab “apa-apaan kamu, mohon ampunlah kepada Allah, dan
bertaubatlah”, lalu Maiz pun kembali mendekat kepada Rasulullah SAW seraya
berkata, “Wahai Rasulullah, bersihkanlah aku”
Rasulullah SAW pun
menjawab “apa-apaan kamu, mohon ampunlah kepada Allah dan bertaubatlah”, Maiz
pun kembali mendekat lagi dan berkata, “Wahai Rasulullah bersihkanlah aku”,
Rasulullah pun menjawab kembali “apa-apaan kamu, mohon ampunlah kepada Allah
dan bertaubatlah, sampai pada kali keempat Maiz mengulang perkataannya
tersebut, Rasulullah SAW pun bertanya, dari apa aku harus membersihkanmu?
Maiz pun menjawab, dari dosa zina wahai Rasulullah, kemudian Rasulullah SAW pun bertanya kepada para sahabat yang ketika itu hadir, “apakah dia gila?”, merkapun menjawab, “tidak wahai Rasul”, Rasulullah SAW kembali bertanya, “apakah ia sedang mabuk?” lalu salah seorang sahabat maju mendekati Maiz untuk mencium aroma bau mulutnya, dan ternyata tidak tercium bau minuman, lalu Rasulullah SAW kembali bertanya kepada Maiz, “apakah engkau benar-benar telah berzina?”
Maiz pun menjawab “ya wahai Rasulullah” maka Rasulullah SAW
memerintahkan beberapa sahabat untuk membawanya dan melaksanakan hukuman rajam
kepadanya. Setelah kejadian itu para sahabat terbagi menjadi dua kelompok,
sebagian ada yang mencela Maiz karena kesalahannya, dan sebagian lagi ada yang
memujinya karena kesungguhannya dalam bertaubat, hingga pasca dua hari kejadian
tersebut Rasulullah SAW mendatangi para sahabat dan meminta mereka untuk
memohonkan ampun bagi Maiz, seketika itu para sahabat pun berkata “semoga Allah
mengampuni Maiz”, kemudia Rasulullah SAW pun berkata “ tidak ada pertaubatan yang
lebih baik dari taubatnya Maiz, seandainya taubatnya digunakan untuk seluruh
penduduk Madinah, niscaya itu sudah mencukupi” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud,
Ibnu Majah)
Hikmah yang bisa kita tarik dari hal ini adalah keniscayaan fitrah perbedaan, bahwa para sahabat ra, ummat terbaik dari Rasulullah pun pernah berselisih pendapat.
Tidak
cukup sampai di situ, bahkan Nabi pun pernah berselisih pendapat dengan para
sahabat dalam peristiwa Fathul Makkah. Di mana sebelum masuk Makkah, Nabi
mengumumkan nama-nama orang munafik yang harus ditangkap. Rasul memerintahkan
agar para sahabat ketika bertemu dengan Abdullah bin Saad bin Abi sarh, agar
langsung memenggal kepalanya, karena dia pernah berpura-pura masuk Islam hanya
untuk menjadi mata-mata dan menggambar peta Madinah. Abdullah adalah seorang
munafik padahal dia sangat disenangi Rasulullah karena pandai menulis.
Dalam Sunan Abi Daud, Utsman bin Affan Radhiallahu ‘Anhu
memberikan pembelaan kepada Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh. Berikut ini
riwayatnya:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
كَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعْدِ بْنِ أَبِى سَرْحٍ يَكْتُبُ لِرَسُولِ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- فَأَزَلَّهُ الشَّيْطَانُ فَلَحِقَ بِالْكُفَّارِ فَأَمَرَ
بِهِ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُقْتَلَ يَوْمَ الْفَتْحِ
فَاسْتَجَارَ لَهُ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ فَأَجَارَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم-.
Dari Ibnu Abbas, dia berkata:
Dahulu Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh menuliskan wahyu untuk Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu syetan menggelincirkannya sampai dia kafir.
Maka, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk membunuhnya
pada hari Fathul Makkah, namun Utsman meminta pembebasan baginya, lalu Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun membebaskannya. (H.R. Abu Daud No. 4360.
Syaikh Al Albani menyatakan hasan) Dalam Usudul Ghabah, juga disebutkan bahwa
Ibnu Abi Sarh ini diberikan jaminan oleh Utsman Radhiallahu ‘Anhu. (Imam Ibnul
Atsir, Usudul Ghabah, 1/455)
Bagaimana
kamu akan bersikap, ketika orang yang paling kamu cintai, membela orang yang
paling kamu benci? Ketika Utsman, saudara sepersusuan Abdullah membela Abdullah,
keadaan sangat hening, bahkan digambarkan oleh para sahabat jika daun jatuh pun
saat itu akan terdengar sangat nyaring. Alla kulli haal, Rasul memberi maaf
pada Abdullah bin Sarh, sehingga kelak dia kembali menjadi muslim yang baik.
Perselisihan
dan perbedaan merupakan fitrah. Sebagaimana potensi, yang juga berbeda-beda
seperti disebutkan dalam QS. Al Lail:4 dan QS. Al Isra: 84, “"Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya
masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar
jalannya.”
Kaidah
yang Harus Diperhatikan dalam Persatuan
1.
Pastikan
bahwa semua bentuk ukhuwah (perkumpulan, persyarikatan, dll) kita harus
dibangun di atas dasar keimanan
Allah
swt menyebutkan ukhuwah yang dibangun atas dasar keimanan itu akan kekal sampai
surga. Para kekasih di hari kiamat akan menjadi musuh illal muttaqin,
kecuali orang-orang yang menyandarkan persahabatannya atas dasar
ketaqwaan/keimanan (Az-Zukhruf: 67). Juga pelajaran dari persahabatan Ubay yang
salah menjalin ukhuwah dengan Utbah yang meletakkan kotoran-kotoran di atas
tubuhnya Rasulullah. Sehingga turun QS. Al Furqan: 28, “Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak
menjadikan sifulan itu teman akrab(ku)”
2.
Persatuan
itu bersatu pada hal-hal yang disepakati
Di kitab ‘Hal-hal prinsip dan hal-hal yang boleh beda’, yang paling penting dalam persatuan adalah, menyepakati hal-hal yang sama. Lima unsur yang harus kita penuhi dalam poin ini adalah:
- Kita harus sama-sama mengakui referensi yang jelas, yakni Al Quran dan sunnah
- Kelompok-kelompok yang kita bersatu padanya harus mengikuti ijma’/consensus/kesepakatan para ulama dan kaum muslimin
- Harus memegang teguh akidah al walaa dan bara’ (loyalitas kepada orang-orang yang beriman—mencintai karena Allah dan membenci karena Allah, dan berlepas diri dari orang-orang kafir)
- Kita memiliki musuh bersama—syaithan.
- Menjunjung tinggi tolong-menolong dalam hal-hal yang disepakati, dan berlapang dada pada hal-hal yang menimbulkan perselisihan [khilafiyah]
3.
Agar
terwujud persatuan, ketika ingin bersatu harus memahami fiqih ikhtilaf
Kita harus meyakini perbedaan kita dengan kawan kita
- Meyakini bahwa hanya Rsulullah saja yang maksum dan terjaga dari kesalahan sedang yang lainnya tidak. Karena itu kita harus banyak berlapang dada
- Kita harus bertasawuf, berlapang dada dalam perkara-perkara yang diperselisihkan (misalnya perkara qunut, atau pilkada dan berbeda pilihan)
- Bertasawuf pada hal-hal yang diikhtilafkan, perbedaan di kalangan sahabat itu sangat tajam, tapi ukhuwah mereka sangat hebat. Contohnya, Umar punya pendapat ketika pemuda ketahuan zina, maka dinikahkan saja, tapi Ibnu Masud beda, maka nggak boleh nikah selamanya, karena kalau mereka nikah mereka akan melanjutkan perbuatan buruknya, karena awalnya sudah buruk. Tapi kata Jabir Al Walid, ketika Umar berpisah dengan Ibnu Masud berpisah maka saling membicarakan kebaikannya
- Perbedaan pendapat yang didasari dengan ijtihad, tidak boleh menjauhkan hati kita (hati orang-orang muslimin
- Senantiasa mengadakan islah—perbaikan—jika terjadi perselisihan, segera saling memaafkan dan memiliki mediator untuk menyatukan
Maka
ukuran ukhuwah adalah laa illaaha illallah, “Engkau adalah
saudaraku, sebesar ketaatanmu kepada Allah.”
Dia
tetap berhak mendapat cinta dan kasih sayang kita sebesar ketaatannya kepada
Allah. Pada akhirnya, seperti kaidah yang sudah tertera, nata’aawanuu
fiimat-tafaqnaa ‘alaih, semoga perbedaan yang ada tidak membuat kita lantas
berselisih pada hal-hal prinsip yang telah kita sepakati ♥
0 komentar