Dalam perjalanan menuju Istora Senayan, di
transjakarta yang penuh, kumpulan remaja yang berdiri di belakangku berbicara
dengan sangat keras. Ah, tentu saja sangat mengganggu kenyamanan. Terlebih,
mereka kadang menyelingi canda mereka dengan tawa yang sangat memekakkan
telinga.
Gadis-gadis itu, dari pembicaraan yang tersaring di gendang telingaku,
sedang membicarakan temannya yang menunggu di halte sekian untuk berangkat ke
tempat tujuan bersama-sama.
Hingga saat bus yang kami tumpangi sampai di halte yang dimaksud, para
remaja ababil itu berteriak-teriak memanggil temannya. Bus melaju dengan
membawa penumpang yang semakin berdesakan.
“Alah, menang nama doang dia,” pembicaraan para gadis itu kembali
terbuka. Aku masih tidak peduli. Sesekali kueratkan pegangan agar
keseimbanganku yang kadang runtuh akibat laju bus ini, bisa kuminimalisir.
“Iya, menang nama doang dia di OSIS sama di Rohis. Mana wajah dia tuh
sekarang beda banget tau. Kayak ngga ada kehidupan. Hahaha ”
Rohis?
Aku tertegun. Bukan maksud menguping pembicaraan
mereka. Tapi posisiku yang berada persis di depan anak-anak itu, lalu dengan
suara mereka yang sangat keras, bukan salahku kan, jika aku ikut mendengar apa
yang mereka bincangkan?
Dari percakapan mereka yang kudengar,
mereka sedang membicarakan tentang seorang cewek—ah, akhwat—yang ‘kebetulan’
bergabung dalam Rohis. Tidak pasti apa salah akhwat itu. Tapi pembicaraan
teman-temannya jelas-jelas menyiratkan kekesalan—bahkan mungkin kebencian—yang
sangat, terhadap akhwat itu.
“Gue pake jilbab ga bener, dikatain, yang penting gue pake jilbablah…”
celetuk seseorang yang persis di belakangku. Karena penasaran dengan ‘jilbab
ngga bener’ yang dia maksud, aku menoleh.
Dan, loh… kok yang bilang tadi ngga
pake jilbab? Dalam hati, aku mengulum senyum, geli.
Dengan perjalanan yang semakin tidak nyaman karena bus semakin sesak,
aku tiba-tiba saja teringat dengan keluhan seorang teman, terhadap seorang akhwat.
Dengan menggerutu, muncullah berbagai keluhannya tentang seorang akhwat yang
qadarullah, bercadar.
Mulai dari ketidaksopanannya, ketidakbertanggung jawaban akhwat itu,
sampai meruntut pada ibadah akhwat tersebut. Dengan banyak ilmu yang dimiliki
akhwat bercadar tersebut, tentu saja seharusnya ia lebih giat mengamalkannya
daripada kami, kan?
Bukan bermaksud ghibah, dan memang hanya Allah-lah yang tahu bagaimana
kadar keimanan seseorang. Tapi melihat kepribadian akhwat yang satu ini, kami
benar-benar dibuat gerah. Dia sama sekali tidak baik dalam bermuamalah. Saya
rasa, dia memiliki masalah—kelainan—dalam hal ini.
Kami juga tidak tahu bagaimana dia, yang lagi-lagi, pengetahuannya lebih
banyak dari kami, selalu heboh jika sudah membicarakan tentang species
bercelana ngatung dan berjenggot. Tentu saja sangat menjemukan, bukan?
Berbagai macam saran dan nasihat, sudah coba kami berikan kepadanya.
Tapi, sepertinya, telinga—atau mungkin hatinya—sudah tidak berfungsi dengan
baik. Dia mengacuhkan perkataan kami, dan masih menjalani hidup ‘semau gue’.
Ukhti kita ini tidak pernah belajar dari kesalahan, dan tidak pernah bisa
menerima saran. Astaghfirullah…
Melihat fenomena ini, tentu saja saya sangat sedih. Bagaimana tidak?
Terbayang ilmu yang dimilikinya, terbuang sia-sia… juga dosanya yang menumpuk
karena dia tidak mengamalkan ilmu yang dimilikinya.
Selain itu, tanpa kita sadari, ‘citra’ seorang akhwat, lambat laun akan
menjadi buruk jika ternyata tidak hanya satu yang melakukan demikian.
Maka dalam nasihatku senja ini, Ukhti…
Tolong jagalah iffah dan izzahmu agar orang-orang tidak meremehkanmu.
Aku tahu, hatimu bersih, akalmu jernih, maka, jagalah ia agar tetap seperti itu…
Tinggikan pula rasa malumu, agar orang-orang di sekitarmu, lebih
menghormati dan menyayangimu…
Masih banyak yang ingin kukatakan, Ukhti… tapi aku tahu, jika kau pasti
lebih paham dari aku yang masih terus belajar ini. Maka kucukupkan sampai di
sini. Semoga Allah selalu merahmati diri ini, dan juga ukhti…
Note: Yang menulis catatan ini, tidak lebih baik daripada yang membaca
catatan ini :’)
Jakarta Selatan, Rajab 1435, hari-hari meniti imtihan.
Saudaramu,
Zulfa Rahmatina
0 komentar