Seorang
teman pernah bertanya tanpa nada menghina, “Apakah, orang-orang sepertimu itu,
dijamin masuk surga?”
Belum
sempat bersuara, dia sudah kembali berkata. “Dan yang seperti kami ini, pasti
masuk neraka?” dia tersenyum. Dengan senyum yang membuatku ngilu sekaligus
kelu.
“Padahal
yang aku lihat, orang-orang dari golonganmu itu, mereka telah masuk dalam
kategori munafik yang disebutkan Rasul kita,”
Dengan
dada yang berdebar semakin kencang, aku tidak dapat sedikitpun membuka mulutku
bahkan untuk sekadar bertanya mengapa.
Dia
kembali tersenyum. Jilbab pendeknya bergoyang diterbangkan angin.
“Menjaga
hati? Huh,” lagi-lagi, temanku ini melempar senyum. Matanya berkilat-kilat dan membuatku
menunduk lebih dalam. “Yang ada, pergaulan mereka dengan lelaki malah lebih
mengerikan daripada kami. Mata-mata mereka, hati-hati mereka, ponsel-ponsel
dengan jejaring sosial yang dipenuhi setan…”
Hati…
lagi-lagi masalah hati. Ingin rasanya aku menampar saudaraku ini dan membungkam
mulutnya agar berhenti bicara, tidak semua yang dia katakan benar. Tidak semua
yang dilakukan teman-teman akhwatku seperti itu… tidak semua…
“Tidak
semua,” seakan hendak menenangkanku, dia menyodorkan minuman kaleng yang
dibelinya tadi di sebuah minimarket. “Aku tahu tidak semuanya seperti itu. Tapi
apa maksudnya?” dia sengaja memutus katanya.
“Mengharamkan
musik, menolak nasyid-nasyid yang bermusik, tapi mendengarkan lagu-lagu Arab yang
musiknya jauh lebih kencang,” dia tertawa. Dengan tawa yang mampu menyayat
kerongkonganku.
“Mengatakan
kebersihan adalah sebagian dari iman, tapi membiarkan bau busuk dari kaos
kaki-kaos kaki mereka mencemari udara. Lalu bau badan mereka meresahkan
sekitar. Tawa-tawa keras mereka saat membicarakan lawan jenis, terdengar begitu
membosankan. Kalau begitu, di mana iman?”
“C’mon,
guys! Menutup rapat tubuhnya hingga muka, memakai kaos kaki dan manset. Menunduk
saat berjalan. Tapi hati-hati mereka… terbuka dengan lebarnya. Untuk pesan-pesan
genit pada banyak lelaki, untuk tawa manja, untuk keluh yang seharusnya bisa
saja tidak diruahkan pada kaum lainnya. Untuk… foto-foto yang menyisakan dua
kelopak mata yang mengerling. Untuk apa? Semua itu untuk apa?”
Aku
semakin ternganga. Kata-kata manis yang biasanya sangat mudah kurangkai,
menguap entah ke mana.
“Stereotype.”
Checkmate.
Aku menyerah. Aku benar-benar tak mampu berkata-kata, sekadar untuk memberikan
pemahaman yang baik kepada temanku ini. Dia selalu mengamati, menganalisa, dan
bersikap teliti, lebih dariku. Tentu saat berkata, tentu saat mengungkapkan itu
semua, adalah murni ruah rasa yang menyesakkan dadanya, tanpa niat membuat
hatiku terluka.
Lagi-lagi
senyum itu terkembang. Masih teduh, seperti biasanya. Dia merangkulku, matanya
menatap lurus jauh ke depan. “Tidak usah dijawab. Biar mereka sendiri yang
memberikan jawaban kepada ummat…”
♥
“Takut.
Kami takut.” Seorang ibu rumah tangga, yang sedang menyuapi balitanya dengan
bubur ayam yang baru dibelinya, dengan terang mengungkapkan hal itu pada kami.
“Kalian
hanya menatap kita dengan tajam, seolah kita-kita ini adalah makhluk asing dari
planet lain yang tidak boleh hidup bersama kalian. Membawa virus, atau… ah…”
“Ibu…”
aku dengan seorang temanku, saling berpegangan tangan dengan erat saat ibu itu
bahkan belum menyelesaikan kata-katanya.
Sang
ibu tersenyum. “Padahal, sering kudengar. Seharusnya, yang muda kepada yang
lebih tua, yang berjalan kepada yang duduk, yang berkendara pada yang jalan. Bukankah
benar begitu?”
Kami
mengangguk. Hadits dari Abu Hurairah itu, diingatnya dengan baik.
“Lalu
kalian melakukannya?” ibu itu masih menyelesaikan suapan terakhir untuk
putrinya yang sedari tadi tertawa-tawa. “Yang kulihat, hanya kepada sesamamu
lah. Kalian saling bertukar senyum dan sapa-sapa mesra. Bukankah seharusnya
juga, pada orang yang engkau kenal dan tidak kenal?”
Ibu
itu kembali mengingatkan kepada kami tentang jawaban Rasulullah ketika ditanya
perihal Islam yang baik.
“Lalu
untuk apa? Semua itu untuk apa? Menciptakan jarak? Membedakan mana penghuni
surga dan neraka?”
Kami
menggigit bibir kami kuat-kuat.
♥
“Fitrah
manusia itu, menyukai kebaikan, dan membenci keburukan.” Seorang akhwat
mengingatkan kami saat kita sedang bersama membahas tentang hadits ketiga dalam
Kitabul Jami’.
Ingatanku
melayang pada keluh orang-orang tentang kaum kami. Segolongan orang yang
seharusnya memberi tauladan. Segolongan orang yang berniat menggapai
syurga-Nya. Segolongan orang yang membanggakan manhaj yang dianutnya, yang
katanya paling benar dan berdiri di atas sunnah Rasulullah. Bah! Tiba-tiba aku muak dengan diriku
sendiri. Dengan lingkungan, juga dengan pikiran-pikiran dan sikap yang sempit.
Kenapa
harus menjadi munafik? Mengatakan kata-kata dengan ringan, jika berkhalwat itu
haram, berikhtilat itu dijauhi saja… tapi ternyata, hati-hati kita sendiri lah
yang berdarah. Bercampur nanah.
Untuk
apa mencipta jarak? Alasan kuat apa yang dipakai untuk tidak berbaur? Padahal,
bukankah, sesungguhnya mereka adalah ladang dakwah kita? Orang-orang yang
mengantar kita ke syurga? Kaum yang dapat dijadikan hujjah, saat Allah bertanya, ke manakah ilmu-ilmu kita?
Apakah
dengan menutup tubuh dengan rapat saja, itu sudah cukup membuat kita terlepas
dari tanggung jawab, dan dosa-dosa?
Apakah
dengan dalil bahwa iman-iman itu pasti akan naik dan turun, lalu membuat kita
bebas melakukan apa yang kita larang untuk kita sendiri, dengan alasan, sedang futur.
Sedang berkurang imannya. Itu adalah fitrah dan tak perlu resah???
Padahal
orang-orang melihat kita karena akhlak, bukan dari seberapa rapat kita menutup
pakaian, seberapa panjang menjulurkan khimar, seberapa tinggi mengangkat celana
di atas mata kaki, dan bukan dari seberapa banyak ilmu yang kita miliki.
Kembali
terlintas, lalu untuk apa, mendatangi kajian-kajian di berbagai tempat,
mengagendakan majlis-majlis ilmu yang bertebar, rutin menghadiri tarbiyah. Menghapal
ayat-ayat cinta-Nya dengan banyak…
Jika,
waktu-waktu kita hanya habis untuk itu. Lalu merasa cukup. Tanpa merasa memikul
tanggung jawab atas ilmu-ilmu yang semakin bertambah. Tanpa sadar, jika di luar
sana, banyak yang butuh uluran tangan dan hati kita. Tanpa ingat, ada yang akan
mempertanyakan apa yang kita perbuat, dan menuntut kita kelak di akhirat.
“Dan
apa-apa yang membuat dadamu sesak, apa-apa yang membuatmu rapat menutupi, agar
tak ada orang lain yang mengetahuinya selainmu. Apa-apa yang membuatmu merasa
terganjal. Adalah dosa…”
Kami memegang al-Qur’an kami semakin erat saat
murabbiyah mulai menerangkan dan membuat dada-dada kami bergetar.
*)
Yang menulis ini, tidak lebih baik daripada yang membaca.
Muhasabah
pagi, semoga ampunan Allah melimpahi. Semoga semakin terjaga hati-hati.
Jakarta
Selatan, Desember 2014.
2 komentar
Bagus kak tulisannya, semoga saya bisa belajar lebih tentang akhlak :)
ReplyDeleteTerima kasih sudah membaca, Fikri. Semoga bermanfaat :) aamiin. Barakallahufiyk.
ReplyDeleteSaya sudah baca blogmu jg dari link yg di-share WB. Tulisanmu juga bagus :) tapi mau komen kok gagal terus yaa :(