Mulazamah #2: Membina Keluarga, Membentuk Generasi Juara

By Zulfa Rahmatina - 9:58 AM

Assalamu’alaikum teman-teman. Kali ini aku mau share materi kelas mulazamah online kedua yang diadakan pada hari Jum’at lalu. Pembicaranya adalah Ust. Abu Fatiah Al Adnani dengan tema paling diminati zoomblowan, zoomblowati, serta bujanghidaat dan bujanghidiin nih hehe, yakni, ‘Membina Keluarga, Membentuk Generasi Juara’.

 


Qodarullah karena terkendala koneksi internet (kadang koneksi Ustadz yang jelek, kadang-kadang juga aku, hehe), aku merasa kurang maksimal menyimak mulazamah kali ini dan hanya bisa menangkap sedikit materi, sayang sekali. Tapi tidak apa-apa. Semoga ada sedikit kebaikan yang bisa diambil, ya. Termasuk kesadaran bahwa ternyata duduk di majlis ta’lim tanpa perantara media digital, adalah kenikmatan besar yang patut kita syukuri :’))


Baiklah langsung kita mulai saja. Ustadz membuka kajian dengan sebuah ayat dari surah Keluarga Imran (3):14

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاء وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ ﴿١٤﴾

 

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).

 

Kemudian, membawa kita pada sebuah keniscayaan sebagaimana yang disampaikan Allaah dalam firman-Nya QS. At-Taghabun Ayat 14

 يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّ مِنْ أَزْوَٰجِكُمْ وَأَوْلَٰدِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَٱحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِن تَعْفُوا۟ وَتَصْفَحُوا۟ وَتَغْفِرُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.



Istri, Anak, dan Harta Adalah Ujian

Tentu kita akrab pada sebuah momen tertentu entah itu pada awal, pertengahan, atau akhir semester: ujian. Mendengar kata ujian, memang paling mudah divisualisasikan ketika kita menghadapi ujian dalam setting akademik. Di dalam prosesnya, terdapat serentetan aktivitas yang menyertai seperti membaca, menghafal, dan memahami. Di mana untuk menghadapi suatu ujian tersebut, kita perlu menyiapkan dan mengerahkan semua potensi dan energi yang kita miliki. Begitu pula yang seharusnya diterapkan ketika kita tengah membina sebuah keluarga. Tentu amat sangat riskan bukan, jika kita menghadapi sebuah ujian bernama keluarga, tanpa cukup ilmu yang kita miliki.

 

Di dalam sebuah keluarga, Allah menyebut ujian pertama dan terbesar adalah istri, karena ketika ujian yang satu ini berhasil kita lewati, maka ujian yang lain akan lebih mudah dilewati. Itulah mengapa Rasul menyebut kenikmatan dunya adalah perhiasan, dan puncak dari kenikmatan tertinggi adalah mar’atushshalihaat.

 

Allah juga menyebut istri dengan kata musuh (QS. At-Taghabun Ayat 14). Sebagaimana kita tahu, musuh adalah hal yang tidak menyenangkan. Seorang musuh kalau tidak bisa kita kuasai maka tidak bisa kita kendalikan dan kalahkan. Anak dan ujian adalah harta, ujian adalah sesuatu yang bisa kita nikmati, sementara musuh tidak. Bukan untuk bisa mengendalikan dan mengalahkan, tetapi ilmu dapat membuat kita duduk bersama sebagai pasangan, saling mendukung, dan merealisasikan visi-visi besar yang telah kita siapkan seperti mempersiapkan peran untuk memproduksi generasi rabbani, dan mencapai karunia sakinah, mawaddah, dan rahmah.

 

Tips Memilih Pasangan

Secara mengejutkan, Ustadz menyebutkan bahwa nikah dini sebenarnya diperbolehkan. Sementara yang tidak adalah nikah dengan tergesa-gesa. Aku berpikir bahwa mungkin dini yang dimaksud ustadz sesuai dengan apa yang ditentukan oleh aturan negara, tetapi sepertinya tidak hehe. Karena ustadz menyebut salah satu tokoh (pemuda Indonesia) yang telah mandiri secara finansial di umur yang masih belia, dan ingin menikah di usianya yang ke tujuh belas tahun sebagai contoh. Selain itu, poin yang aku setuju adalah bahwa nikah di umur muda (bukan dini) dengan persiapan matang dari sisi mentally, spiritually, dan independent financially lebih baik daripada nikah di usia yang dianggap sudah matang tapi hanya bermodalkan hawa nafsu semata. Persiapan menuju pernikahan sangat perlu diperhatikan, mengingat bahwa tidak ada pernikahan yang tidak memiliki masalah hatta pernikahan tersebut didoakan seluruh ummat manusia, atau diselenggarakan di tempat tersuci sekali pun, termasuk kehidupan pernikahan manusia-manusia pilihan seperti para Nabi dan Rasul. Itulah mengapa selain persiapan dari segi masing-masing pasangan, persiapan lain yang dibutuhkan adalah ilmu untuk menetapkan/memilih pasangan. 

Sehat (Physically and Mentally)

Allah swt menggambarkan seorang istri dengan perumpamaan ladang atau kebun, dan mempersilakan suami mendatanginya kapan saja dengan cara yang disukainya.

Ketika kita merenungkan dunia pertanian, mari kita bayangkan, siapa yang disebut petani yang sukses? Pertama, petani yang sukses pasti memiliki tanah yang berkualitas dan subur. Misalnya di daerah pegunungan, di mana tanahnya gembur dan cocok untuk ditanami sayur mayur. Sebagaimana perempuan yang diberi karunia oleh Allah berupa rahim serta kesempatan mengandung dan melahirkan, Rasulullah menyarankan untuk menikah dengan wanita yang penuh cinta kasih dan dapat berketurunan. Jadi ketika mengibaratkan tanah itu adalah seorang istri, anak adalah buahnya. Maka dari itu, kriteria setelah agama yang sebaiknya dipertimbangkan ketika mencari pasangan adalah kesehatannya. Sebagaimana seorang petani yang lebih menyukai tanah subur yang menyenangkan bagi pemiliknya.

 

Shalih(at)

Adalah penting dan wajib bagi seorang muslim untuk mempertimbangkan aspek agama, selain aspek-aspek lainnya. Sebab pengetahuan mengenai agama akan memudahkan sebuah keluarga untuk menggapai sakinah, mawaddah, rahmah, juga keridhaan-Nya.

Ketika mempertimbangkan seorang calon, beri agama pada peringkat 1. Sementara aspek lain seperti tampan/cantik, kaya, terkenal, dan aspek lain-lain berikutnya, beri angka 0. Ketika kita mendapatkan jumlah 0 terlalu banyak tetapi tidak dengan angka 1, maka keseluruhannya hanyalah kesia-siaan belaka.  

 

Hasab yang Baik

Hasab sama dengan keturunan tapi tidak sama dengan nasab. Setiap orang memiliki nasab (garis keturunan), tapi tidak semua orang punya hasab (gen). Kita bisa saja memiliki jalur keturunan yang sama, tetapi memiliki hasab yang berbeda. Contoh paling jelas ada pada diri Rasulullah dan Abu Jahal. Meski nasab mereka sama (quraish), tetapi hasabnya (pola asuh, tabiat/karakter dll) berbeda. Hasab pun sangat luas dan terkait dengan fisik hingga perangai. Karena itu, ketika memilih pasangan, sebaiknya mempertimbangkan calon pasangan dengan hasab (tabiat/karakter) yang baik. Hasab adalah sesuatu yang bisa direkayasa (diupayakan perubahannya ke arah positif), dengan tarbiyah dan pengasuhan yang baik.

 

Berikutnya ketika mengibaratkan pasangan sebagai sebidang tanah, kita mengetahui bahwa filosofi maupun karakter tanah itu sendiri berbda-beda dan tidak sama. Ada tipe tanah seperti tanah perkotaan, atau tanah pemukiman, dan sebagainya. Jika melihat dari sudut pandang sebuah hubungan, maksudnya di sini adalah tuntutan bagi suami (pasangan) untuk saling mengerti tabiat dan karakter (istri). Karena seringkali sesuatu itu menjadi tidak bernilai, karena kita tidak memiliki ilmu. Artinya di sini sang suami sangat memegang kendali untuk baik dan buruknya istri. Boleh jadi seorang suami mempunyai tanah (istri) yang sangat bagus tetapi tidak bisa mengelolanya, sehingga akhirnya ia hanya menjadi semak belukar. Sebab seorang perempuan itu mengikuti agama dan kualitas suaminya.

 

Terakhir, pesan Ustadz, sudah sebaiknya kita mengupayakan sebuah pernikahan dengan visi dan energi yang besar, memberi spirit pada peradaban Islam dan yang dengan pernikahan tersebut, orang lain turut merasakan pula kebahagiaan dan dapat mengambil barakah darinya. Maka alih-alih mempersiapkan pernikahan yang sekadar ideologis, apalagi hanya berdasar biologis, sudah sebaiknya kita mulai mempersiapkan pernikahan strategis—berikut pirantinya yang sangat kompleks.

 

Jadi, bagaimana?

Sudah siap?

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar