Belajar dari Nabil…

By Zulfa Rahmatina - 10:30 AM


 Aku tak tahu apa yang membuatku ingin menulis tentangnya. Hmm… mungkin karena keunikannya, atau karena dia adalah satu-satunya adik lelakiku? Ahh… entahlah. Yang pasti aku menulis bukan untuk mempromosikannya kepada para akhwat. (Haah? Untuk apa? Umurnya masih 11 tahun!)
Adikku ini, walaupun akhir-akhir ini selalu membuatku sebal, namun jika mengingat akan masa-masa dimana kita berdua, mau tak mau aku harus mengukir senyum untuknya.
Nabil Tajuddin, begitu Abi menamainya. Sebenarnya, dulu nama pertamanya adalah Faiz Tajuddin, tapi entah mengapa Abi menggantinya. Padahal menurutku keren yang pertamaaa… Mungkin primbonnya nggak cocok. (Hadeuh, ini mah alesan kolot)
Usianya masih balita saat ia bersama ummi sedang melihat kecebong di sebuah selokan.
 “Ummi,” katanya, “Kenapa ya, ikan bisa berenang?” Adikku bertanya penuh penasaran.
Ummi tersenyum melihat pipi gembilnya, “Karena, ikan punya sirip.” Jawab Ummi yang berharap jawaban yang beliau berikan dapat ia mengerti.
“Tapi…” Adikku menghela nafas dan melanjutkan pertanyaannya, “Manusia tidak punya sirip kok bisa berenang ya…?”
Suatu ketika, entah saat mereka sedang membicarakan apa. Kudengar lagi-lagi Adikku bertanya untuk sekedar memuaskan rasa ingin tahunya. Dan saat itu, dia masih belum menginjak usia SD!
“Ummi…” lagi dan lagi, Ummi lah yang menjadi korban. “Kenapa Allah mesti menciptakan babi kalau kemudian Ia haramkan?”
Aku melongo dibuatnya. Usiaku saat itu masih SD. Dan aku sama sekali tidak punya pikiran yang sama dengannya. Aku hanya berfikir bahwa Allah tidaklah menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Dan tanpa berfikir untuk menguak apa yang dirahasiakanNya.
Dewasa ini, aku mampu menjawab pertanyaan masa kecilnya, “Adikku,” tulisku diselembar kertas. “Ijinkan aku menjawab pertanyaan masa kecilmu.” Aku melanjutkan goresanku. “Sungguh, Allah tidak menciptakan sesuatu tanpa maksud dan tujuan. Tak ada yang sia-sia… Sungguh tak ada.” Aku menghela nafas sejenak. Berharap agar diberi kemudahan untuk menulis paragraf selanjutnya.
“Kalaupun kau menerka babi yang menjijikkan dan nggak penting itu adalah ciptaanNya yang sia-sia, kau salah. Melalui babi, Allah berharap agar kita tidak mempunyai sifat yang sama dengannya. Kau tahu bagaimana sifat Babi?” aku yakin Adikku belum mengetahuinya.
“Baiklah akan kuceritakan, dahulu aku pernah membaca, jika ada 2 ayam jantan dan 1 ayam betina dilepas, kedua ayam jantan itu pasti akan bertarung hebat untuk memperebutkan si betina yang molek mempesona, tapi tidak demikian dengan babi, Adikku yang manis… kau pasti akan terperangah jika melihat kebenaran yang sebentar lagi akan aku beritahukan padamu. Jika ada 2 babi jantan dan 1 babi betina dilepas, kedua babi jantan itu akan dengan kurang ajarnya mengatur siasat untuk bergilir menggauli si babi betina yang nelangsa… aah.. betapa menjijikkannya sifat babi. Sifat yang dewasa ini menjadi hal yang sangat sulit untuk membedakan mana manusia dan mana babi.”
“Mungkin penjelasan seperti ini akan sulit kau cerna pada waktu dimana kau menanyakannya.” Tulisku selanjutnya. “Hei, mungkinkah sampai sekarang kau tak paham juga…? Sudahlah lupakan… lupakan…” aku menyudahi tulisanku.
Ada yang menarik lagi dari seorang Nabil. Ia benar-benar sudah bisa diandalkan. Jika aku hendak bepergian di malam hari, entah itu mencari bakso atau sate bahkan mendoan (Ah apa sajalah) Abi seolah tak rela jika aku keluar tanpa ditemani Nabil. Ya, Nabil! Anak kecil itu. Adikku yang menyebalkan dan kadang kala masih suka menangis. Ckckck…
Dan aku memang merasa tenang jika ia menyertaiku. Walau aku tak paham siapa yang melindungi siapa. Yang jelas, kami akan berlari bersama-sama atau melajukan motor sekencang-kencangnya, jika ada kau-tahu-siapa (tetangga dusun yang kurang penuh  yang terkenal dengan slogan, ‘Halo ceweknya’ -red) lewat. Bukankah Rasul melarang Akhwat bersafar tanpa mahram? Kau, tahu kan, larangan itu, Kawan? Ya, dan adikku yang masih nangisan ini lah yang bersegera melaksanakan perintah Rasul.
Ada yang menarik lagi tentangnya, saat aku hanya bisa berbaring santai, menyalakan kipas, ditemani setumpuk buku tentang seluk beluk pertanian yang penuh dengan pernak-pernik perawatannya yang merumitkan.
Kadang kala aku terperangah takjub menyaksikan betapa moleknya ciptaan Tuhan, adenium yang mempesona, aggrek yang manja, bonsai yang lucu dan bebuahan yang mrnggemaskan untuk dipandang mata…
Terkadang aku mencatat takzim hal-hal yang perlu diperhatikan. Intensitas pupuk, unsur hara dan kondisi tanah, cuaca, dan hal-hal spesifik lain yang sangat perlu diperhitungkan.
Seringkali aku berencana, membuat vertikultur, menanam sayur mayur, mempunyai tanaman organik yang tumbuh subur…
Tapi… aku hanya bisa bermimpi. Ya, hanya bermimpi! Tanpa pernah memulai langsung apa yang dicitakan. Tidak pernah bergegas merealisasikan dan tidak pernah sekalipun berfikir untuk langsung menanam. Sekali lagi, aku hanya bisa membaca teori-teori pertanian yang membuatku semakin tertawan.
Sementara aku terpikat oleh teori-teori yang bergugusan membentuk rasi bintang, adikku, tolong dicatat; adikku, selalu tak tahan jika ada sebuah biji tergeletak manja di tangannya.
Ia tanam durian menjijikkan yang baru saja ia makan (maaf durianlovers, aku benar-benar phobia dengan buah satu ini), ia tanam pare, kelengkeng, mangga, rambutan, jeruk, nangka, salak, kurma, ya, kurma! Dan baru saja ia menanam buah tin yang disebutkan al-Qur’an.
Dan kau tahu, Kawan? Ia menanam tanpa pernah berpikir macam-macam. Tentang rumitnya perawatan, tentang teori-teori yang satu sama lainnya seringkali tidak berkesinambungan, dan kesemuanya yang ia tanam, ia tanam tanpa beban dan tanpa takut tidak akan tumbuh. Buktinya, semuanya tumbuh. Ya, tumbuh! Seiring bergemuruhnya tasbih yang luruh dari percik embun yang mengerling syahdu…
Tak ada kata sendu, layu dan jemu. Aku terpaku, melihat realita yang memilukan itu, adikku, selalu mendahuluiku dalam berbuat kebaikan. Walau entah ia tahu atau tidak jika hal tersebut memang dianjurkan. Aku tak dapat membayangkan jika pernyataan Amirul Mukminin dahulu, sekarang masih berlaku.
"Barang siapa menghidupkan lahan mati, ia berhak atas tanah tersebut." Aku sangat tak berani membayangkan jika Adikku, yang sekecil itu sudah dapat menjadi juragan tanah. >,<
Selagi aku bernostalgia, tunas-tunas itu dengan sialnya seolah mengejekku yang hanya bisa selalu berandai, berandai dan terus berandai. Tanpa sadar bahwa sesuatu tak akan terjadi jika kita hanya bisa berpaku tangan, menunggu keajaiban, entah sampai kapan….

  • Share:

You Might Also Like

2 komentar

  1. like-like-like tapi coba ganti font untuk tulisannya... coz, nie semakin kebawah semakin malas buat bacanya bukan karena tulisannya jelek tapi font yang berhimpit dan bentuk tulisannya yang alay... hehehe kalo gak mau ganti fontnya mungkin busa di ganti spasinya... :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu di luar kuasaku kaka. Font yang alay itu akibat otak-atikmu terhadap blogku duluuuu -___- sekarang syudah cantik kan, blog-ku? Hahaha

      Delete