Quarter Life Crisis: Renungan untuk Hidup yang Kita Jalani

By Zulfa Rahmatina - 5:17 PM

Does a quarter life crisis exist?

Pernah merasa mengalami fase terberat dalam hidupmu? Kamu sangat tertinggal. Teman-temanmu yang lain seolah melesat dengan begitu cepat. Sementara pendidikanmu masih tertatih, pekerjaan jauh dari jangkauan, dan memiliki pasangan lalu menikah untuk saat ini rasanya hanya bisa di tahap angan-angan.

 

source: pinterest

Kamu mulai bertanya-tanya, apa itu bahagia? Bagaimana rasanya kedamaian? Siapa yang bisa kita harapkan untuk mencintai diri kita dengan tulus? Apakah kita benar-benar mampu meraih setiap jawaban atas pertanyaan kita? Apakah kita telah melewati jalan yang benar, atau apakah selama ini yang dilakukan ternyata hanya kesia-siaan? Ada banyak kekhawatiran yang kita rasakan dalam hidup ini. Ada beberapa kecemasan terhadap masa depan. Ada banyak pertanyaan yang datang …


Ada satu lagi terminologi psikologi yang akhir-akhir ini semakin populer dan banyak menjadi bahan perbincangan, yakni krisis setengah abad atau Quarter Life Crisis (QLC). Menurut Robbins & Wilner (2001), “Quarter Life Crisis is a response to overwhelming instability, constant change, too many choices, and a panicked sense of helplessness,” Hal yang perlu dicermati dalam hal ini adalah perubahan, kemudian respons terhadap ketidakstabilan dari perubahan yang terus-menerus dan terlalu banyak pilihan, yang lantas menimbulkan rasa panik dan suatu kondisi ketidakberdayaan.

Periode seperempat kehidupan, umumnya diasumsikan berlangsung antara usia 18-35 tahun. Pada usia dua puluhan, seseorang memiliki perasaan belum dewasa, tetapi juga bukan lagi remaja. Beberapa perasaan dan tantangan yang dihadapi selama masa transisi kerap membuat frustasi. Bagi beberapa orang, perasaan ini menjadi begitu luar biasa dan esktrim sehingga sebuah istilah dikembangkan untuk mencirikan hal tersebut sebagai peristiwa emosional yang serius. Benar, istilah itu: krisis seperempat abad.

Berdasarkan analisis wawancara yang dilakukan terhadap 50 responden terkait episode krisis dalam fase kehidupan ini, Robinson, Wright, & Smith (2013) merumuskan fase Quarter Life Crisis sebagai berikut:

Setiap peristiwa baru yang terjadi dalam rentang episode kehidupan kita sangat mungkin untuk menciptakan perubahan besar pada setiap tingkatan. Pada tingkat fisik, seseorang mungkin mengalami perubahan besar dalam bentuk fisik dan gejala biologis stres; pada tingkat psikologis, seseorang mungkin mempertanyakan keyakinan atau perasaan dirinya sendiri; pada tingkat interpersonal, krisis sering kali melibatkan perubahan dalam peran dan hubungan; dan pada tingkat sosial budaya, krisis sering kali melibatkan evaluasi ulang peran sosial, identitas sosial dan norma sosial.

Tapi, tidak semua transisi pada setiap fase kehidupan akan menjadi krisis—kata ini seolah menyampaikan bahwa transisi adalah sesuatu yang sangat menegangkan dan dipandang sebagai titik balik utama, padahal bukan begitu. Setiap orang memiliki kapasitasnya masing-masing.

Krisis di masa adulthood dan early adulthood

Teori psikososial Erik Erikson tentang lifespan adalah yang pertama kali mengajukan krisis pada permulaan masa dewasa awal (Erikson, 1980). Krisis perkembangan pada usia ini ditandai dengan tantangan 'keintiman' orang dewasa, yaitu kesulitan dengan keterikatan sosial dalam hubungan, peran dan organisasi. Keterikatan tersebut mengakibatkan hilangnya aktivitas eksplorasi yang menjadi pandangan lain bagi definisi masa remaja dan konsepsi idealis tentang kemungkinan masa depan. Kesulitan yang terjadi pada proses ini, disebut Erik Erikson, dapat memicu krisis dan berpotensi menimbulkan episode penyakit mental; sebagaimana statistik epidemiologi yang menunjukkan bahwa transisi masa remaja adalah salah satu periode paling berisiko tinggi untuk timbulnya penyakit mental dari seluruh umur (Robinson, 2012).

Tokoh lain seperti Hurlock dan Santrock pun turut menggambarkan tahap ini sebagai fase “storm and stress” (badai dan tekanan) di mana seseorang mengalami perubahan suasana hati, serta mengalami konflik dan kontradiksi yang tidak terelakkan sehingga banyak mempengaruhi perilakunya.

Jika dilihat dari gambar Fase QLC yang dirumuskan oleh Robinson, Wright dan Smith, serta pendapat para tokoh seperti Erikson, Hurlock, dan Santrock, kira-kira apakah Rasulullah saw dan para sahabat pernah mengalami QLC atau masa storm and stress? Apakah hal itu juga yang dicontohkan di dalam Al Qur’an? Yang jelas, jawabannya adalah tidak. Hal inilah yang harus kita kritisi, mengapa konsep kepemudaan yang dituliskan Al Qur’an, jauh sekali dengan apa yang terjadi pada saat ini?

Fase perkembangan yang telah dirumuskan oleh para tokoh bukan untuk dijadikan justifikasi dari kondisi ketidakberdayaan, atau justru perilaku maladaptif yang muncul. Kita pun tidak harus dan juga tidak memiliki kewajiban untuk mengikuti atau merasakan hal-hal seperti yang dirasakan responden penelitian para ilmuwan tersebut. Ia bukan fase yang harus kita lewati untuk membentuk diri kita menjadi pribadi yang utuh.

Mari kita andaikan, jika sampel remaja yang dijadikan objek penelitian Hurlock dan Santrock bukanlah remaja-remaja yang bingung, tetapi anak-anak muda yang sudah mantap iman dan pemikirannya. Bukankah sangat mungkin, jika definisi remaja yang berkembang sekarang akan berbeda? Remaja tidak perlu dan harus berada di masa storm and stress, yang lantas jadi pembenaran bagi perilaku merokok, penyalahgunaan obat, atau seks bebas. Adriano Rusfi (dalam Husaini, 2018), mengkritisi kategorisasi remaja ini. Menurutnya, literature psikologi abad 19 tidak mengenal masa adolescence, karena masa ini adalah produk abad ke-20 di mana telah lahir generasi dewasa fisik (baligh), namun tak dewasa mental (aqil).

Al Qur’an sendiri telah menggambarkan sosok pemuda sebagai sosok yang produktif dan telah memiliki tujuan yang terang. Seperti Pemuda Kahfi, Maryam, Yusuf, dan masih banyak lagi. Generasi setelahnya, di usia 14 tahun, Al Fatih tampil sebagai gubernur. Usamah bin Zaid memimpin pasukan di usianya yang ke delapan belas, Zaid bin Tsabit menjadi penulis wahyu di usia 13 tahun, dan Nabi Muhammad, sudah mantap dan matang untuk menikah di usianya yang ke 25.

Sebagai pemuda muslim, mengetahui hakikat kehidupan dan tujuan dari kita diciptakan seharusnya tidak lagi memunculkan kebingungan. Kita akan tenang ketika pencapaian duniawi teman kita, misalnya, terlihat lebih berkilau. Kita tidak silau karena bukan untuk itu kita diciptakan. Ketika kita mengerti rizki sudah ditakar dan tidak akan pernah tertukar, hati kita tenang karena mengetahui bahwa sesuatu yang menjadi milik kita, tidak akan pernah melewati kita, begitu pula sebaliknya. Kita juga mengerti bahwa kehidupan duniawi tidak berbanding dengan nikmat surga yang telah dijanjikan.

Pada seperempat abad hidup kita, jika pun apa yang kita miliki sekarang serasa jauh dari apa yang telah dicapai orang lain, pun tak sesuai dengan apa yang kita inginkan, sembari berbenah dan melakukan muhasabah, seharusnya kita mengerti bahwa Allah telah memberi kita sebaik-baik keadaan. Keadaan yang mengukur syukur dan sabar. Keadaan yang bagaimana pun situasinya, seharusnya membuat kita ridha, karena ridha-Nya pula yang kita minta. Ketika kita meletakkan sesuatu dengan neraca Islam, kita tak akan kecewa jika pencapaian kita jauh dari impian karena sembari memperbaiki diri, kita meyakini bahwa Allah adalah sebaik-baik perencana. Kita tidak mudah tenggelam dalam kesedihan ketika kita gagal hanya karena sebab kita tahu, Allah-lah sebaik-baik pemberi balasan.

 

Ketika kita bersandar pada penilaian makhluk dan menuai kecewa, berharap pada Allah hanya akan menimbulkan sebaik-baik bahagia.

Berhenti membanding-bandingkan diri, tebarkan kebaikan lebih banyak lagi, optimalkan potensi, dan sesekali di ujung hari, beri apresiasi pada diri sendiri. Ingat, kamu sudah sejauh ini.

 

Referensi:

Black, A. S. (2010). “Halfway between somewhere and nothing”: A exploration of the quarter-life crisis and life satisfaction among graduate students. University of Arkansas.

Hurlock, E. (1999). Psikologi Perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Robbins, A., & Wilner, A. (2001). Quarter-life Crisis. London: Bloomsbury

Robinson, O. C., Wright, G. R., & Smith, J. A. (2013). The holistic phase model of early adult crisis. Journal of adult development20(1), 27-37.

Santrock, J. W. (2003). Adolescence 6th ed., Perkembangan remaja. Jakarta: Penerbit Erlangga. 

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar